Bryan Lie, Kekuatan Narasi dalam Sebuah Karakter
Karya seni bagi Bryan adalah sebuah ungkapan hati, emosi, dan pikiran. Sejumlah desain figur yang terinspirasi dari cerita sejarah dan mitologi kuno telah dirilisnya. Desainnya diciptakan sepaket dengan cerita dan makna.
Saat mengunjungi laman www.godcomplex.info, mata akan tertuju pada kalimat berikut, ”Know the Gods of the Past. Be the Gods of the Present. Create the Gods of the Future.” Melalui filosofi ini, Bryan Lie ingin menyampaikan permasalahan dan isu yang melekat pada suatu karakter di masa lalu ternyata masih relevan dengan yang terjadi saat ini dan mungkin di masa depan.
Ditemui di sebuah kafe di Jakarta Selatan, Sabtu (6/8/2022) siang, Bryan menenteng sebuah tas berwarna putih berisi dua figur karakter (action figure) yang dikemas dalam sebuah kardus khusus. Perlahan, ia membuka kardus pertama berwarna merah menyala, dikeluarkannya sebuah alas patung (base), dan patung figur berskala 1:7.
Karya seni bagi Bryan adalah sebuah ungkapan hati, emosi, dan pikiran. Sejumlah desain figur yang terinspirasi dari cerita sejarah dan mitologi kuno telah dirilisnya. Desainnya diciptakan sepaket dengan cerita dan makna yang ingin disampaikan. Berkat ketekunannya, karya itu dikenal luas, dikoleksi, dan ditampilkan dalam sejumlah pameran mancanegara.
”Ini karakter Anubis atau dalam kepercayaan Mesir kuno sebagai dewa kematian. Dia seperti hakim yang menentukan (nasib) seseorang setelah meninggal dengan cara menimbang hatinya menggunakan parameter bulu. Setiap melihat karakter ini, saya ikut berkaca. Apakah merasa takut atau tenang?” ucapnya dengan penuh semangat.
Bryan melambangkan karakter tersebut sebagai wujud ketakutan pribadi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, penting untuk mengasah kepekaan hati dalam melakukan suatu hal. Jika perasaan takut muncul, mungkin ada sesuatu yang harus diperbaiki. Sebaliknya, saat merasa tenang, mungkin yang dilakukan sudah sesuai sehingga tidak muncul rasa bersalah (guilty).
Patung pun diletakkannya di atas base secara hati-hati. Bagian kepalanya menyerupai Jackal, mengenakan aksesori yang didominasi warna hitam dan merah serta memakai sepatu sneaker. Pesona figur itu kian terpancar saat berdiri berlatarkan kardus yang bertuliskan God Complex.
Dalam menciptakan suatu karakter, Bryan tak pernah setengah-setengah. Yang utama adalah membangun narasi dan emosi tertentu ke dalamnya. Dia juga melibatkan elemen yang berkaitan dengan dirinya, seperti kesukaannya pada sepatu sneaker, anime, dan kisah sejarah.
Ia mencontohkan pemilihan warna hitam dan merah pada akseseori Anubis untuk menggambarkan bagaimana seseorang membayangkan kematian. Warna merah adalah simbol darah dan hitam menunjukkan kegelapan/hal misterius. Pose Anubis berdiri tegak dan seimbang yang ditopang oleh sepatu sneaker menunjukkan perannya sebagai hakim yang kuat dan bersikap adil.
”Dengan God Complex, saya mencampurkan semua obsesi saya. Suatu saat nanti, saya punya mimpi untuk bisa desain sneaker yang keren juga,” ucapnya yang hari itu mengenakan sneaker berwarna hitam.
Figur Anubis merupakan karya terbaru dalam alur cerita God Complex, yang digelutinya sejak akhir 2011. Kecintaannya pada dunia sejarah dan mitologi kuno menginspirasi dirinya untuk membuat God Complex dengan sejumlah karakter dewa yang mewakili elemen sifat pada setiap individu.
Hobi
Katanya, sesuatu yang dilakukan dari hati akan sampai ke hati juga. Dalam hal ini, Bryan tak pernah mengira jika karya seni God Complex akan mendapatkan tempat di hati sejumlah orang. Kecintaannya pada karya seni memang tidak datang tiba-tiba. Bakat itu mulai terlihat sejak duduk di bangku SD.
Kala itu, dia senang menggambar apa pun yang terlintas dalam pikirannya. Semua buku catatan hampir penuh dengan coretan. Ia ingat betul dirinya selalu masuk tiga besar saat di kelas I hingga kelas III. Namun, setelah memasuki kelas IV, peringkatnya turun drastis. Bahkan kedua orangtuanya sering dipanggil ke sekolah karena buku catatannya penuh dengan gambar.
”Waktu kelas satu, guru-guru menganggap hasil coretan saya di buku catatan itu lucu kali, ya. Maklumlah anak kecil. Semakin gede, semakin gak lucu lagi. Wah, mulai bahaya karena anak ini gak pernah dengerin, malah gambar,” selorohnya bernostalgia.
Semula dia mengira dirinya amat benci pelajaran sejarah. Ternyata anggapan itu salah, dia hanya tidak suka cara penyampaian materi di kelas yang terkesan monoton. Sejak mengenal komputer dan internet, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengulik sendiri materi sejarah, seperti perang dunia dan cerita mitologi dari banyak negara.
Melihat hobi itu, orangtuanya sempat mengarahkan agar Bryan menjadi arsitek. Pekerjaan tersebut dinilai memiliki masa depan yang baik, tetapi dia tetap bisa menjalani hobi menggambarnya. Sewaktu kecil, ketika ditanya orang ”cita-citanya apa?”, dia akan menjawab ”arsitek”.
Saat itu, dia belum paham benar pekerjaan arsitek bakal seperti apa. Seiring perkembangan teknologi animasi dan desain grafis, ketertarikannya pada dunia gambar kian mengerucut pada visual development. Dia memutuskan fokus menekuni bidang tersebut di Academy of Art University.
Meski di awal sempat berbeda pemahaman dengan orangtua, pada akhirnya, keputusan itu tetap berjalan dan didukung. Dia harus membuktikan yang dijalaninya bisa sukses. ”Saya tahu, mereka maunya, saya ngikutin (keinginan) mereka. Untungnya mereka cukup bijak untuk tidak memaksa saya. Kalau dipaksa, saya malah gak bisa ngapa-ngapain,” katanya.
Fokus
Pada 2011, Bryan pertama kalinya merilis desain karakter God Complex di laman forum komunitas lintas negara. Rupanya desain karakter Hermes mendapatkan respons yang cukup baik. Puluhan orang berminat untuk memesannya dalam bentuk figur. Mayoritas berasal dari Amerika Serikat dan Thailand.
Saat itu, jumlah stok yang disiapkan terbatas hanya 50 unit figur. Semuanya laku terjual. Selain desain dan narasi, suatu karakter kian istimewa dengan pengerjaan detail yang menghabiskan waktu hingga enam bulan. Setiap figur karya Bryan dibuat langsung dengan tangan. Pewarnaan aksesori dan kostum juga dilukis secara manual.
Hermes merupakan dewa pelindung para penjelajah. Karakter itu diciptakan Bryan untuk melambangkan kehidupan dinamis yang dilalui seseorang, yang berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Dalam perjalanan tersebut, setiap orang berharap diberi kemudahan, kelancaran, dan perlindungan. Sebenarnya kisah itu amat sesuai dengan kehidupannya yang dinamis.
Pengalaman tersebut membuat dirinya semakin percaya diri untuk memproduksi mainan dengan membangun alur cerita setiap karakter. Dia mulai fokus menekuni God Complex serta mempelajari dunia bisnis dan pemasaran.
Pada tahun 2014, dia bergabung dengan Glitch Network, sebagai creative director. Di sana, dia tetap mengembangkan karakter-karakter dalam God Complex, sekaligus menangani para kreator lainnya. Ia juga dipercaya untuk membuat desain resmi figur Batman dari Asia Tenggara.
Dalam mendesain figur, Bryan selalu memperhatikan setiap detail estetis dan narasi cerita yang ingin disampaikan. Figur Batman dibuatnya dalam konsep hidup di dunia yang serba terbalik, yakni seseorang yang baik, bisa dianggap buruk dan terlihat seperti orang jahat. Begitupun sebaliknya.
Jika diperhatikan, tampilan figur Batman agak berbeda seperti yang dikenal pada umumnya. Figur Batman digambarkan Bryan sebagai orang yang jahat dengan taring seperti vampir dan terlihat antagonis.
Pada 2011, Bryan pertama kali merilis desain karakter God Complex di laman forum komunitas lintas negara. Rupanya desain karakter Hermes mendapatkan respons yang cukup baik. Puluhan orang berminat untuk memesannya dalam bentuk figur. Mayoritas berasal dari Amerika Serikat dan Thailand.
Sebuah karya diciptakan bukan untuk eksistensi, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas dan pesan yang ingin disampaikan. Kembali pada God Complex, karya tersebut pernah dipamerkan dalam beberapa pameran internasional, antara lain Thailand Toy Expo 2013, San Diego Comic-Con 2015, Complex Con 2017, dan DesignerCon 2019.
Awal 2018, Bryan memutuskan fokus menjadi visual artist dengan nama IMCMPLX (dibaca: I am Complex). Ke depan, ia ingin mengembangkan God Complex menjadi produk yang lebih beragam.
Adapun karya God Complex lahir dari kerendah-hatiannya mengakui kelemahan diri sebagai manusia. Ketika merasakan kemarahan, dia mengingat betul emosi yang dirasakan dan dipikirkan. Lalu, dia mencurahkannya ke dalam sebuah karakter yang identik dengan emosi itu, seperti Ares atau Dewa Perang (God of war).
Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk meluapkan emosinya. Bisa dikatakan bahwa God Complex merupakan simbol dari beragam jenis emosi yang dirasakan oleh Bryan. ”Yang saya kerjakan sifatnya lebih ke personal, ini bagian dari kontrol atas diri saya sendiri,” ujarnya.
Perjalanan kreativitas Bryan tak selamanya mulus, terkadang ada suara negatif yang datang. Dia tak mau ambil pusing. Hal tersebut justru dijadikannya sebagai penyemangat untuk terus berkarya. Ia menyebut dirinya tak pernah kehabisan ide. Ketika bepergian ke luar rumah, dia membawa gawai tablet untuk menggambar sesuatu yang terlintas di kepalanya.
Di tahun 2022, dia menggarap beragam kolaborasi karya seni dengan sejumlah kreator, perusahaan, atau asosiasi, antara lain Samsung, Chicago Bulls, dan Moon Protocol. Bryan juga akan menjadi pembicara tentang dunia aset digital dalam Kompas Fest, 19-20 Agustus 2022.
Baca juga: Bunyi yang Meracik Emosi
Bryan Lie/ IMCMPLX (dibaca I am Complex)
Lahir: Jakarta
Pendidikan:
Bachelor of Fine Arts dari Academy of Art University (2007)
Karya:
Founder dan kreator God Complex (sejak 2011)
Desainer karakter untuk 0N1 Force (sejak 2021)