Formula Antikorupsi Meuthia Ganie-Rochman
Penerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi ”Kompas” 2022 Meuthia Ganie-Rochman sudah lebih dari tiga dekade menggeluti tata kelola organisasi. Ia punya formula khusus untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Korupsi sebagai tindakan yang menggerogoti konsolidasi sistem dan institusi menjadi perhatian Meuthia Ganie-Rochman. Selama lebih dari tiga dekade, Meuthia memahami dan memercayai tata kelola organisasi dan institusi sebagai kendaraan menuju perbaikan dan kemajuan hidup bermasyarakat. Tidak terkecuali untuk mengatasi korupsi yang memicu ketimpangan, ketidakadilan, dan membuat ketidaksetaraan akses pada sumber-sumber daya bangsa.
Pada titik ini, pengajar senior di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ini bertolak dari nilai-nilai kejujuran dan keadilan yang tercederai dari praktik korupsi. Korupsi membawa kerugian yang tidak sedikit, sebab dengan pengelolaan dana publik yang tidak akuntabel, transparan, atau ”bocor”, banyak program perbaikan sistem, pengembangan sumber daya manusia, kesejahteraan masyarakat, dan kualitas pendidikan di negeri ini tidak mendapatkan dukungan sumber daya yang layak.
Ketidakadilan, ketimpangan, kemiskinan adalah dampak nyata dari praktik korupsi yang korosif. Untuk menyasar persoalan itu, Meuthia memilih berangkat dari pendekatan institusional.
”Saya seorang institusionalis. Saya percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui organisasi-organisasi yang tertanam di birokrasi, industri, dan masyarakat,” kata Meuthia, dalam perbincangan di Gedung Mochtar Riady, Departemen Sosiologi, FISIP UI, Depok, Jawa Barat, pertengahan Juni 2022.
Pendekatan institusional meniscayakan kaitan antara satu sistem dan sistem yang lain, saling terkait, dan tidak dapat berdiri sendiri. Demikian halnya dalam mendekati persoalan korupsi yang multidimensional. Tidak dapat, misalnya, hanya mengandalkan sistem penegakan hukum di mana ada lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak juga cukup dengan perbaikan tata kelola pemerintahan (governance), dan pelayanan publik, yang diupayakan pemerintah.
Mesti dicatat pula adanya pengaruh kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang berkelindan—dan acapkali memiliki kekuasaan besar—di dalam praktik korupsi, menjadikan fenomena ini tidak cukup didekati dengan hanya satu dimensi. Unsur regulasi, serta dukungan masyarakat sipil, yang termasuk di dalamnya ialah kalangan akademisi, ilmuwan, organisasi kemasyarakatan (ormas), media massa, dan organisasi nonpemerintah, adalah sistem yang tidak dapat diabaikan.
Meuthia yang menjadi salah satu panitia seleksi (pansel) anggota KPK, 2015, ini mengusulkan pendekatan constructive engagement (keterlibatan konstruktif), yang tidak hanya dimaknai sempit sebagai partisipasi dalam mengatasi suatu persoalan, termasuk korupsi. Dalam keterlibatan konstruktif, setiap pihak yang terlibat harus siap berubah dan saling mendukung.
Birokrasi atau pemerintah tidak mungkin menyelesaikan persoalan sendiri. Mereka harus mengakui dan melibatkan masyarakat sipil. Namun, kerja sama ini harus berada dalam satu kerangka kerja ( framework) dan tujuan yang terarah.
Untuk mencapai hal tersebut, ahli sosiologi organisasi ini menegaskan adanya kebutuhan politik penguatan masyarakat sipil. Negara perlu melakukan pelindungan, bahkan fasilitasi, agar masyarakat sipil ini dapat memperkuat dirinya dan menjalankan fungsi-fungsinya.
Birokrasi atau pemerintah tidak mungkin menyelesaikan persoalan sendiri. Mereka harus mengakui dan melibatkan masyarakat sipil. Namun, kerja sama ini harus berada dalam satu kerangka kerja (framework) dan tujuan yang terarah. Misalnya, pemerintah dapat membuat tema-tema strategis bersama dengan masyarakat sipil yang kompeten dan kredibel, untuk menyasar tujuan perubahan dalam kerangka waktu tertentu.
”Kita mau perubahan seperti apa, dan riset yang diperlukan dalam 10 tahun ke depan, misalnya. Jadi, dalam jangka waktu satu, dua, atau tiga tahun, apa yang mau diubah. Untuk melakukan ini, akademisi jangan dibebani hal-hal administratif yang membuat mereka tidak bisa atau kurang menghasilkan riset-riset yang strategis,” tuturnya.
Di sisi lain, gangguan terhadap masyarakat sipil harus diatasi serius oleh pemerintah. Meuthia dan sejumlah kawannya yang menyoal revisi UU KPK, misalnya, pernah dibajak telepon selulernya. Suara kritis publik tidak seharusnya diganggu dengan peristiwa semacam itu.
”Entah siapa yang melakukan, tetapi pemerintah berkewajiban melindungi dan meminta penegak hukum menangani hal semacam ini,” ujarnya.
Penguatan KPK
Dalam penanganan korupsi, Meuthia menilai perlu adanya satu focus kerangka kerja yang harus disusun untuk memandu kerja-kerja kelembagaan. KPK periode 2015-2019, misalnya, fokus pada penanganan kasus korupsi di bidang sumber daya alam (SDA). Sejumlah pengungkapan korupsi di bidang SDA cukup mencolok.
Fokus kelembagaan semacam itu pun diharapkan kelihatan pada KPK periode saat ini. Namun, hingga saat ini, di tengah isu pelemahan KPK akibat revisi Undang-Undang KPK, Meuthia belum melihat adanya satu kerangka kerja yang jelas dari KPK. Situasi ini menyulitkan karena saat ini kredibilitas KPK juga dalam ujian setelah ada pemimpinnya yang terjerat problem etik.
Dari sudut pandang institusional, ketiadaan kerangka kerja ini berpotensi menyia-nyiakan sumber daya di dalam lembaga. Sebagai contoh, banyak ahli antikorupsi di KPK yang membuat kajian tentang persoalan itu. Namun, karena tidak adanya satu kerangka kerja yang jelas, hasil kajian mereka tidak dapat dioptimalkan implementasinya dalam kerja-kerja kelembagaan pemberantasan korupsi.
”Banyak teman saya yang kompeten di KPK, tetapi bagaimana memakai hasil kajian mereka itu di dalam lembaga, itu memerlukan satu framework yang jelas. Siapa yang memikirkan framework perubahan ini, dan harus dikelola seperti apa, dan bagaimana menerapkannya. Ini harus dipikirkan,” ujar Meuthia.
Baca juga : Tak Lelah Melawan Pelemahan KPK
Sebagai satu lembaga yang bersifat primus interpares, yakni lembaga yang sejajar dengan lembaga setara lainnya, tetapi kedudukannya diutamakan, KPK bisa memilih mitra bekerja sama untuk mengoptimalkan perannya. Ada kepolisian, kejaksaan, hingga masyarakat sipil, yang bisa diajak berjejaring untuk melakukan fungsi pemberantasan korupsi.
Kendati demikian, penguatan kelembagaan KPK memang memerlukan peran dari pemerintah. Meuthia tidak menampik perubahan regulasi berdampak pada situasi KPK. Akan tetapi, di luar persoalan regulasi, secara organisasional masih ada hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja KPK. Salah satunya ialah dengan penegasan kerangka kerja. Peran pemimpin lembaga dalam merumuskan kerangka kerja ini menjadi penting.
Perlu keseriusan politik untuk menguatkan KPK. ”Tidak mesti UU saja. Sebab, kalau misalnya bisa dijaga kredibilitasnya, dan didukung lembaga penegak hukum lainnya, bekerja bersama-sama, dan resources diberikan lebih baik, dan mitra yang dipilih akuntabel, itu penting sekali bagi kelembagaan KPK,” katanya.
Salah satu fokus yang seharusnya dapat dipertimbangkan dalam penanganan korupsi ialah perbaikan birokrasi dan tata kelola pemerintahan daerah. Sebab, saat ini kondisi birokrasi dan tata kelola di pusat relatif lebih baik. Akan tetapi, maraknya penangkapan kepala daerah akibat suap dan korupsi mengindikasikan hal ini seharusnya bisa menjadi fokus berikutnya bagi pemberantasan korupsi.
Meuthia melihat daerah dapat menjadi arena korupsi baru di saat situasi pusat mulai membaik. Sampai saat ini, misalnya, belum terlalu kelihatan gebrakan memperbaiki birokrasi di daerah.
Harus ada konsolidasi dari pemerintah pusat untuk melakukan hal ini, sebab mereka memiliki kemampuan untuk melakukan perbaikan sistem di daerah. ”Tetapi kita tahu banyak kepentingan yang tidak terlalu happy untuk memperbaiki sistem di daerah, karena itu merupakan resource bagi beberapa kepentingan tertentu,” ucap Meuthia.
Dengan segala tantangan kelembagaan tersebut, Meuthia mengingatkan perubahan memerlukan waktu. Proses menuju perubahan selalu bertahap, melibatkan percobaan dan kegagalan (trial and error), dan evaluasi, serta harus dalam kerangka kerja yang matang.
Nilai keadilan
Perhatian Meuthia pada sosiologi organisasi dengan pendekatan institusionalnya tumbuh berdasarkan pengalaman keilmuan dan perjalanan hidupnya. Orangtuanya mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Ia dinamai Meuthia, sama dengan nama putri proklamator Mohammad Hatta, karena kedua orangtuanya mengagumi sosok Bung Hatta. Bung Hatta dikagumi karena kejujuran dan intelektualitasnya.
Baca juga : ”Wormhole” di Rumah Pengasingan Bung Hatta
Orangtuanya sedari kecil juga menanamkan sikap peduli kepada orang lain yang membutuhkan. Dari ibunya, terutama, ia belajar sikap
welas asih
dan kemanusiaan itu. Ketika beranjak dewasa, ia mengembangkan cara pandang yang lebih luas dalam melihat kemiskinan dan ketertinggalan.
”Ketika melihat orang yang membutuhkan, kita bukan sekadar kasihan. Tetapi ada pertanyaan, kenapa mereka ada pada posisi itu. Lantas kita tentu belajar apa yang menyebabkan itu, dan muncul kesadaran perlu adanya perbaikan sistem untuk mengatasi ketimpangan dan mewujudkan keadilan,” ungkap Meuthia.
Sejalan dengan studinya di Jurusan Sosiologi, Meuthia menemukan pendekatan institusional sebagai cara paling mudah untuk meramalkan sesuatu dan melakukan perubahan. Sosiologi juga memberinya sarana dan kerangka kerja untuk memahami lingkungan sekitar dan persoalan kemasyarakatan. Ia memperkaya sudut pandang sosiologisnya itu dengan ilmu manajemen hingga ekonomi politik.
Sosiologi korupsi adalah salah satu tema yang cukup intens menjadi perhatian Meuthia. Namun, dari berbagai karya tulisnya, yang beberapa di antaranya dimuat oleh harian Kompas, terlihat perhatian Meuthia pada bidang yang sangat luas, mulai dari pembangunan, demokratisasi, masyarakat sipil, hak asasi manusia, hingga pemilu. Belakangan, Meuthia juga memberi perhatian pada dunia digital dan media sosial.
Dalam artikel yang dimuat Kompas, 6 November 2003, berjudul ”Tumbuhnya Organisasi Masyarakat, Ke Arah Mana?”, Meuthia menyoalkan belum matangnya organisasi masyarakat di Indonesia yang dapat menjadi penyeimbang dalam kehidupan demokrasi di Tanah Air. Meuthia merekam perjalanan organisasi masyarakat yang tertatih-tatih lima tahun setelah Reformasi. Konsisten dengan pandangannya, tulisan ini berisi gugatan sekaligus menyiratkan harapan akan masyarakat sipil yang lebih berdaya.
Tulisannya pada 22 Januari 2022, ”Big Data untuk Kesejahteraan”, mengungkap perhatiannya pada penggunaan big data sebagai alat pendorong akuntabilitas. Tidak serta-merta penggunaan big data dan tata kelola pemerintahan berbasis digital itu mencerminkan keterbukaan dan transparansi.
Meuthia memberikan tiga syarat untuk benar-benar menjadikan big data sebagai pendorong akuntabilitas. Pertama, digitalisasi itu menggerakkan masyarakat. Kedua, adanya jaminan sistem yang aman, apalagi bila digunakan untuk pengambilan keputusan berdasarkan algoritma. Ketiga, bagaimana data itu dikelola sebagai bagian dari pengambilan keputusan.
Satu benang merah dapat ditarik dari pemikiran dan tulisan Meuthia, semuanya meneropong persoalan dalam konteks yang sistemik dan institusional. Ia melihat problematika kemasyarakatan sebagai fenomena karakter hidup manusia yang berjejaring satu sama lain.
Menapaki usia 61 tahun, Meuthia dapat disebut sebagai sosiolog organisasi di Tanah Air yang memiliki perhatian luas pada beragam persoalan kemasyarakatan. Tidak hanya secara teoretis dan akademis, tetapi juga terjun langsung sebagai bagian dari masyarakat sipil yang aktif mendorong perubahan.
Biodata
Nama: Meuthia Ganie-Rochman, PhD
Lahir: Jakarta, Juni 1961
Suami: Prof Rochman Achwan
Pekerjaan: Pengajar Senior di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pendidikan: Gelar doctor of philosophy dalam bidang Sosiologi Politik dari University of Nijmegen/Radbound University, Belanda (2002); Gelar master (MA) dalam bidang Politik Pembangunan dari Institute of Social Studies (ISS), Belanda (1991); Gelar master (MA) dalam bidang Sosiologi dari FISIP UI (1986); Gelar sarjana dalam bidang Sosiologi dari FISIP UI (1986)
Kegiatan Lain: Juri nasional untuk Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 2019, 2020, 2021 (yang diadakan pada 2022), anggota juri Anti Gratification Inititives Award 2020 di KPK untuk kategori pemerintahan daerah; anggota panel debat publik Pilkada DKI Jakarta (2017); anggota Pansel Pimpinan KPK yang ditunjuk Presiden (2015-2019); Ketua Dewan Pembina YAPPIKA-ActionAid; anggota Dewan Eksekutif Transparency International Indonesia (TII)