Bu Eha, Kesetiaan dari Sudut Pasar Cihapit
Bu Eha adalah legenda hidup kuliner dari sudut pasar tradisional Cihapit, Kota Bandung. Dia melintasi zaman menjaga beragam menu khas Nusantara tetap ada.
Usianya sudah 91 tahun. Namun, semangat Hj Djulaeha atau dikenal dengan nama Bu Eha tidak luntur. Sebagian besar perjalanan hidupnya adalah bentuk kesetiaan pada kuliner Nusantara dari sudut Pasar Cihapit, Kota Bandung.
Ny Atun (58) lupa sudah berapa kali ia datang ke Warung Makan Bu Eha. Tidak terhitung. Datang pertama kali 40 tahun lalu, Atun nyaris selalu kembali setiap Jumat siang. Dulu, dia datang bersama kekasih, yang kini menjadi suaminya, saat masih mahasiswa. Kini, ia datang bersama suami dan anak-anak yang sudah berusia lebih dari 30 tahun.
”Sekarang dua anak saya sudah lulus kuliah, Bu Eha tetap jadi idola,” kata Atun, warga Antapani, berjarak sekitar 10 kilometer dari Cihapit, Jumat (18/6/2022).
Akan tetapi, Atun tidak lupa saat ditanya menu favoritnya. Ia menyebut ayam dan babat goreng serta sambal merah yang dibuat mendadak di urutan teratas. Meski menjadi terbilang menu lawas, ia selalu merasakan kesegaran baru ketika menyantapnya. ”Gurih dan pedas sambal dadaknya susah dicari duanya,” kata Atun.
Hanya saja, rindu datang lagi bukan sekadar perkara masakan. Keramahan Bu Eha membuat kangen itu datang lagi. Meski usianya nyaris seabad, senyum Bu Eha tidak pernah lepas dari wajahnya. Ingatannya juga kuat. Bu Eha, misalnya, ingat benar menu favorit yang bakal Atun pesan.
”Masih ada ayamnya. Tinggal goreng. Sambalnya juga tinggal dibuat lagi,” kata Bu Eha, sebelum Atun memesannya.
Istimewa
Bu Eha memang istimewa. Selain ingatan, fisiknya juga tidak terlihat dimakan usia. Kedua kakinya masih kokoh. Dia mengatakan, jarang sakit. Meski usahanya sempat tutup empat bulan akibat pandemi Covid-19 pada 2020, dia sejauh ini mulus menghadapinya. ”Cuma gigi bawah saja terpaksa dicabut karena sudah goyang,” katanya memperlihatkan bagian gusi yang tidak bergigi.
Akan tetapi, dari semua anugerah yang ia dapatkan, lidahnya bisa jadi yang paling juara. Tidak lagi masak sendiri, semua menu wajib dicicipinya sebelum disajikan kepada pelanggan sejak pukul 06.00. Warung, berukuran sekitar 12 meter persegi, yang tidak pernah sepi hingga tutup sekitar pukul 15.00 menjadi bukti ketangguhan itu.
”Saya jamin rasa masakan di sini tidak pernah berubah. Sama enaknya, sesuai dengan pesan yang selalu disampaikan Bu Enok,” kata Eha.
Warisan keluarga
Almarhum Bu Enok adalah ibu kandung Eha. Dia memulai usaha ini sejak tahun 1947 di Cihapit. Kemampuan Bu Enok didapatkan setelah sering membantu masak di rumah orang-orang Belanda di Cihapit. Cihapit dikenal sebagai pionir kawasan elite Bandung tempo dulu. Banyak orang kaya Belanda dengan selera makan tinggi tinggal di sana.
Bu Eha mengatakan, saat pertama berjualan, ibunya sempat menyajikan menu khas Belanda. Dia mencontohkan, steik, setup, kentang ongklok, hingga sup kacang merah. Seiring zaman, terutama saat Bu Eha mulai dipercaya mengelola warung tahun 1970-an, beragam menu baru mulai disajikan. Menu seperti bihun goreng, tumis pare, berbagai jenis pepes, ayam goreng, hingga gepuk mulai disajikan di meja panjang, bahkan hingga kini. Sebagian besar adalah sajian khas Sunda.
”Menu asli yang tetap dipertahankan sejak Bu Enok adalah soto bandung. Peminatnya masih banyak,” kata Bu Eha yang membutuhkan sekitar 25 kg daging sapi hingga 25 ayam sehari.
Yang tidak berubah juga adalah kesetiaan Bu Eha datang ke warung setiap hari. Bangun pagi sekitar pukul 03.30, ia menunaikan shalat Subuh lalu menyiapkan bahan makanan di rumahnya di kawasan Cimuncang, Kota Bandung.
Setelah rampung, ia bersama anggota keluarganya pergi ke Cihapit. Jarak sekitar 4 kilometer dari Cihapit. ”Dulu, kami bersama Bu Enok, jalan kaki dari rumah. Sekarang saya diantar naik mobil. Sebenarnya masih jalan, tetapi sudah tidak bisa jalan cepat,” katanya.
Di Cihapit, aktivitas memasak lantas dilanjutkan bersama tujuh anak buahnya. Buka pukul 06.00, dia berada di sana hingga warung tutup pukul 16.00. ”Saya senang di warung karena bisa bertemu dengan banyak orang. Itu obat panjang umur,” tuturnya.
Panjang melintasi zaman, pelanggan warung makannya beragam. Bagi mahasiswa yang tinggal di sekitar Cihapit era tahun 1970-an, misalnya, Bu Eha adalah penyelamat perut yang lapar. Tidak banyak warung makan yang buka saat itu. Lebih istimewa, Bu Eha tidak keberatan apabila mereka berutang dengan alasan belum dikirim uang bulanan. Semua utang itu biasa dicatat di buku tebal dan ditagih setiap awal bulan.
”Namun, saya tidak pernah memaksa mereka untuk bayar. Bagi yang belum punya uang, bisa makan meski berutang lagi,” kata Eha.
Bahkan, ada mahasiswa yang alpa membayar utang hingga lulus dan tidak tinggal di sekitar Cihapit. ”Pernah ada yang datang dan memberikan banyak uang setelah makan. Katanya, belum bayar waktu jadi mahasiswa,” kata Eha.
Tidak hanya mahasiswa berkantong tipis, pejabat daerah dan negara juga kerap datang. Makanan enak tidak memandang tempat di dalam pasar. Dia menyebut nama mantan Gubernur Jabar, mulai dari Dani Setiawan hingga Ahmad Heryawan. Gubernur Jabar saat ini, Ridwan Kamil, juga jadi pelanggannya. Anak-anak Bung Karno, seperti Guntur dan Guruh Soekarnoputra hingga Megawati Soekarnoputri, juga disebut cocok dengan makanan Bu Eha.
Tetap setia
Kini, seperti kisah manis yang ingin terus diwariskan, Bu Eha sudah menyiapkan generasi ketiga untuk meneruskan usahanya. Beberapa anaknya ikut membantu dan menemani. Salah satunya adalah Yusuf Supriadi (63), anak kelimanya.
Ramah kepada pelanggan seperti ibunya, Yusuf mengatakan, Bu Eha selalu menekankan tetap setia. Zaman boleh berubah, tetapi rasa harus tetap dijaga. Beragam proses detail saat memasak tidak boleh dilupakan.
Yusuf mencontohkan, Bu Eha tetap menggunakan satu merek minyak kelapa untuk menggoreng. Sudah digunakan puluhan tahun, minyak kelapa itu diyakini membuat rasa tidak berubah.
Sambal dadak yang melegenda juga hanya punya dua merek terasi pilihan. Jika diganti dengan terasi lainnya, pelanggan bisa protes karena rasanya pasti berbeda. ”Sejak dulu, untuk rasa gurih, kami menggunakan kaldu daging sebagai penyedap rasa, bukan vetsin,” katanya.
Cara memasaknya pun tidak berubah. Minyak goreng pertama harus digunakan untuk menggoreng tempe. Hal itu membuat tempe terasa lebih nikmat dan tidak mengganggu proses memasak menu lainnya.
”Tempe tidak memerlukan banyak bumbu sehingga kualitas minyak tetap terjaga. Ujungnya, tempe jadi incaran pelanggan. Sampai ada pelanggan yang ke sini hanya untuk mencari tempe goreng,” ujarnya.
Menu olahan daging sapi juga mendapat tempat khusus. Bu Eha sendiri yang memilih daging bagian gandik (bagian terluar paha sapi) yang baru dipotong maksimal satu malam sebelumnya. Dia tahu bentuk dan tekstur daging itu. Apabila ketahuan bukan yang diinginkan, daging itu akan dikembalikan kepada pemasoknya. ”Pemasok daging tidak berani mengakalinya. Pasti ketahuan,” kata Yusuf.
Selain itu, cara memotong daging setelah direbus selama beberapa jam juga memerlukan teknik tertentu. Tidak mudah memotong daging tebal untuk dijadikan gepuk tebal dan empuk. Jika keliru memotong, daging itu bakal hancur saat dimasak.
”Karena masing-masing menu diperlakukan saksama, sulit menentukan mana yang paling juara. Katanya, Pak Bondan (Winarno) sangat suka perkedel atau Pak William (Wongso) suka dengan gepuk. Setiap orang pasti punya menu jagoannya masing-masing,” ujar Yusuf.
Meski anak-anaknya berjanji bakal meneruskan warung makannya, sejauh ini, Bu Eha belum ingin berhenti berkarya. Menyapa pelanggan hingga mengurasi beragam makanan akan tetap dilakukan. Dia percaya, selain membuatnya tetap bugar, semuanya bagian dari ibadah. ”Banyak yang makan di sini menitipkan doa bagi saya agar panjang umur,” kata bangga.
Dengan senyum dan segala keramahannya, Bu Eha melengkapi dirinya sebagai legenda lewat kesetiaannya pada kuliner Nusantara. Kini, setelah nyaris seabad usianya, karya Bu Eha tidak akan pernah dilupa.
Hj Djulaeha alias Bu Eha
Lahir: Bandung, 31 Desember 1931
Anak: tujuh orang