Dua Serangkai Penghijau Gunung Dempo
Rusi Siruadi (49) dan Boedi (47) adalah dua serangkai yang berjuang menyelesaikan konflik di Kawasan Kibuk, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Dengan ini mereka ingin Gunung Dempo kembali asri.
Bermula dari kesedihannya melihat lereng Gunung Dempo yang gundul dengan beragam konflik di sana, Boedi (47) dan Rusi Siruadi (49) memutuskan kembali ke kampung halaman dan memperbaiki kondisi lingkungan yang kritis. Tujuannya luhurnya adalah memberikan kesejahteraan bagi petani sembari menghijaukan kembali lereng Gunung Dempo.
Di bawah pondokan agrowisata di Dusun Langur Indah, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, Boedi dan Rusi duduk sembari menikmati jeruk gerga hasil budidayanya, Kamis (21/7/2022). Di sana mereka bercerita mengenai alasannya kembali ke kampung halaman setelah lama merantau di Bandung, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Boedi teringat ketika tahun 1998 terjadi kebakaran lahan di lereng Gunung Dempo tepatnya di kawasan Kibuk, Kecamatan Dempo Utara, Sumatera Selatan. Bencana itu tersiar melalui televisi. Seketika hatinya pun terenyuh karena kampung halamannya jadi sorotan lantaran kondisi alamnya yang rusak.
Melihat situasi menyedihkan itu, Boedi yang kala itu sudah mapan menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta di Bandung memutuskan kembali ke kampung halaman. Sekembalinya di sana, Boedi mencari akar masalah dari kerusakan lingkungan yang terjadi di Gunung Dempo.
Saat kebakaran terjadi, tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab. Untuk mencari duduk persoalan, Boedi berdiskusi dengan berbagai pihak. Dari hasil diskusi itu, Boedi pun menduga bencana tersebut terjadi akibat aktivitas pembukaan lahan besar-besaran untuk lahan perkebunan.
Jika menilik dari sejarahnya, ujar Boedi, sejak tahun 1987, warga Kibuk sudah membagi kawasan lereng Gunung Dempo untuk dijadikan lahan perkebunan. Setelah pembagian lahan dianggap tuntas, mereka pun membuka lahan pada 1996-1998. Selama proses pembukaan lahan, beragam konflik pun terjadi.
Mulai dari kejar-kejaran antara warga dan petugas karena dianggap perambah hutan hingga konflik lahan antara warga dan perusahaan, yakni PT Perkebunan Nusantara VII, yang juga memiliki perkebunan teh tak jauh dari kawasan tersebut. Tidak ingin konflik terus berlanjut, Boedi mencari jalan keluar. Merasa tidak mampu bekerja sendiri, dia pun memanggil Rusi Siruadi teman masa kecilnya yang berada di Yogyakarta untuk membantunya menyelesaikan masalah.
Boedi meyakini, Rusi yang mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu mampu membantunya mencari solusi dari permasalahan ini. ”Pulanglah, bantu saya perbaiki kampung halaman kita,” ujar Boedi pada Rusi saat itu.
Baca Juga: Bahtiar, Inisiator Desa dengan Beragam Wisata
Ucapan dari Boedi itu menggugah Rusi untuk kembali. Rusi menyadari, sebagai anak pekebun yang bisa mengecap pendidikan dari hasil panen perkebunan Gunung Dempo, kini saatnya kembali ke kampung halaman dan menggunakan ilmunya untuk memulihkan Gunung Dempo yang kritis.
Mereka berdua pun berdiskusi untuk mencari jalan keluar agar konflik antara masyarakat dan pemerintah tidak berkepanjangan. Solusi itu ditemukan ketika pada 2013 mereka mengusulkan untuk menjadikan kawasan Kibuk menjadi hutan kemasyarakatan (HKm) melalui program perhutanan sosial.
Setelah menjalani sejumlah prosedur, izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan pun didapatkan. Dari 440 hektar lahan yang diusulkan menjadi HKm, 320 hektar yang disetujui. Izin itu diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2018 di Hutan Kota Punti Kayu, Palembang. Menurut Rusi, itu menjadi langkah awal perbaikan lingkungan di lereng Gunung Dempo.
Setelah izin diterbitkan, langkah selanjutnya adalah mengonsolidasikan 132 petani yang berada di bawah naungan HKm Kibuk untuk mewujudkan visi yang sama, yakni mengusung kesejahteraan petani dan menghijaukan lereng Gunung Dempo. Menurut Rusi, tidaklah mudah untuk mewujudkan visi tersebut, butuh komitmen dari semua pihak, baik pengurus maupun petani.
Dimulai dengan melakukan pendataan secara menyeluruh untuk memastikan siapa yang berhak mengelola kawasan HKm dan meminta komitmen mereka menanam tanaman yang bisa mendukung penghijauan lahan dan menjaga hutan primer yang masih berdiri agar tidak lagi dirambah. Berdasarkan aturan, dari 340 hektar lahan HKm, minimal 30 persen harus dialokasikan sebagai kawasan konservasi. ”Kawasan inilah yang harus dijaga agar tidak dirambah lagi,” ucapnya.
Berbekal dari kemampuan di bidang arsitektur, Rusi menata kembali ruang kawasan agar warga tidak sembarangan mengelola lahan. ”Kami membuat plang dan dan batasan yang ketat agar anggota HKm mengetahui kawasan mana yang bisa dimanfaatkan dan harus dilindungi,” ujarnya.
Di sisi lain, Rusi dan Boedi juga terus bereksperimen dengan beragam tanaman guna memastikan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh anggotanya bisa selaras dengan upaya penghijauan kembali lereng Gunung Dempo.
IntensifikasiLangkah intensifikasi lahan digalakan dengan menanam beragam komoditas yang ramah lingkungan dan memberikan manfaat ekonomi bagi petani. Formulasi intensifikasi lahan pertanian dengan ketinggian sekitar 1.500-1.900 meter di atas permukaan laut itu diperoleh dengan melewati berbagai kegagalan. Tidak semua tanaman bisa hidup di lereng Gunung Dempo. Pemerintah pernah membagikan bibit, pala, cengkeh, dan durian, tetapi semuanya gagal. Namun, itu tidak membuat mereka patah arang. Dengan bantuan sejumlah pihak, berbagai eksperimen pun ditempuh.
Akhirnya, formulasi yang dinilai tepat pun didapatkan, yakni dengan menggabungkan tanaman naungan, seperti alpukat dan nangka, dengan komoditas lain. Di sela tanaman tersebut, petani menanam kopi dan di sela tanaman kopi, petani menanam komoditas sayur-mayur, seperti cabai, wortel, kentang, kubis, dan sawit.
Proses pembibitan pun dilakukan dengan mengombinasikan penanaman benih dengan okulasi, yakni proses pengembangbiakan vegetatif dengan cara menempelkan mata tunas dari suatu tanaman pada tanaman lainnya agar tercipta bibit unggul yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan.
Baca Juga: Febri Irwansyah Menjaga Identitas Sumatera Selatan
Dengan formulasi itu, petani bisa mengelola lebih banyak komoditas yang juga mendatangkan nilai ekonomi. Jika kesejahteraan dicapai, Rusi meyakini, mereka akan menjaga hutan agar tetap lestari. ”Karena ketika hutan rusak, risiko bencana bisa mengancam ladang atau bahkan nyawa petani yang beraktivitas di sana,” ujarnya.
Selain itu, ungkap Boedi, pihaknya juga telah menyiapkan sarana agrowisata berupa camping camp di sekitar kawasan agar wisatawan dapat menikmati indahnya lereng Gunung Dempo sembari menyaksikan aktivitas pertanian di sana. Sementara untuk kawasan hutan primer akan disiapkan untuk wisata edukasi yang dapat dimanfaatkan oleh para akademisi untuk mencari ilmu tentang keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam hutan primer Gunung Dempo tersebut.
”Kami ingin kesadaran masyarakat untuk menjaga Gunung Dempo dari kerusakan lingkungan bertumbuh seiring pertumbuhan hutan di sana,” ujar Boedi.
Baik Rusi maupun Boedi berharap, ketika berhasil, skema pengelolaan Hkm Kibuk ini bisa dijadikan contoh bagi kelompok tani lain sehingga mereka memiliki kesamaan visi, yakni untuk menjaga Gunung Dempo dari risiko kerusakan lingkungan. Pada akhirnya, petani pun bisa sejahtera dan berbangga karena dapat menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi berkat mengelola lahan pertanian secara benar dengan tetap melestarikan alam. (RHAMA PURNA JATI)
IdentitasNama: Boedi
Tempat Tanggal Lahir: Dempo Utara 2 Februari 1975
Pendidikan:
SD Negeri 41 Dempo Utara
SMP Negeri 3 Dempo Utara
SMA Muhammadiyah Pagar Alam
Biodata
Nama: Rusi Siruadi
Tempat Tanggal Lahir: Dempo Utara, 2 Agustus 1973
Pendidikan:
SD Negeri 41 Dempo Utara
SMP Negeri 3 Dempo Utara
SMA Muhammadiyah Pagar Alam
Akademi Teknik Arsitektur YKPN Yogyakarta
Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta