Eka Kurniawan Meniti Arus Hidup
penulis Eka Kurniawan membiarkan semua kehidupannya mengalir. Tak diburu waktu di kehidupan yang serba cepat untuk tetap berkarya.

Eka Kurniawan Penulis
Meski pernah mengalami rasa tidak percaya diri, bahkan tak yakin apakah jalan yang ditempuhnya tepat, penulis Eka Kurniawan membiarkan semuanya mengalir. Tak diburu waktu di kehidupan yang serba cepat untuk tetap berkarya. Itulah yang membawanya pada titik yang justru jauh dari bayangannya.
“Triiiing..”
Suara tanda ada pesan singkat berupa SMS yang masuk ke telepon pintar. Ya, SMS. Bukan WhatsApp seperti yang lazim digunakan pada masa kini. Aplikasi yang telah menggeser posisi si pionir bertukar pesan lewat telepon genggam ini. Pesan itu dari Eka yang mengabarkan sudah sampai di tempat janjian untuk ngobrol pada Rabu (1/9/2021) siang itu.
Berbaju merah koral berpadu dengan denim dan sepatu keds sambil menyandang ransel hitamnya, Eka menyapa. Ia pun mengungkap alasannya memilih kembali pada SMS ketimbang menggunakan aplikasi milik Mark Zuckerberg itu. Setelah menjajal setahun menggunakan piranti tukar pesan daring itu, Eka merasa tidak sreg dan tak tertarik untuk memakainya lagi.
“Orang ngerasa punya hak untuk masuk ke privasi orang. Tiba-tiba nanya. Kadang pagi-pagi kirim pantun. Apaan sih? Kenapa enggak pajang di blog aja, nanti aku baca. Itu masih mending. Ada yang kirim khotbah. Ini udah enggak bener sih. Dan yang ngirim ini kan bukan stranger, ada teman, saudara, paman, bibi yang kalau enggak dibales gimana. Banyak orang yang abuse aplikasi ini,” tuturnya.

Eka Kurniawan saat berkunjung ke Menara Kompas, Rabu (1/9/2021).
Sembari berjalan menuju tempat yang sudah disiapkan, Eka juga sempat bercerita tentang kesibukannya pada perayaan 17 Agustus lalu. “Kalau enggak pandemi kan lomba 17 Agustusan yang biasanya. Karena pandemi begini, untuk anak-anak dibuat lomba mewarnai. Saya jurinya. Baru tahun ini. Ha-ha-ha,” ujar ayah satu anak ini.
Pandemi memang mengubah banyak hal, termasuk keseharian Eka yang mulai mencoba berolahraga. Pagi atau sore hari, Eka menjajal rutin bersepeda atau jalan santai sendirian. Hal ini ternyata mampu membangkitkan lagi ide dan kreativitasnya. “Pulang bisa mulai lagi dan badan lebih segar lagi,” katanya yang tengah menggarap satu novel yang masih dirahasiakan ini.
Tadinya, pandemi dengan kebijakan di rumah saja dianggap Eka mampu membuatnya merampungkan proyeknya lebih cepat. Keterbatasan untuk bertemu banyak orang pun sempat dirasanya meringankannya. Bahkan jadwalnya untuk ke Korea Selatan dan negara lain yang dipindahkan menjadi virtual diresponnya dengan baik pada awalnya.

Eka Kurniawan
“Kayaknya asyik juga, dapat duit tapi aku enggak pergi kan. Kayaknya aku juga bisa di rumah terus dan selesai nih kerjaanku, Tapi ternyata zonk,” ujarnya yang pernah menggawangi skenario sinetron yang dibintangi Marhanda, juga Nia Ramadhani.
Di pandemi ini, Eka juga memutuskan kembali masuk ke dalam hingar bingar media sosial yang sudah 10 tahun ditinggalkannya untuk bisa ‘bertemu’ orang-orang. Bahkan saat membuka Twitter, akun lamanya sudah hilang sehingga ia membuat nama pengguna baru. Untuk Facebook, akunnya masih bisa diaktifkannya kembali.
Namun pembelajaran yang diperolehnya selama satu dekade puasa media sosial, membuatnya lebih bijak dan enggan terseret dalam debat kusir dunia maya yang tak ada ujungnya. Yang dibutuhkannya, mengobati rindunya sebatas berinteraksi dengan orang-orang lagi. Bukankah seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas?
Tak terduga
Menyinggung Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang merupakan novel karyanya, Eka menyebutnya novel kecelakaan. Semula bab awal dalam novel yang terbit pertama pada 2014 ini merupakan bagian dari novel O yang akhirnya menjadi novel keempatnya. Namun setelah dibacanya berulang kali, ia merasa ada tone yang berbeda dibanding cerita lain yang ada dalam novel O.
“Kok ini brutal sendiri ya? Kalau yang lain tonenya bisa untuk semua umur. Akhirnya bab itu kubuang. Pas buka-buka folder lagi ketemu dengan file itu. Kayaknya, bisa dilanjutin sih, mungkin jadi novel. Malah jadi duluan daripada O. Tokoh pertamanya itu Tokek karena awalnya dari sudut pandang dia. Memang beneran bodor-bodor iseng, temannya kukasih nama Kabayan dan Iteung. Ceritanya jadi serius dan enggak mungkin pakai nama Kabayan, saking malesnya mikir nama, akhirnya ganti semua pakai nama yang udah ada di cerpenku sebelumnya Ajo Kawir,” ungkap Eka yang gemar unsur silat karena pengaruh komik laga dan tercermin pada karyanya ini.
Sekitar 2016, Eka dikontak sutradara Edwin yang ingin mengajaknya mengembangkan cerita baru untuk dijadikan film. Namun akhirnya, Edwin memilih mengadaptasi salah satu novel Eka yakni Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dalam perjalanannya, Eka yang bertanggung jawab terhadap penulisan skenario tidak menyangka novelnya ketika dialihkan ke layar berdurasi tiga jam lebih.
Eka memutuskan untuk menulis ulang semua yang ada di novel. Kemudian dibuat dua versi panjang dan pendek, baru kemudian dikombinasikan yang sesuai. Prosesnya pun sempat terjeda karena Edwin menggarap dua film lain dan Eka menyelesaikan novelnya. Akan tetapi, tak disangka film yang akhirnya rilis di tengah pandemi ini diapresiasi bahkan memperoleh Golden Leopard di Locarno Film Festival Awards 2021 pada Agustus lalu.
Untuk novelnya sendiri, telah memperoleh Prince Claus Award pada 2018. Novel ini diterjemahkan pula ke dalam beberapa bahasa seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Mandarin. Karyanya yang lain seperti Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan memperoleh beragam penghargaan bergengsi dalam bidang kesusastraan.
Hal yang jelas tak pernah diduganya. “Kalau dibilang enggak percaya diri, memang enggak percaya diri. Bukan siapa-siapa, enggak punya back ground kesusastraan atau komunitas sastra. Waktu Cantik Itu Luka terbit responnya biasa saja, enggak best seller. Sama dosen sastra dijelek-jelekin. Itu faktor pertama. Ha-ha-ha,” ungkap penggemar girl band SNSD ini.
Bahkan setelah merampungkan novel keduanya Lelaki Harimau, ia banting setir kembali mengerjakan naskah sinetron yang lebih menghasilkan. Hingga Ben Anderson, profesor dari Cornell University terus mengejarnya untuk menerjemahkan novelnya. Sampai akhirnya, Tariq Ali dari New Left Review lebih gencar mengejarnya karena titah dari Anderson. Eka mau tidak mau mencari penerjemah. Bertemu dirinya dengan Labodalih Sembiring untuk novel Lelaki Harimau dan Annie Tucker untuk Cantik Itu Luka yang telah mengirimkan contoh terjemahannya melalui Facebook selama bertahun-tahun tapi tak terbaca karena Eka tak mengakses media sosial itu.
Lebih tak diduganya lagi, New Directions bersedia menerbitkan Cantik Itu Luka. New Directions merupakan penerbit buku lawas yang telah merilis banyak karya nama besar seperti Boris Pasternak, Andre Gide, Jean-Paul Sartre, Pablo Neruda, hingga Guy Davenport. Eka pun banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku keluaran New Directions ini. “Ya enggak nyangka, kayak mimpi,” ujar Eka.

Eka Kurniawan
Pengalaman
Semua yang diraihnya ini bermula dari kegemarannya membaca. Kebetulan ayahnya memiliki taman bacaan yang kemudian tutup sehingga Eka kecil berpindah-pindah mencari taman bacaan untuk membaca. Yang paling disukainya adalah komik saat itu. Karena itu, cita-cita yang terbersit menjadi komikus.
Pelan-pelan, ia mencoba menulis meski dilingkupi tak percaya diri. “Waktu sekolah tuh, aku anak yang B aja gitu. Ha-ha-ha. Terus kirim puisi ke majalah, eh diterbitin. Baru di situ ngerasa, wah ternyata bisa ya. Dulu sekolahan enggak ada mading, aku bikin aja sama beberapa teman,” kata pria yang menghabiskan masa sekolahnya di Pangandaran, Jawa Barat.
Kesempatan menjelajah banyak buku dengan keluasan paradigma didapatnya saat mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada. Hampir tiap hari, Eka menghabiskan waktu di perpustakaan mengulik nyaris semua buku dan nongkrong di bonbin (sebutan kantin fakultas sastra). Padahal Eka tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat, jurusan yang sempat dirasanya salah sehingga dua semester ditinggalkannya demi beralih ke Institut Seni Indonesia.
Namun, ia kembali menemukan jalan dan merasa filsafat mampu membantunya memperkaya pandangan sehingga dilanjutkannya kuliah yang tertunda. Tiba pada masa skripsi, Eka berpikir untuk mengulas tentang alien karena ia menyukai film maupun bacaan yang berkaitan dengan ekstraterestrial. Sampai ia berjumpa dengan karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia yang menarik minatnya.

Eka Kurniawan Penulis
“Dari Bumi Manusia, baca yang lainnya sampai nyari buku yang susah sekali tapi Pak Hasyim Rahman dari Hasta Mitra mau ngasih aku saat itu. Wah enggak kebayang kan langsung dari yang punya. Dipikir-pikir kalau ngerjain ini yakin satu semester selesai walau saat itu buku Pram enggak gampang ya, tapi ada. Daripada alien yang aku juga enggak tau gimana mulainya,” kisahnya sambil tertawa.
Rampung skripsinya berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis yang kemudian dibukukan dan terbit pada 1999. Ia mengaku pengerjaannya sempat tertunda karena dirinya juga ikut turun ke jalan ketika gelombang reformasi bergejolak kala itu. Pandangan kritisnya terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakat pun terasah.
Bahkan pada 2019, ia menolak Anugerah Kebudayaan 2019 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai bentuk protes. “Banyak janji yang tak dipenuhi. Salah satunya terkait penuntasan pelanggaran HAM. Jokowi pernah bilang akan mencari Wiji Tukul dan berupaya menemukan hidup atau mati dan kebebasan berekspresi. Tapi ya mana,” ujarnya.
Baca juga : Yoshi Sudarso: Kembali kepada Akar
Sebagian karyanya pun berisi satir terhadap kondisi negeri ini seperti dalam Corat-coret di Toilet. Begitu pula pada karya Cinta Tak Ada Mati yang kemudian salah satu cerita di dalamnya diambil sutradara Wregas Bhanuteja sebagai film pendek yakni Tak Ada yang Gila di Kota Ini.
Banyak orang berpandangan besutan Eka mirip dengan Pram, Gabriel Garcia Marquez, atau Fyodor Dostoevsky. Eka tak menampiknya tapi menurutnya semua bacaan yang diserapnya memberikan nyawa bagi karyanya. Namun novel Knut Hamsun berjudul yang memantapkannya sebagai penulis. Kini, Eka tengah mengurus Moooi Pustaka bersama rekan-rekannya. Lewat saluran ini, mereka menerjemahkan buku milik sastrawan luar yang bagus tapi tidak terbit pada pasar arus utama.
Terus berjalan demi membangun sastra Indonesia.