Maestro pelukis Srihadi Soedarsono berpulang. Lukisannya yang terakhir sempat diperlihatkan kepada koleganya menjelang ulang tahun ke-90 Srihadi, 4 Desember 2021. Lukisan itu tentang penari keraton Jawa, bedaya.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·4 menit baca
Maestro pelukis Srihadi Soedarsono kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 4 Desember 1931, berpulang pada Sabtu (26/2/2022) pukul 05.15 di kediamannya di Bandung, Jawa Barat. Srihadi menorehkan jejak patriotisme semasa perang kemerdekaan, berikut tapak perjalanan seni rupa yang menggetarkan hingga akhir hayatnya.
Sitti Farida-Nawawi (80), istri Srihadi, masih tak kuasa menjawab pertanyaan melalui telepon. Berselang sekitar tiga jam dari embusan napas terakhir suaminya, ketika dihubungi Farida hanya membuka saluran teleponnya.
Sesaat terdengar Farida sedang berkata kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Farida disibukkan dengan berbagai keperluan. Akhirnya, ia menutup saluran teleponnya.
Beberapa waktu kemudian diinformasikan, jenazah Srihadi akan disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Jenazah diberangkatkan dari Aula Timur Institut Teknologi Bandung (ITB), almamater sekaligus tempat Srihadi mendedikasikan diri sebagai pengajar.
”Hari ini persis saya sedang mempersiapkan pengiriman rancangan buku untuk Pak Srihadi. Saya berencana meminta Pak Srihadi dan Bu Farida memberi koreksi terhadap tulisan untuk buku ini yang ingin saya beri judul Lelakon Srihadi,” ujar Agus Dermawan T di Jakarta, Sabtu menjelang siang.
Dari perkawinan Srihadi dengan Farida pada 23 Februari 1964, mereka dikarunia tiga anak. Pada saat peringatan perkawinan Srihadi dengan Farida terakhir kali, yaitu yang ke-58, pada 23 Februari 2022, Agus Dermawan menuntaskan tulisan untuk rencana bukunya itu. Tiga hari kemudian Agus menjanjikan akan mengirim buku itu ke Bandung agar dikoreksi.
Akhirnya, rancangan buku tidak jadi dikirimkan. Agus ingin melengkapi dengan catatan hari terakhir Srihadi hingga pemakamannya di Kalibata.
Lukisan terakhir
Agus mengisahkan, lukisan Srihadi yang terakhir sempat dilihatnya menjelang ulang tahun ke-90 Srihadi, 4 Desember 2021. Lukisan terakhir itu tentang penari keraton Jawa, yang dikenal sebagai bedaya.
”Bedaya menjadi tema lukisan Srihadi yang begitu mendalam. Ini mempunyai kisah tersendiri,” ujar Agus.
Sudah menjadi kebiasaan Srihadi, di dalam melukis ia selalu berusaha merespons peristiwa besar atau berpengaruh di tengah masyarakat luas. Termasuk pula peristiwa berdarah di Jakarta pada Mei 1998.
”Dari peristiwa Mei 1998 ini ternyata Srihadi tidak mampu berbuat apa-apa. Pak Srihadi sulit sekali menemukan gagasan untuk melukis,” ujar Agus.
Srihadi sering bermeditasi untuk mengendapkan peristiwa besar, kemudian melukiskannya. Berselang beberapa lama setelah Mei 1998 itu ternyata masih buntu, hingga akhirnya muncul keinginan untuk melukiskan bedaya atau penari keraton Jawa dengan latar lukisan gelap.
Kekelaman latar para penari bedaya menjadi ilustrasi kekelaman sejarah yang sedang berlangsung. Akan tetapi, Agus mengikuti perjalanan Srihadi dengan jejak lukisan bedaya ini makin terang.
Srihadi memberi pesan simbolik masa depan akan terus membaik. Kini, Srihadi berpulang, ketika lukisan bedaya dibuatnya dengan latar yang terang. Masa-masa sekarang semoga terus membaik.
Masa perang
Ada catatan lain yang tak kalah penting tentang patriotisme Srihadi. Agus mencatat, Srihadi tumbuh dari keluarga ningrat yang cukup kaya dan mapan di Surakarta.
Srihadi turut dibesarkan kakeknya, Raden Mas Ngabehi Nojotjoerigo, yang memiliki 22 rumah di Surakarta untuk disewakan kepada orang-orang Hindia Belanda pada masa kolonial. Kakeknya memiliki pula sebuah perusahaan batik yang mampu mengekspor produknya ke luar negeri.
Antara 1945-1949 Srihadi terlibat di berbagai pergerakan revolusi perang kemerdekaan dan perundingan, hingga Srihadi akhirnya mencapai pangkat sersan mayor.
”Bayangkan, dengan kemapanan seperti itu, Srihadi di usia 14 tahun (tahun 1945) memutuskan dan berpamit ingin ikut perang. Keluarganya pun mengizinkan, asalkan Srihadi bisa ikut suatu angkatan, dan akhirnya ikut angkatan Tentara Pelajar,” ujar Agus.
Peristiwa di tahun 1945, Srihadi menjadi anggota Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Bagian Pertahanan dan Penerangan, di Surakarta. Dengan kemampuan melukis secara otodidak, Srihadi juga bekerja sebagai Staf Penerangan Tentara Divisi IV sebagai Tentara Pelajar (TP) Detasemen II Brigade 17.
Antara 1945-1949 Srihadi terlibat di berbagai pergerakan revolusi perang kemerdekaan dan perundingan, hingga Srihadi akhirnya mencapai pangkat sersan mayor.
Srihadi menuntaskan pendidikan di sekolah menengah pertama negeri di Manahan, Surakarta, periode 1945-1948. Selanjutnya, menuntaskan pendidikan di sekolah menengah atas negeri di Margoyudan, Surakarta, pada 1950-1952.
Antara 1952-1959 Srihadi menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Bandung Universitas Indonesia. Fakultas ini kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga sekarang.
Pada periode 1959-1998 Srihadi mengajar di ITB di fakultas yang sekarang menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Pada 1962, Srihadi sempat menuntaskan pendidikan master of arts di The Ohio State University, Amerika Serikat.
Pada 1970-1988 Srihadi juga menjadi dosen Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, yang kemudian tumbuh menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) hingga sekarang. Pada 1992 Srihadi diangkat sebagai guru besar di ITB.
Pada November 2021, Srihadi meraih anugerah Sang Hyang Kamahayanikan Award di Borobudur Writers and Cultural Festival 2021. Srihadi juga dikenal sebagai pelukis yang mengakrabi Candi Borobudur bukan semata-mata sebagai benda, melainkan sekaligus sebagai roh leluhur bangsa ini.
”Di Borobudur pula, Srihadi pernah menyelamatkan diri di masa revolusi perang kemerdekaan,” ujar Agus.
Srihadi juga menjadi pembahasan menarik di buku seni rupa Indonesia karya Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change. Penghargaan banyak diterima Srihadi, di antaranya Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1971), Cultural Award dari Pemerintah Australia (1973), Hadiah Terbaik di ajang Biennale Jakarta III Seni Lukis Indonesia (1978), dan Fulbright Grant dari Pemerintah Amerika Serikat (1980).
Srihadi meninggalkan jejak patriotisme dan perjalanan seni rupa yang patut untuk selalu dikenang. Selamat jalan, Pak Srihadi.