Sihir Kata-kata Rani Badri
Rani Badri mengibaratkan dirinya seperti angin. Tak terlihat, tetapi dirasakan keberadaannya.
Rani Badri mengibaratkan dirinya seperti angin, tak terlihat, tetapi dirasakan keberadaannya. Selama dua dekade ia menjadi sutradara, art director, atau perancang kreatif pertunjukan. Kini, ia berada di belakang layar orang-orang yang ingin memperbaiki kehidupannya lewat jalan komunikasi. Ia mengajarkan bagaimana setiap kata mesti berjiwa. Tak ada yang meluncur begitu saja.
Selasa (16/11/2021), di sebuah kedai kopi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, seorang pramusaji datang menyajikan dua botol air kemasan ke atas meja. Rani Badri Kalianda menyambutnya dengan senyum. ”Bro, tangan lu keliatan kuat banget, tuh,” katanya sambil melirikkan mata ke arah botol air mineral itu.
Si pramusaji tersenyum lantas segera membuka tutup botol air kemasan itu. ”Bisa aja Bang. Bilang aja minta dibukain tutupnya,” ujarnya yang segera membuka tutup botol itu.
Begitulah, tanpa diminta dengan kata-kata langsung, si pelayan segera menangkap apa yang dimaui pelanggan lamanya itu. ”Ini hanya contoh kecil bagaimana komunikasi nonverbal yang disampaikan dengan perasaan lebih mudah ditangkap. Kalau pakai komunikasi verbal, bisa ditangkap berbeda, bergantung nada bicara kita dan situasinya,” ujar Rani sambil menatap langsung tepat di mata lawan bicaranya.
Siang itu, kami bicara panjang lebar tentang komunikasi dan problem-problem yang menyertainya sambil menyantap soto betawi nan gurih. Rani berkali-kali menekankan pentingnya komunikasi nonverbal yang menurut dia punya daya pengaruh lebih dahsyat dibandingkan dengan komunikasi verbal. Dia berani mengatakan, 70 persen kekuatan komunikasi sebenarnya ada di komunikasi nonverbal, sisanya komunikasi verbal.
”Bayangin, kalau nonverbal dan verbal digabungkan, kekuatan komunikasi jadi 100 persen,” kata Rani menekankan kata ”bayangin” seolah menggiring orang ke alam imajinasi.
Persoalannya, lanjut Rani, kebanyakan orang, sadar atau tidak, lebih mengandalkan komunikasi verbal ketimbang nonverbal. Kalaupun mengerti pentingnya komunikasi nonverbal, jenis komunikasi ini sering kali hanya dipahami sebatas gesture alias bahasa tubuh. Padahal, komunikasi nonverbal lebih luas dari sekadar gesture.
”Dalam komunikasi verbal itu harus ada rasa yang muncul dari jiwa. Kalau sudah ada rasa, gesture akan muncul dengan sendirinya,” ujar pendiri The Soul of Speaking, lembaga komunikasi dan mindfulness yang telah beroperasi lebih dari satu dekade itu.
Yah, banyak orang mengalami krisis ekspresi, termasuk para politisi. Saat berpidato mengajak masyarakat menjaga perdamaian, tetapi wajahnya seram.
Rani mengaku selalu senang melihat cara orang-orang Barat mengatakan, ”I love you.” Kalimat itu menjadi bertenaga sekaligus indah karena disampaikan dengan perasaan dan ekspresi yang tepat. Sementara itu, ia melihat banyak orang Indonesia mengatakan, ”Aku cinta padamu,” dengan nada dan ekspresi datar. Seperti sambil lalu saja. ”Yah, banyak orang mengalami krisis ekspresi, termasuk para politisi. Saat berpidato mengajak masyarakat menjaga perdamaian, tetapi wajahnya seram. Aih... itu kata-kata dan ekspresi enggak nyambung.”
Merasakan setiap kata yang diucapkan sangat penting karena bagaimanapun rasa lebih mudah menghubungkan orang dibanding kata-kata. ”Kekuatan komunikasi itu bukan terletak pada kata-kata yang terucap, tetapi pada apa yang tersirat,” ujarnya.
Itu sebabnya, cara berkomunikasi yang produktif mesti dipelajari. Jika tidak, komunikasi yang seharusnya membangun kesepahaman justru bisa memicu konflik. ”Ini (keterampilan berkomunikasi) bukan turun dari langit.”
Telepon calon bupati
Selama lebih dari satu dekade berkecimpung di dunia komunikasi dan mindfulness, Rani mengaku telah menangangi ribuan klien, mulai daripasangan suami istri, profesional, selebritas, pengusaha, atlet peraih medali emas Olimpiade, politisi, serta pejabat sipil dan militer.
Ketika wawancara berlangsung dua jam, telepon Rani berdering. Ia meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan orang di seberang sana. Sepertinya, ia ingin berkonsultasi. ”Ini telepon dari calon bupati yang sedang belajar cara komunikasi produktif dengan massa,” kata Rani seusai menutup teleponnya.
Menjelang musim pemilu, lanjut Rani, biasanya banyak politisi yang datang kepadanya untuk belajar secara privat tentang komunikasi yang menggerakkan massa. Ada juga yang ingin tampil memukau saat berpidato. Di luar politisi, kalangan terbanyak yang datang kepadanya adalah para pengusaha atau pemimpin perusahaan yang ingin memperbaiki komunikasi dengan bawahannya. Selanjutnya, para profesional pemasaran yang ingin sukses memasarkan produk/jasanya tanpa perlu berbicara hingga berbusa-busa.
Apa sebenarnya problem yang mereka hadapi dalam komunikasi?
Rani menjelaskan, problem komunikasi pada banyak orang ternyata bersumber pada persoalan mental dan memori kontraproduktif yang tertanam sejak kecil. Ini soal pola asuh. ”Coba, deh, perhatikan pola komunikasi kebanyakan orangtua di Indonesia, sering memaksa, menakut-nakuti, atau membanding-bandingkan. Kalau anak rewel, orangtua sering berkata, ’Ayo, berhenti nangis, nanti ditangkap polisi.’ Pemuka agama sering mengatakan, ayo ibadah. Kalau enggak nanti masuk neraka.”
Pola komunikasi seperti itu, menurut Rani, berdampak pada mental seseorang sampai dewasa. Mereka menjadi mudah cemas dan emosi. Jika dari kecil sering dibanding-bandingkan, orang jadi tidak percaya diri dan butuh pujian. Rasa cemas, tidak pede, dan problem mental lainnya secara tidak sadar akan merembes pada caranya berkomunikasi.
Baca juga: Gelombang doa untuk para Olimpian
”Saat berkomunikasi, mereka ingin mengontrol, ingin didengar, ingin diakui, dan ingin-ingin yang lain. Komunikasi seperti ini tidak memberi rasa nyaman dan tidak memberi solusi,” katanya.
Mental yang kontraproduktif ini yang mesti dibongkar terlebih dahulu untuk dilepaskan dan dikelola. ”Mengapa begitu? Karena manusia berpikir, merasa, dan berbicara berdasarkan apa yang tersimpan dalam alam bawah sadarnya. Kalau seseorang merasa hidupnya susah terus, bicaranya pasti ngeluh melulu,” katanya.
Rani dengan The Soul of Speaking-nya menggabungkan kekuatan ilmu psikologi, jurnalistik, dan teater untuk memperbaiki pola komunikasi klien. Kekuatan psikologi dipakai untuk membongkar memori masa lalu dan mental blok seseorang. Jurnalistik dipakai untuk melatih orang menstrukturkan pesan-pesan komunikasi agar efektif. Bagaimana dengan teater?
”Teater mengajari kita bagaimana berperan dalam konteks yang berbeda-beda. Peran kita di kantor dan di rumah beda banget. Maka, cara berkomunikasinya juga berbeda. Kalau kita berkomunikasi seperti bos saat di rumah, misalnya, yang muncul konflik,” tambahnya.
Ini bukan sesuatu yang manipulatif?
”Tidak. Manipulatif itu jika kita memalsukan peran kita. Seorang politisi yang value-nya ingin menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik, ya, harus berperan untuk perubahan masyarakat, bukan berperan untuk pribadi, kelompok, atau partai saja.”
Masalahnya, banyak politisi jago pencitraan. Berbeda citra, tindakan, dan perbuatan?
”Berarti, dia belum menjalankan perannya sesuai tujuan menjadi politisi. Kalaupun berhasil dia pasti akan kecapekan karena terus membohongi diri sendiri dan orang lain," tuturnya.
Teater di persimpangan
Rani lahir dan besar di lingkungan Betawi di Jakarta Selatan. Lepas SMA, ia kuliah di Institut Kesenian Jakarta tahun 1982-1985. Kuliah di jurusan teater saat itu tidak dianggap sebagai pilihan terbaik oleh kebanyakan orangtua. Dianggap ”madesu”, masa depan suram. Beruntung, lanjut Rani, orangtuanya memahami pilihannya kuliah di bidang teater. Ayahnya hanya mengingatkan Rani agar menemukan tujuan hidupnya lewat teater.
Ketika kita berhasil di panggung kecil (pertunjukan), tapi gagal di panggung sesungguhnya (kehidupan), berarti kita masih jadi peraga dari hidup kita, bukan aktor yang menghidupkan tokoh di dalam dirinya.
”Saya selalu ingat ayah berkata, ’Ketika kita berhasil di panggung kecil (pertunjukan), tapi gagal di panggung sesungguhnya (kehidupan), berarti kita masih jadi peraga dari hidup kita, bukan aktor yang menghidupkan tokoh di dalam dirinya.’ Indah, kan?”
Rani tidak mau gagal di panggung besar kehidupan. Ia pun mencari tujuan hidupnya sebagai orang panggung pertunjukan sejak 1991. Ia sempat menjadi sutradara iklan, perancang kreatif, art director, hingga sutradara pertunjukan. Setelah lama bergelut dengan dunia itu, ia melihat teater sebagai ilmu yang berada di perempatan jalan. Ia menggabungkan cabang seni lain, seperti seni peran, seni rupa, musik, sastra, visual, dan komunikasi.
”Karena berada di perempatan jalan, kita bisa ke arah mana saja. Bisa belok ke kiri ke kanan, ke depan ke belakang. Begitu juga kehidupan kita,” ujar Rani yang juga pernah menjadi jurnalis.
Setiap kalimat yang diucapkan seorang aktor, lanjut Rani, mesti punya kekuatan emosi. Dari situ, ia melihat teater juga punya kekuatan sebagai medium komunikasi. Kekuatan itulah yang ia pinjam untuk memperbaiki cara berkomunikasi. Hasilnya, bukan hanya komunikasinya berubah, melainkan juga kualitas hidupnya. Ia menemukan tujuan hidupnya, yakni membantu orang lain menemukan tujuan hidupnya pula.
Belakangan banyak teman dan jaringannya datang untuk belajar berkomunikasi yang melibatkan rasa dari jiwa. Maka, pada 2010 ia mendirikan The Soul of Speaking bersama Luki Arinta, seorang psikolog. ”Saya senang, orang-orang yang belajar komunikasi dengan rasa, kini berkata-kata dengan cinta. Aih....”
Baca juga : Berani Bangkit Atasi Kedukaan akibat Pandemi
Tentang Rani Badri Kalianda
Lahir: Jakarta, 25 Juni 1962
Pendidikan: kuliah di Jurusan Teater Fakultas Kesenian Institut Kesenian Jakarta (1982-1985)
Aktivitas:
- Perancang kreatif, sutradara iklan/pertunjukan, dan art director (sampai 2015)
- Pendiri dan fasilitator The Soul of Speaking (2015-sekarang)
Pertunjukan, di antaranya
- Spektakuler 25 Tahun Anniversary Hartawan & Srihana, Ritz Carlton Hotel, Desember 2015, Busana By Anne Avanti
- Spektakuler Wedding Stefanus & Jeje, Puri Begawan, September 2015
- Pentas Dua Monolog, BBJ Kompas, Jakarta 13-14 Juli 2014
- Perayaan Imlek Spectakuler Marga Tjia dan Tjoa, Puri Begawan, Bogor, 31 Januari 2014
- Pergelaran Guruh Soekarno Putra, Sri Mimpi Indonesia, Plenary Hall, JCC, Jakarta 2013
- 50th WWF, Golden Path of Love, Persembahan Cinta untuk Bumi, Teater Besar TIM, Jakarta, 2012
- Kebaya for the World, Syukur Tiada Akhir, Bahagia Tiada Ujung, JFFF Jakarta, 2012
- Malam Penghargaan Cerpen Harian Kompas, Jakarta, 2011 & 2012
- Poems for The World, PWTC Kuala lumpur, Malaysia, 2003