Bunyi yang Meracik Emosi
Aghi Narottama mengganti predikat musisi menjadi ”filmmaker” seiring keterlibatannya menggubah musik untuk film. Predikat untuk memahami sepenuhnya film yang dikerjakan. Tak kurang dari 80 film dibubuhi karyanya.
Musik latar dalam setiap film ibarat tanda baca dalam tulisan; ia memberi aksen pada suguhan visual, sekaligus mengimbuhkan emosi di setiap adegan. Aghi Narottama (46) menjadi penata musik sejak hampir 17 tahun silam. Berbagai film laris terasa lebih berbicara berkat racikan musiknya. Dia dapat Piala Citra pada 2017 untuk penataan musik di film Pengabdi Setan pada 2017, tapi malu-malu membicarakannya.
”Oh, piala yang itu. Ah, enggak usahlah,” begitu jawab Aghi ketika diminta berpose dengan Piala Citra di rumahnya di daerah Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (29/7/2022). Jadilah, pada sore yang cerah itu, piala tersebut tetap tak beranjak dari meja kerjanya, bersisian dengan foto keluarga, topi Star Wars, CD Metallica; dan alat kerja berupa komputer serta headphone bertekstur suara netral.
Aghi mengaku menghindari berpose dengan piala prestisius di kancah perfilman Indonesia itu seolah-olah itu menjadi puncak prestasinya. ”Saya enggak ingin gembar-gembor pernah dapat piala. Bagi saya mendapat piala, atau penghargaan itu bukan sebuah pencapaian, tapi bonus. Piala itu, kan, bentuk apresiasi dari dan untuk orang perfilman. Sebenarnya, piala itu sama sekali tidak menandakan scoring terbagus yang pernah saya buat, enggak pernah ada itu,” ujarnya di meja kerjanya di lantai dua rumahnya.
Di tempat itulah Aghi banyak mengerjakan proyek musik latar untuk film (scoring), atau sesekali iklan. Sebenarnya, dia punya kantor bernama Rooftop Sound di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Namun sejak pandemi Covid-19, dia memindahkan sebagian peralatan kerjanya ke rumah.
Rooftop Sound adalah rumah produksi penggarapan material audio yang dia dirikan bareng sohib masa remajanya Bemby Gusti, drummer band Sore. Belakangan, Tony Dwi Setiaji, mantan gitaris band The Brandals, juga ikutan.
Karya musik latar besutan mereka bertigalah yang memenangi kategori Penata Musik Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2017 untuk film Pengabdi Setan yang disutradarai Joko Anwar. Joko memercayakan penggarapan musik kepada mereka untuk film lanjutannya, yakni Pengabdi Setan 2: Communion.
Musik latar untuk film itu, kata Aghi, dikerjakan selama masa pandemi. Proses membuat musiknya saja memakan waktu satu tahun; terbilang panjang untuk penulisan musik pada film. Biasanya, garapan mereka beres dalam waktu satu sampai tiga bulan. Musik film Pengabdi Setan 2 digarap lebih lama karena mereka diberi keleluasaan bereksplorasi; baik dari segi kreativitas, maupun waktu.
Maklum saja, film horor itu mulai dikerjakan tahun 2020 dan sempat terhadang pandemi Covid-19. Mereka jadi banyak bermain-main dengan suara dan komposisi karena ketika proyeknya dimulai, jadwal tayangnya belum ditentukan terkait tutupnya bioskop. Eksplorasi kreativitas mereka menyesuaikan jalan cerita yang ditetapkan sutradara.
”Nuansa musik horornya sudah berbeda dengan Pengabdi Setan pertama karena latar waktu dan tempatnya sudah berubah. Di film yang baru ini latar waktunya tahun 1984 dan di perkotaan. Yang dulu tahun 1970-an dan di pinggir kota. Hal-hal seperti ini berpengaruh ke musiknya juga,” kata Aghi, yang menjanjikan musik di film yang bakal tayang 4 Agustus ini bakal lebih meneror.
Seiya sekata
Pemahaman pada cerita film merupakan hal penting bagi Aghi sebelum menggarap musiknya. Dia merasa perlu seiya-sekata dengan sutradara. Klik antara penulis musik dan sutradara jadi kewajiban. Dengan Joko Anwar, dia sudah mendapatkan itu sejak lama. Kolaborasi mereka terjadi di film Kala, film kedua Joko Anwar keluaran 2007. Setelah itu, Joko dengan trio Aghi, Bemby, serta Tony seperti tak terpisahkan layaknya David Lynch dengan Angelo Badalamenti, atau Christopher Nolan dengan Hans Zimmer.
Sepanjang perbincangan selama dua jam lebih, Aghi sering sekali menyebut nama Joko Anwar ketika menceritakan pengalaman berkaryanya. Aghi dan Joko sepertinya sudah sama-sama sepaham pada beberapa kata sifat yang menggambarkan sebuah adegan. Pada film Pintu Terlarang (2009), misalnya, Joko cuma meminta musik yang disturbing atau menjijikkan pada adegan sadis. Aghi menterjemahkan dengan memasang lagu romantis, diimbuhi bunyi biola berfrekuensi tinggi.
Hasilnya adalah adegan yang membekas di benak. Bagaimana bisa adegan penuh darah tapi musiknya romantis. Namun itulah ”bahasa” mereka. Ada emosi yang bertumbukan di adegan itu. Dengan cara sedemikian, Aghi sebagai penata musik punya hak untuk membubuhkan dan menentukan seberapa intens emosi di sebuah adegan.
”Analoginya, kami (penata musik) bukan tukang gambar. Kami bisa berargumen. Di Pengabdi Setan, misalnya, ada adegan di kamar ibu sebelum lonceng berdenting. Joko meminta bagian itu diisi musik. Tapi saya merasa dikosongkan (musiknya) saja karena denting lonceng adalah adegan puncak di situ. Sebaliknya, di film A Copy of My Mind, Joko ngotot minta tanpa musik di adegan penutup, sementara adegan mengharukan itu sudah saya siapkan musiknya. Kami berdebat, yang ujungnya saya mengalah. Ketika pemutaran perdana, kengototan Joko benar,” kata pendiri band Apeontheroof ini.
Kepekaan membubuhkan emosi melalu rangkaian nada inilah yang jadi kelebihan Aghi dan kawan-kawannya. Dia melatih kepekaannya dari menonton beragam genre film, membaca, belajar akting, dan belajar mengoperasikan kamera. Sekitar lima tahun belakangan, Aghi juga rutin berlatif pencak silat Nampon. Di situ, dia mengolah energi dan pernapasan, yang justru membantu menambah sensitivitas dan fokus pada pekerjaan.
Jam terbang mengerjakan musik latar juga berpengaruh. Hingga sekarang, tak kurang dari 80 judul film memakai komposisi buatannya sebagai musik latar. Beragam karakter sutradara pernah kerja bareng dengannya; sutradara kawakan, ataupun yang baru merintis karier. Selama Aghi merasakan ada ikatan batin—utamanya keselarasan selera—dia mau kerja dengan siapa saja. Yang jelas, baginya lebih sulit membuat musik untuk film komedi daripada horor atau thriller.
”Rasanya kadar takut semua orang lebih kurang setara. Beda dengan komedi. Sense of humor itu bisa beda sekali. Kalau saya merasa sense of humor saya dengan sutradaranya bertolak belakang, lebih baik enggak saya ambil proyeknya,” katanya yang selama wawancara cukup jarang terbahak-bahak.
Fokus pada musik
Aghi tertarik pada scoring film dan musik klasik sejak kanak-kanak. Ketika menonton film kala bocah, dia lebih fokus memperhatikan musiknya. Dia juga sering menonton acara musik klasik di TVRI, meski ditayangkan malam hari.
Menginjak usia remaja, di terpesona dengan musik metal: Testament, Metallica, Megadeth, Iron Maiden, dan sebangsanya. Dinamika musik metal itu mengingatkannya pada struktur musik klasik. Di masa ini Aghi mulai main band sebagai gitaris, tapi masih jadi band peniru atau cover version. Baru di bangku SMA, dia gabung dengan band Skywalker yang memainkan lagu sendiri. ”Demonya udah kami tawar-tawarkan ke label rekaman. Semua menolak,” katanya tertawa-tawa.
Band itu jalan terus dengan lingkaran pertemanan yang berkembang, antara lain dengan bergabungnya Iman Fattah dan Zeke Khaseli. Mereka lalu pindah ke Seattle, AS. Di episentrum aliran musik alternatif itu, band mereka berubah nama menjadi LAIN, dan sempat merekam album. Bermain band dilakukan Aghi di sela kuliah Produksi Audio di Art Institute of Seattle.
Di bangku kuliah setara diploma itu, dia mendalami produksi suara, khususnya dari aspek teknis. Kembali dari Seattle, kancah musik independen di Jakarta sedang mekar. Musik ”bawah tanah” tak melulu bergenre metal dan turunannya. Ini membuka pintu bagi band LAIN, yang waktu itu pulang dengan album penuh Djakarta Goodbye. Musikalitas LAIN jadi gerbong penting pergerakan kancah musik independen Jakarta di awal milenium baru.
Popularitas LAIN membuka perkenalan dengan Nia Dinata, produser dan sutradara dari Kalyana Shira Films. Aghi merasa ilmu produksi audio yang dia pelajari di Seattle bakal berguna di kancah film yang juga sedang bersemangat. Dikenalkan David Tarigan dari Aksara Records, Nia Dinata mengajak Aghi menata musik untuk proyek filmnya, Berbagi Suami (2006).
”Waktu berjumpa dengan Teh Nia (Dinata), yang ditanya bukan pernah ikut film apa saja, tapi ngobrolin selera musik, referensi film. Rupanya nyambung,” kenangnya. Jadilah, musik latar Berbagi Suami jadi film pertama yang dia tata musiknya. Setelah itu, setiap tahun pasti ada saja musik film yang dia kerjakan. Tahun 2017, jadi tahun paling produktifnya; dia mengerjakan musik untuk sembilan film panjang.
Selain masih asyik menggeluti scoring film, Aghi juga mencoba mengajak kaum muda mengenali profesi ini. Menurut dia, banyak yang ingin berkarier di industri film, tapi kebanyakan maunya jadi sutradara, director of photography, atau aktor. Artinya, peluang menjadi penata musik masih terbuka lebar. Ajakan itu dia serukan ketika mengajar. Aghi adalah pengajar mata kuliah desain suara atau sound design di Unisadhuguna International College di BSD City, Tangerang, sejak 2018. Dia juga pernah mengajar di Institut Musik Indonesia dari 2011 sampai 2021.
”Saya ingin ada regenerasi di perfilman, terutama di bidang musik dan tata suara. Selain mengajar, saya pelan-pelan bikin lokakarya (workshop). Ini (regenerasi) perlu karena industri perfilman kita terus tumbuh dan butuh kru yang baru serta tata suara yang baru, mengikuti zamannya,” kata Aghi seraya meyakinkan bahwa bidang ini bisa menjadi pegangan hidup selama dijalani dengan serius.
Petang itu, obrolan kami akhiri dengan bayangan seperti apa kelak musik-musik yang muncul di film. Film Joker berdampak munculnya talenta penata musik dari negara Skandinavia. Harapannya, ada film Indonesia yang memberi dampak serupa: kemunculan penata musik baru. Harapan itu mengendap sejenak di dasar cangkir caffe latte bikinan Aghi yang rasanya tak pahit, juga tak manis, pas saja. (HEI)
Aghi Narottama Gumay
Lahir: Jakarta, 12 April 1976
Pendidikan: Audio Production di Art Institute of Seattle (2000-2003)
Beberapa film:
- Berbagi Suami (2006)
- Quickie Express (2007)
- Pintu Terlarang (2009)
- Pengabdi Setan (2017 dan 2022)
- Gundala (2019)
- Yasmine (2014)
- Sang Kiai (2013)
- A Man Called Ahok (2018)
- My Stupid Boss (2016)
- Perempuan Tanah Jahanam (2019)