H Abu Ubaedah, Menjaga Nasionalisme Generasi Muda di Tapal Batas
Lewat Pondok Pesantren Mutiara Bangsa yang diasuhnya di Pulau Sebatik, Haji Abu Ubaedah menjaga semangat cinta Tanah Air para santri dan santriwati di tapal batas.
Haji Abu Ubaedah (68) setia menjaga semangat nasionalisme para santri dan santriwati terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Pondok Pesantren Mutiara Bangsa di Desa Padaidi, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, ia berupaya membangkitkan cinta Tanah Air dan toleransi di dalam diri anak-anak asuhnya yang sebagian besar adalah anak pekerja migran.
Ubaedah memimpin pondok pesantren yang berada di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia itu sejak 2011. Ditemui di rumah pengasuh pondok yang berada di belakang kompleks pondok dan bangunan SMP, SMK, serta Madrasah Diniyah Takmiliyah, Ubaedah hidup sederhana bersama istri, anak bungsu, serta satu cucunya.
”Saya selalu pesankan kepada anak-anak bahwa cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman supaya mereka betul-betul memiliki Indonesia ini lantaran kami tinggal di daerah perbatasan dengan Malaysia,” kata Ubaedah, Sabtu (16/7/2022), di rumahnya.
Beralaskan karpet plastik di ruang tamu berukuran sekitar 3 meter x 2 meter serta ditemani kipas angin kecil pengusir udara gerah, Ubaedah mengisahkan bagaimana pondok pesantren yang dipimpinnya itu dirintis. Ponpes itu didirikan Yayasan Mutiara Bangsa Kalimantan sejak 2007 dan mulai beroperasi pada 2009.
”Pondok ini didirikan dengan tujuan mencerdaskan anak-anak bangsa, terutama waktu itu banyak anak TKI di Tawau yang tidak sekolah sehingga pertama kali didirikan juga SMP,” ujar suami dari Rabiah (57) ini.
Pulau Sebatik di Kalimantan Utara merupakan pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pulau ini dibelah menjadi dua bagian dengan batas-batas patok antara Malaysia dan Indonesia. Sebagian besar WNI di sana bekerja di kota Tawau, Malaysia. Para TKI itu bekerja di bidang perkebunan, perindustrian, dan rumah tangga.
Setelah bertahun-tahun merantau menjadi TKI di Malaysia, mereka pun berkeluarga. Anak-anak mereka besar dan banyak mendapatkan pengaruh pendidikan dari Malaysia.
”Awalnya memang banyak anak yang hanya bisa menggunakan bahasa Melayu dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan, ada juga anak-anak yang tidak hafal lagu ’Indonesia Raya’,” ujar bapak dari empat anak ini.
Dengan pendekatan dan pengasuhan di pondok serta pendidikan formal di sekolah, anak-anak itu diajari serta dilatih mengenai wawasan kebangsaan, pengamalan nilai-nilai Pancasila, serta bernyanyi lagu-lagu nasional.
”Pelan-pelan kami latih lagu ’Indonesia Raya’ dan setelah berjalannya waktu mereka pun bisa dikatakan layak untuk memimpin nyanyi lagu kebangsaan kita. Di sanalah kebahagiaan kami. Tadinya anak-anak ini belum sepenuhnya mengerti akan kebangsaannya setelah di sini sudah cukup mengerti tentang kebangsaannya,” kata Ubaedah.
Tantangan lain dalam mengasuh anak-anak pekerja migran yang bekerja di Malaysia, kata Ubaedah, adalah kebiasaan merokok yang telah tertanam dalam diri mereka. Kebiasaan itu tumbuh saat mereka ketika ikut bekerja di kebun sawit bersama orangtuanya.
”Di tempat ini memang dilarang merokok, tetapi namanya sudah jadi kebiasaan kadang mereka curi-curi kesempatan untuk merokok. Kami berupaya menasihati secara baik-baik,” ujarnya.
Kenakalan remaja lainnya di pondok pesantren ini, kata Ubaedah, adalah pergi meninggalkan pondok tanpa izin. Jika terdapat pelanggaran-pelanggaran semacam ini, teguran lisan serta sanksi berupa membersihkan WC diterapkan. ”Teguran diberikan secara bertahap. Jika sudah berulang kali melanggar peraturan, ya terpaksa kami panggil orangtuanya dan disampaikan bahwa anak ini tidak cocok di tempat ini,” tuturnya.
Pondok pesantren ini awal mulanya hanya mengasuh 10 anak TKI dan tidak semuanya beragama Islam. Ada yang beragama Kristen dan Katolik. Di sanalah anak-anak ini kemudian diajarkan untuk juga saling bertoleransi mengingat keberagaman suku dan agama yang ada di Indonesia.
Kini, seiring berjalannya waktu, pondok ini mengasuh 125 santriwati dan 175 santri. Dari 300 remaja tingkat SMP dan SMK ini, sekitar 30 persen di antaranya anak-anak TKI.
Memupuk nasionalisme
Salah satu bukti semangat nasionalisme dari anak-anak pondok itu terpancar dari lukisan Rizki Darmawan Pamungkas (18). Santri sekaligus siswa kelas XII SMK Mutiara Bangsa Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan itu sedang mengikuti festival dan lomba seni siswa nasional di Kabupaten Nunukan.
”Tema lomba festival ini di Kabupaten Nunukan adalah nasionalisme. Saya melukis Tugu Perbatasan Garuda Perkasa dan di bawahnya ada Monas, rumah adat Tidu, masjid, rumah adat Toraja, dan ini gereja,” kata Rizki menjelaskan lukisan cat air yang ia torehkan di atas kanvas ukuran 70 cm x 50 cm.
Ubaedah menyampaikan, lewat pendidikan formal di sekolah, para santri dan santriwati dibiasakan mendengarkan serta menyanyikan lagu kebangsaan di pagi hari. ”Kita hidup di daerah perbatasan dan mudah masuk pengaruh-pengaruh dari luar, maka kita harus membentengi anak-anak dengan wawasan kebangsaan,” katanya.
Pembina Yayasan Mutiara Bangsa Kalimantan, Haji Herman Baco, menyebutkan, pondok pesantren ini dibangun oleh masyarakat setempat untuk memberikan pendidikan serta menanamkan cinta kebangsaan terhadap Indonesia Raya. ”Dulu itu semuanya serba Malaysia. Bajunya: Malaysia. Sepatunya: Malaysia. Apa yang dibaca: Malaysia. Nonton televisi: Malaysia. Dengar radio: Malaysia. Sekolah dulu hanya SD saja di sini. Anak-anak dulu lebih paham menterinya Malaysia daripada Indonesia,” tegas Herman.
Di bawah bimbingan pengasuh di pondok pesantren serta guru di SMP dan SMK Mutiara Bangsa ini, generasi muda penerus bangsa diajak untuk mencintai dan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaikan mutiara yang berada di dasar laut yang dalam, para santri dan santriwati di pondok ini dipersiapkan untuk menjadi penerus bangsa yang mampu berkilauan di tapal batas Indonesia Raya.
Haji Abu Ubaedah
Lahir : Tinobu, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, 31 Desember 1954
Istri : Rabiah (57)
Anak : Umu Habibah (31), Raudatul Jannah (30), Mustafa Kamal (28), Fadil Ramadhan (19)
Cucu : 1 orang
Pendidikan : Sarjana Muda di IAIN Samarinda Fakultas Tarbiyah (1988)
Riwayat Pekerjaan:
PNS di Kantor Departemen Agama Kalimantan Timur, 1984-2002
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan, 2002-2009.