Hidup Tanpa Desain Luthfi Hasan
Hidup seorang praktisi periklanan dan desainer interior Luthfi Hasan justru terjadi tanpa desain. Bagaimana bisa?
Hidup bagi praktisi periklanan yang kini juga menggeluti dunia desain, Luthfi Hasan, justru bukan hidup yang didesain dengan cita-cita muluk setinggi langit. Dia mengalir seperti air, mengikuti insting yang menuntunnya pada kejutan-kejutan baru. Pada orang-orang yang terabaikan, keberpihakannya berada.
Selasa (2/11/2021) siang yang sendu diguyur gerimis tak menyurutkan semangat Luthfi bercerita. Sudah setahun ini, sembari mengurusi pekerjaannya di bidang periklanan dan desain, Luthfi juga sibuk mengurusi Warung Radius 3 Kilometer miliknya di kawasan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan. Pandemi Covid-19 rupanya telah memberinya banyak kejutan.
”Advertising dan desain, pandemi ini jelek. Terjun bebas dua-duanya,” kata Luthfi. Belanja iklan turun drastis karena banyak promosi yang beralih ke media lebih murah. Luthfi semula memiliki karyawan 20 orang, kini tersisa 8 orang.
Dunia desain tak jauh beda. Meski banyak kebutuhan renovasi saat orang bekerja dari rumah, tetapi juga terpukul akibat kemunculan varian delta. ”Sekarang lagi naik pelan-pelan, tetapi masih jauh dari sebelum pandemi,” ujar Luthfi.
Justru kita yang harus menciptakan kesempatan. Jadi, bukan lagi menunggu. Kita ciptakan sesuatu yang fresh, yang baru, sehingga ada nilainya.
Namun, tak hanya kejutan buruk, pandemi juga memberi Luthfi kejutan baik. Dalam kamus praktisi periklanan yang kreatif seperti Luthfi, pandemi yang meletakkan banyak orang pada situasi sulit, termasuk Luthfi, justru bukan saat untuk menunggu kesempatan. ”Justru kita yang harus menciptakan kesempatan. Jadi, bukan lagi menunggu. Kita ciptakan sesuatu yang fresh, yang baru, sehingga ada nilainya,” kata Luthfi.
Di awal pandemi, Luthfi yang senang memasak mulai menekuni hobi membuat kue. Mulai dari carrot cake, banana cake, hingga brownies cokelat, semua dipelajari dari Youtube. Luthfi juga kembali memasak. Dia membuat pepes, nasi ayam hainan, hingga kepala ikan yang menggunakan 39 jenis bumbu. Kecintaannya pada kuliner mekar lagi.
Tahun 2016, Luthfi pernah memiliki restoran Soto Bar di Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan. Sayang, umur restoran yang dia kelola bersama mitranya itu tak panjang. ”Enggak sampai setahun udah tutup,” kata Luthfi.
Luthfi berterus terang, kala itu dia lebih tertarik mengurusi sisi desain restorannya. Sementara produknya, dipercayakan pada pihak luar. ”Ya udah jadinya mahal,” kata Luthfi.
Memiliki usaha restoran, bagi Luthfi, tak semata demi keuntungan. Melihat orang senang saat datang dan menikmati makanan di restorannya adalah hal yang lebih membuatnya bahagia. ”Itu bisnis yang bikin orang happy,” kata Luthfi.
Selama pandemi, Luthfi yang kemudian kerap berjalan kaki di sekitar kompleks tempat tinggalnya di Cinere, Depok, menemukan banyak hal menarik. Ada bakery yang ternyata dekat lokasi rumahnya, warung sayur, juga vendor-vendor menarik lain yang tak pernah diketahuinya karena aktivitas yang selalu sibuk sebelum pandemi.
”Dari efek itu aku, kan, punya garasi nganggur. Ya, udah aku bikin warung, deh, renovasi. Rumah ini juga kosong, jadi aku bisa pakai,” kata Luthfi tentang rumah yang menjadi lokasi Warung Radius 3 Kilometer. Rumah itu dibangun tahun 2012 dengan gaya rumah-rumah Menteng dan Dago lama. Luthfi tak salah. Enam bulan sejak warung berjalan, Luthfi sudah bisa balik modal.
Merangkul tetangga
Sejak awal membuat kafe, Luthfi ingin kafenya mengusung semangat neighbourhood yang merangkul tetangga sekitarnya. Mulanya Luthfi sempat berpikir untuk membeli waralaba sebuah kedai kopi bergaya Jepang. Namun, urung karena menurut dia metode waralaba hanya menciptakan wirausahawan yang tak mandiri sekaligus menimbulkan ketergantungan.
Sementara untuk membuat kedai kopi seperti yang belakangan ini marak, Luthfi juga enggan. Dia ingin membuat kedai yang memiliki misi. ”Pada saat bikin kafe, aku ngeliat kebanyakan sekelilingnya suka kesel karena berisik, macet, terus mereka juga hanya jadi penonton. Aku enggak mau kayak gitu. Gimana bikin neighbourhood kafe yang jadi tempat orang sekitar kumpul biarpun yang jauh juga enggak papa,” ujar Luthfi.
Berbekal pemetaan lokasi sekitar warung, Luthfi lantas mencoba membeli barang-barang kebutuhan warung dari warga sekitar. Bahan-bahan itu diolah lagi sebelum disuguhkan dengan sentuhan yang lebih estetik.
Pala aku beli dari kompleks Jupiter. Kita ada stik tape keju, tapenya dari tukang tape keliling yang suka nongkrong di lapangan. Trus roti tawar, aku beli di bakery kecil di belakang.
”Pala aku beli dari kompleks Jupiter. Kita ada stik tape keju, tapenya dari tukang tape keliling yang suka nongkrong di lapangan. Trus roti tawar, aku beli di bakery kecil di belakang,” kata Luthfi.
Selain dekat, harganya juga murah. Kadang bahan-bahan itu bahkan diantar ke warung sehingga Luthfi dan karyawan warung tak pergi ke mana-mana. ”Tukang sayur juga gitu. Misalnya kita perlu bumbu, ya, kita belinya di warung sayur, cuma 50 meter. Soft drink di warung sebelah juga ada. Kita ambil dari situ, enggak perlu nyetok. Kalau perlu aja beli,” kata Luthfi.
Untuk kue basah seperti risoles, Luthfi membeli dengan sistem beli putus dari penghuni di depan warung. Begitupun dengan curry puff dan cinnamon roll yang dia beli dari langganannya di dekat rumah sejak bertahun-tahun lalu. Pembuatnya kini sudah berusia 90 tahun.
Luthfi memilih nama Warung Radius 3 Kilometer agar lebih menarik. Sebelumnya, warungnya bernama Warung Jakarta Vintage. ”Dari pengalamanku, dalam radius 3 kilometer itu semua ada. Dalam konteks Pondok Cabe sini, ya. Supermarket semua ada. Nah, kalau di sini seperti itu, di tempat lain kurang lebih sama,” ujarnya.
Karyawan-karyawannya juga direkrut dalam radius 3 km. Sebagian dari Pondok Cabe, sebagian dari Cinere. ”Emang nyari-nya ke komunitas yang rumahnya di sekitar sini. Pertama supaya enggak telat, enggak macet. Kalau pulang malam juga dekat, enggak susah,” kata Luthfi.
Desember nanti, konsep Warung Radius 3 Kilometer akan direplika di kawasan Kemang dengan pola kemitraan. Tidak 100 persen sama karena selain desain warung, menu-menunya pun akan berbeda. ”Setengahnya ambil dari kami, setengahnya bisa ambil dari tetangga,” kata Luthfi.
Selanjutnya di Meruya, Jakarta Barat, dibuka di sebuah rumah yang nganggur. ”Sebenernya ini juga alasan ekonomis. Enggak membangun baru, kan, jadi modal untuk bikin usaha jadi lebih rendah,” kata Luthfi.
Alat-alat dan perlengkapan yang dibutuhkan pun bisa menggunakan barang-barang yang sudah ada. Yang lebih penting adalah komitmen untuk memprioritaskan, membeli bahan-bahan dari yang UMKM terdekat. Harga jual makanan dan minuman pun bisa ditekan menjadi lebih murah.
Bagi Luthfi, konsep yang ditawarkannya ini bukan bentuk perlawanannya pada kapitalis besar. Pandemi, ujarnya, membuat kota tak lagi padat dan sesak karena orang bisa bekerja dari rumah. Dengan membuat usaha di pinggiran, tidak masuk mal, membuat kesempatan ekonomi lebih menyebar. Dia kembali menegaskan konsepnya ini bukan kritik pada dominasi modal besar.
”Tetapi mungkin memang ada semacam ketidaksengajaan dan ini tidak disadari, ada keberpihakan pada underdog atau yang terpinggirkan. Tetapi, aku bukan pahlawan. Ini level terkecil yang aku bisa lakukan,” kata pria yang tumbuh di lingkungan santri ini.
Merunut ke belakang, tahun 2014, bersama sesama praktisi periklanan, Handoko Hendroyono, Luthfi mendirikan Komunitas Do Art yang juga mewadahi seniman-seniman underdog. Minatnya pada barang-barang vintage (lawasan), bisa jadi juga karena keberpihakan itu. ”Kalau orang ngumpulin berlian, aku ngumpulin vintage,” ujarnya berkelakar.
Tak akan pensiun
Begitulah Luthfi, dia menemukan jalan hidupnya by accident, bukan by design. ”Waktu skripsi aku, kan, (jurusan) ilmu politik, aku kayak stuck, terus ngelamar di advertising agency, trus, ya, udah hidup di situ,” ujarnya.
Lantaran tak mau terus-terusan menjadi pegawai, Luthfi kemudian mendirikan agency sendiri. Dia pun lalu mulai menggeluti hobinya pada lawasan (vintage). ”Dari vintage terus jadi bisnis itu juga enggak by plan,” katanya.
Tentang kejutan-kejutan baru dalam hidupnya, Luthfi menilai hal itu semata karena dirinya bukanlah orang yang terlalu overthinking, tetapi lebih banyak menuruti instingnya. Baginya, lebih baik memikirkan hal-hal dekat yang bisa dilakukan ketimbang memikirkan hal-hal di luar kontrol, termasuk dalam membesarkan Warung Radius 3 Kilometer-nya.
”Sukses menurutku adalah kalau ada yang mengapresiasi konsep yang aku tawarkan. Bagiku dalam satu tahun 3-4 outlet, oke. Jadi, ekspektasinya aku managed sendiri. Jadinya enggak stres, enggak frustasi, karena hidup dalam ekspektasi orang lain,” katanya.
Meski melakoni hidup tanpa desain, tak ada kata pensiun di kamusnya. ”Aku enggak pernah kepikiran suatu saat berhenti kerja terus ongkang-ongkang kaki. No, I hate that. Jadi, memang akan kerja terus. Tetapi kerjanya apa, enggak tahu. Terserah yang aku bisa, yang di depan mata yang bisa aku lakukan,” ujar Luthfi. Dia bersungguh-sungguh..
Luthfi Hasan
Pendidikan: Sarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pengalaman:
- Pendiri & Direktur Kreatif of Jakarta Vintage, Jakarta (2012-sekarang)
- Pendiri & Direktur Onecomm Indonesia, Jakarta (2003-sekarang)
- Direktur Bisnis J Walter Thompson, Jakarta, Indonesia, & HCMC Vietnam (1990/2001)
- Spesialis Komunikasi Johns Hopkins University (2001-2003)
- Pengajar, Universitas Indonesia, School of Advertising (2005-Des 2012)
Penghargaan (antara lain)
- Indonesia Good Design for Style & Substance Porcelain(2018)
- The Best Social Media Campaign untuk Jakarta Vintage, P3I (2014)
Buku:
- HAPPY VINTAGE (2015)
- ARTDESIGNVINTAGE (2016)
- 100 Days of Quarantine (2020)
Kurator/Juri (antara lain)
- Kurator IGDS Ministry of Industry 2019 (2019)
- Steering Committee Bekraf di Maison et Objet, Paris France (2019)
Pameran Desain Internasional (antara lain)
- Maison et Objet, Paris, France, Sep 6-10, Steering Committee (2019)
- Salone del Mobile, Milan, Italy (2018)
- Tortona Design Week, Milan, Italy (2017)
- NY Now, NY USA (2016)
Pameran Seni dan Desain (antara lain)
- Jakarta Art Stage (2017)
- Solo Exhibition: Style & Substance Porcelain Furniture & Interior, Jakarta (2017)
- ICAD (Indonesia Contemporary Art & Design) (2016)