Dari secangkir kopi, Aidil Fikri menyadarkan petani di Sumsel untuk mengelola kopi dengan baik. Langkah ini penting untuk meningkatkan kualitas dari biji kopi Sumsel agar bisa menembus pasar internasional.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·6 menit baca
Petani tak cukup digugah dengan cerita semata. Mereka harus diberi bukti dan kemudian dibimbing langkah demi langkah, secara langsung. Dengan begitu, mereka akan memiliki wawasan untuk mengelola komoditasnya secara lebih profesional.
Pedoman inilah yang dipegang teguh Aidil Fikri (39) ketika mengajak petani kopi di kawasan perhutanan sosial Sumatera Selatan untuk berbenah dan mengubah pola pikir demi kemajuan bersama. Teringat pada tahun 2017, Aidil mengajak Monika (52), salah seorang petani kopi dari Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, untuk mengikuti Festival Pesona (Perhutanan Sosial Nasional) di Jakarta. Sebelum menuju tempat acara, Aidil dan Monika mampir ke sebuah kafe di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Di kafe itu, Aidil memesan secangkir kopi robusta seharga Rp 40.000. Monika pun terkejut, ternyata kopi yang dibudidayakan selama ini dihargai sangat mahal.
”Dari transaksi di kafe itulah, saya menyadarkan petani bahwa tenaga mereka hanya dihargai dengan secangkir kopi,” ujar Aidil, Selasa (9/8/2022).
Di tingkat petani, biji kopi mentah (green bean) hanya dihargai Rp 18.000-Rp 22.000 per kilogram, baik untuk robusta maupun arabika.
”Dari sanalah, saya mencoba mengubah pola pikir petani untuk mulai mengelola kopi secara lebih profesional,” katanya.
Pembinaan terhadap petani sudah ia lakukan sejak 2017 dan terus berkembang ke lima daerah di Sumsel. Namun, sebelum terjun ke lapangan di tahun 2017, ayah empat anak ini memperdalam ilmu di dunia kopi dengan banyak budaya bersama para pegiat kopi serta mencari referensi dan informasi dari berbagai sumber, termasuk buku dan internet. Maklum, sebelum terjun ke dunia kopi, Aidil lebih banyak bergelut di bisnis kuliner dan fotografi. Setelah memiliki cukup bekal pengetahuan, di bawah naungan lembaga swadaya masyarakat lingkungan Hutan Kita Institute (Haki), Aidil mulai memandu para petani kopi di daerah binaan.
Wilayah pertama yang disasar Aidil adalah Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim. Langkah pertama yang dilakukannya adalah membangun fondasi yang kuat dengan membentuk kelembagaan petani. Dia berpandangan, dengan kelembagaan yang tepat, proses edukasi kepada petani akan berjalan jauh lebih efektif. Misalnya, Desa Cahaya Alam yang kelembagaannya menggunakan skema perhutanan sosial. Desa ini mendapat legalitas dari pemerintah berupa Surat Keputusan Nomor 326/Menhut-II/2014 pada 27 Maret 2014. Luasnya 900 hektar.
Namun, pengolahan kopi secara lebih masif dilakukan pada 2017. Setelah kelembagaan terbentuk, dibangunlah demplot pada tahun 2018 sebagai sarana edukasi bagi para petani. Di atas lahan seluas 6,5 hektar, petani menanam beragam jenis sayuran organik. Dua tahun, ia memanfaatkan 2 hektar lahan di antaranya untuk ditanami kopi arabika pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di sana, Aidil memandu para petani untuk mengelola kopi secara benar. Mulai dari proses penanaman kopi organik hingga pengelolaan pascapanen yang lebih profesional. Petani diajak untuk memetik kopi yang telah matang berupa biji merah dengan selang waktu pemetikan sekitar 15 hari.
Dilanjutkan dengan proses perambangan (pencucian), penjemuran biji kopi di rumah jemur kopi dalam suhu tertentu selama 20 hari, sampai dengan pola pemasaran. Dua tahun setelah ditanam, kopi arabika pun sudah bisa dipanen.
Dalam setiap pemetikan biji merah, kebun kopi yang berada pada kemiringan 30 derajat itu menghasilkan biji kopi merah (ceri) seberat 20-40 kg per hektar. Hasil kopi petani dihargai hingga Rp 80.000 per kg untuk kopi arabika petik merah dan Rp 47.000 untuk kopi robusta petik merah. Harga tersebut jauh lebih mahal dibandingkan tawaran dari tengkulak, yakni berkisar Rp 18.000-Rp 22.000 per kg.
Melihat kopinya dihargai lebih mahal, petani di Desa Cahaya Alam pun lebih bersemangat untuk menanam dan mengolah kopi dengan baik. Keberhasilan pengelolaan kopi di Desa Cahaya Alam menjadi modal bagi Aidil untuk menerapkan pola penanaman yang sama di beberapa sentra kopi lain, seperti Kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu Selatan, Musi Rawas, dan Kota Pagar Alam, yang dimulai pada tahun 2021.
Pembinaan tersebut dinilai telah membuahkan hasil. Saat ini sudah banyak petani yang menghasilkan kopi arabika ataupun robusta untuk kelas premium. Hal itu ditandai dengan menjamurnya kedai-kedai di Palembang yang menawarkan sejumlah produk premium dari sentra penghasil kopi di Sumsel.
Aidil juga mengajak anak muda di sekitar sentra binaan untuk terlibat dalam tata niaga kopi mulai dari hulu hingga hilir. Alhasil, beberapa anak petani memutuskan untuk mengelola pertanian keluarganya, termasuk ikut serta dalam pengelolaan pascapanen dan pemasaran.
Bahkan ada importir dari beberapa negara Eropa yang menawarkan kerja sama untuk memasok kopi petik merah dari Sumsel dengan kisaran 50-100 ton per bulan. Hanya, penawaran itu terkendala produktivitas lahan kopi di Sumsel yang belum optimal. ”Satu hektar lahan kopi di Sumsel hanya menghasilkan 1 ton biji kopi per tahun,” ucapnya.
Jumlah ini jauh dibandingkan Vietnam dan Brasil yang kebun kopinya bisa menghasilkan hingga 4 ton per hektar per tahun. Karena itu, menurut Aidil, pembinaan petani harus terus digalakkan mengingat potensi pasar kopi masih sangat luas. ”Dengan begitu, petani pun bisa sejahtera,” katanya.
Meski memiliki potensi kopi yang besar, volume ekspor Sumsel masih sangat rendah. Hal ini dikarenakan Sumsel tidak memiliki pelabuhan laut dalam.
Memperbaiki pengelolaan pascapanen dan tata niaga pada komoditas kopi dengan terjun ke lapangan secara langsung bisa merekatkan hubungan kekeluargaan dengan petani. Dalam kunjungan ke wilayah binaan, Aidil bisa menghabiskan waktu 3-15 hari. Waktu yang cukup lama itu dimanfaatkan untuk berbincang dengan para petani guna mengulik masalah yang mendera mereka. Banyak dari mereka yang curhat bahwa mereka masih terjerat jebakan tengkulak atau anak mereka enggan menjadi petani karena telah terbentuk stigma petani akan hidup merana.
”Dari perbincangan itulah dicarikan solusi yang tepat,” ucapnya.
Misalnya, bagaimana supaya biji kopi milik petani mendapatkan harga yang layak sehingga mereka memiliki modal untuk menanam kembali tanpa harus terjerat utang kepada tengkulak. Selain itu, Aidil juga mengajak anak muda di sekitar sentra binaan untuk terlibat dalam tata niaga kopi mulai dari hulu hingga hilir. Alhasil, beberapa anak petani memutuskan untuk mengelola pertanian keluarganya, termasuk ikut serta dalam pengelolaan pascapanen dan pemasaran.
”Dengan begitu, panjang rantai pasok dapat dikikis karena petani bisa terhubung langsung dengan pasar,” ujarnya.
Dengan usaha ini, Aidil berharap kopi dari sejumlah daerah penghasil di Sumsel bisa dikenal luas sampai ke kancah internasional. ”Saya berharap kopi di Sumsel bisa naik kelas,” katanya sambil melanjutkan menyeruput kopi yang tinggal setengah gelas.
Biodata
Nama : Aidil Fikri
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 13 Juli 1983
Istri : Sri Handayani
Pendidikan :
SDN 1 Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir
SMPN 35 Palembang
SMA PGRI 12 Jakarta
Diploma Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya
Pekerjaan : Asisten Teknikal Bisnis Hutan Kita Institute