Siti Patimah, Ikhlas Merawat Pasien Gangguan Jiwa
Merawat pasien Covid-19 yang normal saja sudah menguras pikiran, apalagi pasien dengan gangguan jiwa. Begitu yang ada dalam pikiran Siti Patimah ketika ia ditugaskan di ruang perawatan Covid-19 RSJ Provinsi Jawa Barat.
Merawat pasien dengan gangguan jiwa yang terpapar Covid-19 bukan perkara mudah. Namun, bagi Siti Patimah (37), pekerjaan ini menjadi bentuk pengabdian sebagai perawat. Dia tidak ingin membiarkan para pasien menderita tanpa penanganan.
Bulan ini, Patimah lega. Tidak ada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, terpapar Covid-19. Ruang perawatan Covid-19 yang diamati dari layar monitor pada Senin (25/7/2022) siang kosong tidak berpenghuni.
Akan tetapi, dia mengatakan belum sepenuhnya tenang. Pandemi masih ada. Siapa saja masih bisa tertular. Dari Ruang Kasuari di sayap barat kompleks RSJ yang memiliki luas lebih dari 23 hektar itu, dia tetap waspada.
”Pasien terakhir masuk sekitar 10 hari lalu. Sayangnya, beliau meninggal dunia. Saat masuk ke sini, kondisinya memburuk,” ujar Patimah saat ditemui di Ruang Kasuari. Ruang dengan 12 tempat tidur ini dikhususkan untuk pasien terpapar Covid-19.
Keterkaitan Patimah dengan Covid-19 dimulai pada 26 Maret 2020. Bersama sejumlah petugas lain, dia mendadak dipanggil atasannya. Mereka berkumpul di aula RSJ. ”Kami sudah ada di ruangan itu sejak pukul 06.00. Semua yang hadir waswas. Jangan-jangan ada hubungannya dengan Covid-19. Ternyata benar, kami diminta menjadi petugas ruangan khusus perawatan Covid-19 di RSJ ini,” kenang Patimah.
Penunjukan ini dengan cepat membuat petugas khawatir. Empat pasien sudah terpapar Covid-19. Mereka cemas. Saat itu, pandemi masih seperti hantu menakutkan. Pengetahuan hingga sarana-prasarana perlindungan masih sangat minim.
Patimah tidak dapat menutupi kekhawatiran itu. Bayangan dua anaknya yang masih kecil bakal tertular ada di depan mata. Namun, panggilan tugas sebagai perawat perlahan menepis keraguan. ”Merawat pasien Covid-19 yang normal saja sudah menguras pikiran, apalagi pasien dengan gangguan jiwa. Mereka tidak tahu apa itu Covid-19. Jadi, kami harus memberikan perhatian lebih,” ujarnya.
Patimah pun melaporkan hal tersebut kepada suaminya, Happiz (40), yang bekerja di area pertambangan di Muara Enim, Sumatera Selatan. Terpisah lebih dari 800 kilometer, Happiz pun bimbang. Dia galau untuk mengizinkan istrinya bertugas menjadi perawat pasien Covid-19.
”Saya membujuk dia dan menjamin akan menjaga kesehatan selama bekerja. Akhirnya, dia mengizinkan meski tetap saja khawatir,” ujar Patimah.
Akan tetapi, Patimah urung melaporkan penugasan itu kepada orangtuanya. Dia tidak ingin mereka khawatir, bahkan dijauhi oleh warga lain. Saat itu, stigma Covid-19 terhadap tenaga kesehatan masih tinggi.
”Saya tidak ingin mereka dijauhi lingkungan hanya karena anaknya menjadi perawat Covid-19. Jadi, mereka tidak diberi tahu pada awalnya. Kami juga belum bisa bertemu saat itu karena pembatasan mobilitas. Saya baru memberi tahu beberapa bulan kemudian,” ucapnya.
Petualangan barunya pun dimulai di bulan yang sama. Meski khawatir, Patimah berusaha menjalaninya penuh tanggung jawab. Dia sadar, perawat mengabdikan diri untuk memastikan kesehatan pasien. Kesempatan ini juga dia jadikan ruang untuk belajar banyak hal baru.
Kesadaran ini telah ditanamkan dalam diri semenjak menempuh studi di Akademi Keperawatan TNI-AU Ciumbuleuit (kini Politeknik Kesehatan TNI AU) dan lulus di tahun 2006. Apalagi, jalan karier ini dia ambil dengan membuang jauh-jauh keinginannya untuk menjadi seniman.
Ayah Patimah, Karna (74), adalah figur penting dalam hidupnya. Nilai-nilai hidup, seperti tanggung jawab dan tidak menyerah, berasal pria pendiam tapi tegas itu.
”Saya dulu lebih suka menari, namun Bapak ingin saya untuk masuk ke jurusan kesehatan. Saya ikuti keinginan beliau karena tidak mau jadi anak durhaka,” ujarnya tertawa.
Bayangan hal sulit pun menjadi kenyataan. Tidak memiliki potensi bahaya Covid-19, pasien dengan gangguan jiwa kerap bertindak yang membahayakan diri sendiri dan para perawat yang bertugas. Ditarik, diludahi, bahkan diabaikan oleh pasien adalah kejadian yang akrab dalam pekerjaannya. Namun, Patimah bersama petugas lain berusaha sabar menghadapinya.
”Mereka itu lebih sensitif. Jadi, tahu saat kami dalam mood jelek atau baik. Bisa-bisa kami dicuekin kalau kondisi emosi tidak stabil. Oleh karena itu, bekerja ikhlas adalah yang paling penting mencegah kondisi mereka tidak memburuk,” ujarnya.
Tidak hanya memaklumi tindakan para pasien, Patimah juga harus mengelola obat-obatan yang akan diberikan dengan cermat. Terkadang konsumsi satu obat terkait Covid-19 bisa berdampak pada obat yang sudah dikonsumsi sebelumnya. Oleh karena itu, sebagian obat harus menyesuaikan dosisnya agar bisa dipadukan satu sama lain.
”Padahal, menghadapi pasien gangguan jiwa saja sudah melelahkan, apalagi saat pandemi. Kami harus menghadapi mereka dengan APD (alat pelindung diri) yang kadang ditarik. Makanya, saat berhadapan dengan pasien, kami tidak bisa sendirian,” ujarnya.
Penolakan pasien saat minum obat adalah hal yang biasa. Patimah harus memastikan obat-obatan itu ditelan demi kesehatan mereka. Tidak jarang mereka menghadapi pasien yang berontak atau bahkan menyimpan obat tersebut di bawah lidah agar tidak tertelan.
”Kami harus menunggu dan memastikan mereka menelan obatnya. Soalnya, obat-obatan itu harus dikonsumsi dengan rutin demi kesehatan mereka,” katanya.
Ketekunan dan kesabaran ini pun diganjar dengan penghargaan. Patimah terpilih sebagai Juara Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Kategori Perawat Tingkat Provinsi Jabar Tahun 2021.
”Waktu itu saya diminta atasan untuk ikut menulis esai terkait kegiatan selama penanganan Covid-19 di RSJ. Kebetulan, temanya terkait Covid-19, dan saya sudah ikut dari awal dan menjadi kepala ruangan,” ujarnya.
Kepala Bidang Keperawatan RSJ Provinsi Jabar Komaryati mengatakan, Patimah adalah orang yang tepat ikut dalam penanganan pasien Covid-19. Patimah adalah sosok yang mau belajar dan bertanggung jawab. ”Jadi, saat ada pengumuman penghargaan itu, saya langsung meminta Patimah untuk menulis esai. Saya yakin dia pantas mendapatkan penghargaan tersebut,” kata Komaryati.
Di tengah rasa syukur mendapatkan penghargaan tersebut, Patimah tetap waspada untuk menghadapi segala kemungkinan. Meskipun pasien yang terpapar Covid-19 belum ada, kekhawatiran itu tetap ada karena pandemi belum berakhir.
”Pengalaman ini akan menjadi cerita manis untuk saya. Jika nanti saat cucu saya bertanya bagaimana dunia menghadapi pandemi Covid-19, saya memiliki cerita yang membuat mereka bangga,” ucapnya sambil tersenyum.
Siti Patimah
Lahir: Bandung, 16 Oktober 1984
Pendidikan terakhir:
- D-3 Keperawatan Akademi Keperawatan TNI-AU Ciumbuleuit (kini Politeknik Kesehatan TNI AU). lulus tahun 2006
Jabatan: Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat (2010-sekarang)
Penghargaan: Juara Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Kategori Perawat Tingkat Provinsi Jabar Tahun 2021