Emil Salim, Tetap Kritis Tak Terkikis Usia
Peraih penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2022, Emil Salim, tetap kritis menyuarakan isu lingkungan dan pembangunan meski usianya sudah tidak lagi muda. Pemikirannya pun masih bernas akan kondisi saat ini.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F16%2Fb403401b-ff67-457e-a9e9-f523cc3d30f3_jpg.jpg)
Emil Salim
Menginjak usianya yang ke-92 tahun, fisik Emil Salim mungkin sudah tidak sebugar dulu. Namun, pemikiran dan semangatnya terhadap berbagai isu pembangunan masih tetap menggelora. Ia meyakini, Indonesia dapat mencapai cita-cita yang diidamkan apabila mampu menyiapkan generasi yang mampu menguasai sains dan teknologi.
Dengan diiringi senyum dan sapaan kecil, Emil Salim keluar dari ruangannya sambil dipapah oleh seorang asisten saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Kamis (16/6/2022). Pada 8 Juni 2022 lalu, menteri lingkungan hidup pertama Indonesia ini genap berusia 92 tahun.
Di balik fisiknya yang mulai rapuh, Emil masih memiliki pemikiran yang tajam tentang berbagai program pembangunan nasional. Sebagai seorang yang fokus memperhatikan isu lingkungan hidup selama puluhan tahun, ia sedih dengan kondisi pembangunan saat ini yang dipandang belum mengedepankan aspek lingkungan secara penuh.
Bukan investasi yang membuat Indonesia maju pada 2045, melainkan penguasaan sains dan teknologi.
Sepanjang pengalamannya, Emil melihat bahwa selama ini manusia cenderung memiliki sifat egois. Tanah dan semua yang bersumber dari alam ingin dimiliki untuk meningkatkan kesejahteraan segelintir orang tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat luas.
”Hati saya sedikit sedih melihat fakta kerusakan alam yang sampai saat ini tidak berkurang, hutan semakin menyempit, dan alam kita tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Ada hal yang membuat saya tidak cocok dengan cara kita membangun tanah air yang kurang mengindahkan pemerataan dan keadilan sosial,” ujarnya.
Awalnya, Emil bukanlah seorang yang berlatar belakang ilmu lingkungan, melainkan ekonomi. Dua ilmu yang acap kali dianggap bertentangan. Studi doktoral yang ia tempuh di University of California at Berkeley, Amerika Serikat, pada 1961-1964 juga berfokus pada ekonomi pembangunan.
Emil menceritakan bahwa saat mempelajari ilmu ekonomi, ia sama sekali tidak memahami aspek lingkungan. Ia mengakui, saat itu ekonomi yang dipelajari masih sangat bertumpu pada pengolahan dan eksploitasi sumber daya alam. Sebaliknya, kerusakan alam yang ditimbulkan tidak dipedulikan oleh pihak pengeksploitasi tersebut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F16%2F3fe5741b-9871-4bfe-bc13-c3be92fe090c_jpg.jpg)
Emil Salim
”Saat saya belajar ekonomi, yang dikenal hanya bagaimana cara menurunkan biaya untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin dalam mengolah sumber daya alam. Jadi, saya belajar ilmu ekonomi tradisional yang hanya mementingkan eksploitasi,” katanya.
Awal mula bekerja di Badan Perencanaan PembangunanNasional (Bappenas) pada 1960-an, Emil juga belum memasukkan aspek lingkungan dalam agenda pembangunan. Sebab, kala itu Indonesia tengah menghadapi krisis ekonomi besar yang menyebabkan melambungnya utang, defisit anggaran, hiperinflasi, dan permasalahan lain.
Baca juga : Emil Salim: "Omnibus Law" Membuat Indonesia Kembali ke Masa Lalu
Guna mengatasi krisis tersebut, berbagai upaya pemulihan dan stabilisasi ekonomi pun dilakukan, termasuk menyampingkan persoalan lingkungan. Bahkan, penyelenggara negara menganggap isu lingkungan bukanlah prioritas utama pembangunan di tengah permasalahan ekonomi yang menumpuk.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F16%2F1a82f5f1-00ae-4cbe-96dc-b5729052b059_jpg.jpg)
Emil Salim
”Dunia pada waktu itu juga belum membicarakan masalah lingkungan. Padahal, kondisi lingkungan di dunia saat itu sudah sangat rusak. Jadi, kami masuk ke dalam pola pembangunan 1960-an ke atas itu dalam keadaan dunia yang rusak ekonominya dan hancur keadaan alamnya,” ungkapnya.
Menteri lingkungan
Perkenalan pertama Emil Salim dengan isu lingkungan dimulai ketika menjadi ketua delegasi Indonesia dalam konferensi lingkungan UN Conference on Human Environment and Development di Stockholm, Swedia, 1972. Saat itu, ia sebagai Menteri Penertiban Aparatur Negara (Kompas, 2 Juni 1972).
Lalu, setelah mengakhiri jabatan sebagai Menteri Perhubungan periode 1973-1978, Emil ditugaskan Presiden Soeharto untuk menjabat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Sampai sekarang, Emil tidak mengetahui alasan Presiden Soeharto memintanya menjadi menteri lingkungan hidup pertama.
”Latar belakang ilmu saya itu ekonomi dan tidak mengerti ekologi. Akan tetapi, Pak Harto bilang, ekonomi dan ekologi saling berkaitan. Kemudian saya bilang lagi kalau tidak pernah dilatih menjadi menteri lingkungan. Pak Harto kembali menjawab kalau dia juga tidak pernah dilatih menjadi presiden,” kata Emil sambil tersenyum mengenang hal itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F02%2F01%2F580fdb54-e42e-4aa4-bff5-0beb5432c04e_jpeg.jpg)
Sudut memorabilia keluarga besar Emil Salim dipenuhi foto-foto keluarga dan dokumentasi momen ulang tahun. Foto ini diambil sekitar tujuh tahun lalu, tepatnya pada 14 September 2015.
Selama menjabat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup inilah Emil mulai menyadari adanya kekeliruan dalam praktik ekonomi konvensional. Ia mulai mempelajari ilmu lingkungan yang dielaborasi dengan aspek pembangunan. Elaborasi kedua ilmu ini sangat dibutuhkan untuk memperkecil dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi.
Salah satu fokus Emil ketika awal menjabat menteri ialah memastikan pembangunan berwawasan lingkungan guna memenuhi kebutuhan dan ketahanan pangan. Upaya mencapai ketahanan pangan ini sangat bergantung pada tanah dan air sehingga program kerja yang dibuat adalah menyelamatkan dua sumber daya tersebut.
”Sawah membutuhkan air dari sungai dan gunung sehingga dua daerah ini perlu dipastikan kelestariannya. Maka dari itu, daerah aliran sungai dan tata ruang muncul sebagai pola perencanaan pembangunan,” ucapnya.
Setelah mengakhiri jabatan sebagai menteri pada 1993, Emil tetap setia menyuarakan isu lingkungan dan pembangunan hingga membentuk Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Menurut Emil, Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati harus bisa memanfaatkan dengan baik anugerah biodiversitas ini dibandingkan harus terus bergantung pada sumber daya alam yang merusak dan polutif, seperti batubara.
Harapan bagi Indonesia
Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi saat ini, Emil tetap menaruh sepucuk harapan bagi kondisi Indonesia yang lebih baik, khususnya menjelang 100 tahun kemerdekaan pada 2045 mendatang. Ia meyakini masa depan Indonesia sangat bergantung pada generasi muda yang saat ini tengah mempelajari ilmu sains dan teknologi.
Kendati demikian, Emil menyoroti peran semua pihak yang belum memprioritaskan sektor pendidikan bagi generasi muda. Padahal, menurut Emil, bukan investasi yang membuat Indonesia maju pada 2045, melainkan penguasaan sains dan teknologi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F23%2F0e6caf3d-362f-438c-87e4-8520d7bef2b4_jpeg.jpg)
Peringatan 40 hari wafatnya ekonom Widjojo Nitisastro di auditorium Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dihadiri sejumlah tokoh, antara lain (dari kanan) Guru Besar FEUI Emil Salim, Presiden ke-3 RI BJ Habibie, Dekan FEUI Firmanzah, Guru Besar FEUI Ali Wardhana, dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.
”Bukan salah tanah air bila Indonesia masih tertinggal, tetapi kita yang tidak mampu mengolah kekayaan alam dengan ilmu yang dimiliki. Oleh karena itu, kitalah yang harus meningkatkan kemampuan untuk mengejar ketertinggalan,” ucapnya.
Meski banyak catatan yang dikritisi, Emil tetap menaruh keinginan dan harapan bagi Indonesia untuk tidak lagi mengedepankan pembangunan yang merusak alam. Ke depan, Indonesia juga diharapkan bisa lebih memaksimalkan potensi alam dengan sebaik-baiknya, terutama untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan dan mengatasi krisis iklim.
Dari sisi kualitas sumber daya manusia, dengan sangat berapi-api, ia sangat menekankan agar kualitas pendidikan ditingkatkan. Emil Salim berharap agar generasi muda saat ini menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai modal untuk bisa membawa kejayaan Indonesia saat merayakan 100 tahun kemerdekaan pada 2045 mendatang.
Baca juga : Titik Balik Hukum Lingkungan di Indonesia
Data diri
Nama:Emil Salim
Istri: Roosminnie Roza Salim (alm)
Lahir :Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930
Karier:
- Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara/Wakil Ketua Bappenas, 1971-1973
- Ketua Tim Koordinasi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional, 1972-1973
- Menteri Perhubungan, 1973-1978
- Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1978-1983
- Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1983-1993
- Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
- Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2007-2009
- Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014
- Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), 2021-sekarang
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1951-1957
- Master of Arts University of California at Berkeley, AS, 1959-1961
- PhD in Economics University of California at Berkeley, AS, 1961-1963
Lainnya:
- Pendiri Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), 1993
Penghargaan, di antaranya:
- Bintang Mahaputra Adipradana, 1973
- Golden ARK (Commandeur) of Netherland, 1982
- Paul Gety Award, AS, 1990
- Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture VII, 2007
- The Midori Prize for Biodiversity, 2010
- Humanitarian Achievement Award, 2016