Lukas Rumetna (55), Bird’s Head Seascape Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), telah dua dekade mengonservasi perairan. Pahit dan manisnya konservasi bersama masyarakat pernah ia cicipi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Lukas Rumetna (55), Bird’s Head Seascape Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), di Kampung Salafen, Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (30/6/2022).
Lukas Rumetna (55) sudah menjadi pegiat konservasi perairan di Indonesia bagian timur selama dua dekade. Dirinya memang dekat dengan alam sejak kecil, tapi baru terjun ke lapangan saat dewasa. Alasannya sederhana dan lucu, yakni karena terpesona celana gunung.
Dulu, Lukas sering tampil rapi. Bajunya berkerah dan dimasukkan ke dalam celana panjang. Saban hari ia bekerja di balik meja sebagai asisten keuangan di salah satu lembaga konservasi di Merauke, Papua.
Ia suka-suka saja dengan pekerjaannya. Selain sesuai dengan bidang studi yang dipelajari selama kuliah, sejak dulu Lukas memang ingin bekerja di bawah lembaga konservasi alam. Saat lembaga tersebut mengadakan tes seleksi kerja di kampus, Lukas jadi satu-satunya orang yang lolos tes.
”Suatu hari, saya lihat rekan-rekan lapangan datang ke kantor dengan tas ransel dan Alpina (merek celana gunung). Dalam hati saya, ’Wah, gagah betul.’ Dari situ saya terpikir untuk minta ditugaskan ke lapangan,” kata Lukas sambil terkekeh-kekeh, Selasa (28/6/2022), di Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Lukas Rumetna (55), Bird’s Head Seascape Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), di Kampung Salafen, Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (30/6/2022).
Permintaan Lukas dikabulkan. Pada 1995, ia ditugaskan untuk mengawal peneluran penyu di kawasan Pantai Jamursba Medi, Kabupaten Sorong, Papua. Kini daerah itu masuk wilayah Kabupaten Tambrauw di Papua Barat. Pantai itu dikenal sebagai salah satu tempat peneluran penyu belimbing, jenis penyu terbesar, di Samudra Pasifik.
Penjagaan dibutuhkan lantaran persentase tukik (anak penyu) yang berhasil tumbuh menjadi penyu dewasa tidak banyak. Dari 100 telur yang dihasilkan induk penyu, yang berhasil tumbuh dewasa biasanya tidak lebih dari lima ekor. Ada telur yang gagal menetas, ada pula tukik yang dimangsa predator sebelum maupun sesudah menetas.
Tempat peneluran penyu yang dijaga Lukas dan rekan-rekannya kala itu terancam rusak. Pantai hanya berjarak sekitar 50 meter dari hutan produksi warga. Ada wacana bahwa warga pemilik hak ulayat akan mengizinkan suatu perusahaan masuk dan memanfaatkan hutan. Hal itu dikhawatirkan berpengaruh ke kelestarian pantai sehingga penyu enggan datang untuk bertelur.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Telur-telur penyu dikonservasi di Tempat Konservasi Penyu Saba Asri, Gianyar, Bali, Jimat (28/6/2019). Telur penyu tersebut dikumpulkan oleh para sukarelawan dan masyarakat dari sejumlah pantai di Bali. Masyarakat yang membawa telur penyu akan diberi imbalan Rp 3.000 untuk tiap butir telur.
Di sisi lain, sebagian warga tetap mendukung izin penggunaan hutan karena akan mendapat hasil dari penjualan kayu. Dibandingkan upah memantau penyu yang hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, pendapatan dari pemanfaatan hutan tentu lebih menarik hati warga. Lukas dan rekan-rekan pun cari akal agar warga mau terlibat konservasi penyu.
”Masyarakat punya kepercayaan bahwa penyu adalah nenek moyang mereka. Rasa kepemilikan warga terhadap penyu akhirnya dibangkitkan lagi dari situ. Kami juga mengadakan upacara adat,” katanya.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Wisatawan dan aktivis penyu melepas tukik penyu lekang ke laut di pesisir Pulau Serangan, Denpasar, Bali, Selasa (16/8/2016). Di pulau ini terdapat pusat konservasi penyu yang menjadi tempat penetasan telur-telur penyu yang didapat dari daerah-daerah di Bali.
Pada 1997, Lukas bekerja di bawah lembaga konservasi lain, kemudian ditugaskan ke Cagar Alam Pegunungan Arfak di Manokwari, Papua Barat. Ia mengemban tugas sebagai koordinator pengembangan komunitas lokal. Beberapa tahun kemudian, ia bekerja untuk The Nature Conservancy (TNC) Indonesia (sekarang Yayasan Konservasi Alam Nusantara/YKAN) di bagian sosialisasi masyarakat.
Tugas-tugas yang dijalankan mengasah kemampuan Lukas untuk berdialog dengan masyarakat. Ini keterampilan penting karena di Tanah Papua, salah satu kunci keberhasilan konservasi alam ada di tangan masyarakat adat.
Ditolak warga
Pada kenyataannya, mendekati warga itu susah-susah gampang. Ia pernah ditolak warga bahkan sebelum melakukan pergerakan apa-apa. Saat beribadah di gereja bersama warga, ada yang berseru dengan lantang, ”Kami tidak butuh konservasi!”
Ia juga pernah diusir saat bertandang ke Kampung Fafanlap di Misool Selatan. Warga tidak setuju ada orang asing yang masuk ke kampung dengan tujuan konservasi. Sebagian pegiat konservasi biasanya maklum dengan hal ini. Sebab, selalu ada warga yang curiga kepada pihak luar. Mereka khawatir ditipu dan dirugikan.
”Terima saja saat kita tidak diterima masyarakat. Tidak mungkin kita paksa, kan,” kata Lukas yang menjabat sebagai Bird’s Head Seascape Senior Manager YKAN. ”Tapi, saya sampaikan pada warga bahwa jika mereka butuh bantuan kami suatu hari, datang saja ke kantor. Sekitar 1-2 tahun kemudian, mereka datang dan minta tolong agar lautnya dikonservasi.”
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Konsultasi publik di Kampung Salafen, Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat pada Rabu (29/6/2022). Warga dari lima kampung di Misool Utara, yaitu Kampung Salafen, Waigama, Solal, Atkari, dan Aduwei, berdiskusi soal rencana penetapan daerah mereka sebagai kawasan konservasi perairan.
Lukas dan rekan-rekannya langsung membantu. Mereka merancang program konservasi bersama dengan warga. Advokasi konservasi perairan pun diajarkan kepada anak-anak di kampung, misalnya ajaran agar jangan mengambil ikan dengan racun dan bom. Generasi muda juga diajak sebagai kader konservasi di kampung.
Pendekatan itu tidak hanya mengajari generasi baru tentang pentingnya menjaga alam. Anak-anak pada akhirnya akan mengedukasi orangtua di rumah. Kata Lukas, dibandingkan orang dewasa lain, terkadang orang dewasa lebih mendengarkan kata anak-anaknya. Suatu hari, warga kampung bercerita bahwa ia dimarahi anaknya saat kedapatan mengambil ikan secara destruktif.
Selain masyarakat, Lukas juga menggandeng tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah kampung. Ketua Dewan Adat Suku Maya Kristian Thebu sebelumnya berkata, tokoh adat, agama, dan pemerintah kampung adalah tiga tungku utama yang perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan di Tanah Papua.
Analogi
Lukas menggunakan analogi sederhana agar konsep konservasi bisa dipahami semua orang. Misalnya, zona inti di kawasan konservasi perairan diibaratkan sebagai deposito di bank. Sama seperti deposito, ikan di zona inti tidak boleh diambil sama sekali untuk menjaga keberlanjutan hasil laut. Sebagai gantinya, warga boleh mengambil bunga deposito, yakni ikan-ikan berlebih hasil konservasi.
Warga juga diajak menelaah perubahan hasil laut akibat alam yang rusak. ”Ada warga yang cerita bahwa biasanya mereka bakar ubi di belakang rumah sambil memancing. Begitu ubi masak, ikan didapat. Sekarang, ubinya masak, ikan tak dapat,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ikan tuna diperdagangkan di Pasar Ikan Hamadi, Jayapura, Papua, Jumat (3/12/2021). Pasar Ikan Hamadi menjadi pusat perdagangan perikanan utama di Jayapura dan Papua pada umumnya.
Sebagian warga juga bercerita bahwa mereka mesti pergi melaut ke tempat yang jauh untuk menangkap ikan. Padahal, dulu mereka tidak perlu pergi terlalu jauh, tetapi hasil tangkapan berlimpah. Dari cerita-cerita tersebut, Lukas memberi pemahaman bahwa itu adalah tanda kerusakan laut. Masyarakat yang paham pun bersedia ikut kegiatan konservasi di kampung.
Sebenarnya masih banyak cerita Lukas tentang kegiatan konservasi di kampung-kampung Papua. Namun, obrolan selama 96 menit ini mesti segera diakhiri. Suara ombak memanggilnya untuk meneruskan amanah menjaga laut dan isinya.