Melati Wijsen, Pertiwi di Hati Melati
Pembuat perubahan muda sekilas terlihat seperti gelar penuh keglamoran. Melati Wijsen (20) menyibak pemahaman dangkal itu untuk menunjukkan perjuangan sejati dari seorang aktivis lingkungan.
Pembuat perubahan muda sekilas terlihat seperti gelar penuh keglamoran. Melati Wijsen (20) menyibak pemahaman dangkal itu untuk menunjukkan perjuangan sejati dari seorang aktivis lingkungan. Agar tetap fokus pada tujuan, gadis keturunan Indonesia-Belanda ini selalu kembali ke akar perjuangannya, yakni keindahan Ibu Pertiwi yang melekat di hati.
Kiprah Melati sebagai aktivis lingkungan terkenal setelah menginisiasi Bye Bye Plastic Bags bersama adiknya, Isabel, pada 2013. Lembaga ini lahir dari kesadaran dua bocah agar mengajak masyarakat peduli dengan masalah sampah plastik di Bali. Berkat gerakan ini, dua bersaudara ini berhasil melobi Pemerintah Provinsi Bali melarang penggunaan kantong plastik, sedotan, dan gabus sintetis pada 2019.
Melati sekarang sibuk mengembangkan Youthopia. Ini adalah platform komunitas bagi pembuat perubahan muda sehingga bisa mengembangkan keterampilan demi mewujudkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) PBB. Youthopia hadir lantaran Melati bertemu banyak anak muda dalam kegiatan terkait Bye Bye Plastic Bags yang ingin ikut membuat perubahan.
Menjadi pembicara di mana-mana, terkenal, dan banyak pengikut di media sosial adalah dampak yang dirasakan Melati sebagai aktivis lingkungan. Melati juga terpilih sebagai perempuan inspiratif oleh Forbes, Time, dan CNN Heroes Young Wonders. Ia baru saja menghadiri Festival Film Cannes untuk penayangan film dokumenter Bigger Than Us, Juli 2021, yang ia bintangi sendiri.
”Ketika mendengar tentang young changemaker, orang hanya berpikir betapa menginspirasinya hal itu. Tapi ini sebenarnya banyak kerja keras dan komitmen jangka panjang. Saya tetap terlibat selama ini karena saya memulai dengan niat yang tepat, bukan untuk mendapat pengikut di media sosial atau aplikasi bagus sebelum kuliah,” kata Melati dari Belanda dalam wawancara virtual selama 30 menit bersama Kompas, Kamis (5/8/2021).
Kilas balik, Melati dan Isabel memulai gerakan ini sejak mereka berusia 12 dan 10 tahun. Mereka benci melihat sampah plastik di pantai, sawah, dan pemandangan sekitar rumah. Langkah pertama mereka adalah membuat petisi daring dan luring di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai yang meraih lebih dari 87.000 tanda tangan pada Januari 2014.
Baca Juga: Lala Bohang, Perempuan Berimajinasi Rindang
Mereka selanjutnya meluncurkan desa percontohan di Pererenan, memberi presentasi di sekolah, membuat buku panduan tentang bahaya plastik, dan mendistribusikan tas alternatif ke toko-toko. Meskipun telah melakukan petisi dan kampanye berkelanjutan, Pemerintah Provinsi Bali rupanya masih bergeming. Melati dan Isabel memutuskan untuk mogok makan.
Pada November 2014, mereka akhirnya menandatangani nota kesepahaman dengan Gubernur Bali saat itu, I Made Mangku Pastika. Lobi dengan pemerintah, akademisi, komunitas, dan pebisnis terus berlanjut. Hingga pada 2019, Pemprov Bali mengeluarkan larangan penggunaan plastik sekali pakai. Kampanye dan program melawan sampah plastik yang diinisiasi Melati dan Isabel, seperti One Island One Voice, Mountain Mamas, dan River Boom, masih berlangsung hingga saat ini.
Ditambah lagi, status sebagai aktivis muda tidak memberi Melati jalan mulus. Melati kerap dipandang sebelah mata lantaran identitasnya sebagai anak muda, perempuan, dan anak ras campuran Indonesia-Belanda yang lebih fasih berbahasa Inggris. Melati hanya diakui sebagai orang Indonesia ketika program yang diinisiasi berhasil.
”Saat menghadapi tantangan, saya memotivasi diri dengan berada di alam; berjalan-jalan, pergi ke pantai, berselancar di lautan. Setiap kali saya bersama alam, saya diingatkan betapa indahnya itu, itulah sebabnya saya bekerja keras untuk melindunginya,” tutur Melati.
Terlepas dari itu, Melati mengakui sejumlah privilese yang dimiliki sehingga bisa sampai di titik saat ini. Ia didukung sekolahnya, Green School Bali, dan orangtua. Melati bisa lulus setahun lebih awal agar bisa lebih fokus dengan proyeknya pada 2018. Sang ibu, Elvira, malahan rela menjual perusahaannya empat tahun lalu agar bisa 100 persen ikut menjadi sukarelawan.
Bakat Melati sebagai pemengaruh juga terasah sejak kecil di rumah. Melati belajar keterampilan berbicara, mendengarkan, dan menyusun narasi lewat kegiatan sederhana, yakni berbincang bersama keluarga setelah makan malam. Hasilnya, keterampilan itu jelas terlihat selama wawancara berlangsung.
Meskipun sendiri, gadis ini dengan santai menyimak hujan pertanyaan. Ia bahkan sempat memasang anting hoop keemasan di kedua telinga, yang melengkapi outfit biru bermotif bunga-bunga yang dikenakannya, selama wawancara. Jawaban Melati juga disampaikan dengan tenang sebab ia tahu inti pembicaraan yang ingin disampaikan.
Kotak pandora
Mimpi Melati tidak muluk. Melati ingin agar Tri Hita Karana, filosofi tradisional Bali, bisa bertahan di dunia modern ini. Filosofi ini mengajarkan tentang keharmonisan hidup manusia dengan Tuhan, lingkungan, dan sesama. Namun, jalan menuju impian itu begitu berliku.
Melati teringat, beberapa tahun lalu pernah terperangah melihat gunungan sampah di TPST Bantar Gebang, Jawa Barat, dan TPA Suwung, Bali. Sementara itu, masyarakat sekitar kesulitan mengakses pendidikan serta kesehatan. ”Ya ampun, ternyata masalah ini jauh lebih besar daripada yang bisa dilakukan siapa pun,” pikir Melati.
Semakin lama di dunia aktivis, semakin Melati sadar banyak hal yang harus diperbaiki. Industri yang terlihat wajar ternyata mengancam kelestarian lingkungan, seperti peternakan hewan dan industri fast fashion. Penemuan baru itu bahkan mengubah gaya hidup Melati menjadi seorang vegetarian.
Baca Juga: Kemandirian Sosial Audrey
”Banyak hal baru ketika kamu menjadi seorang pencinta lingkungan. Jadi, itu seperti membuka kotak pandora karena kamu mulai mempelajari semua hal yang berbeda, dan beberapa hal itu adalah contohnya,” tutur Melati.
Menurut Melati, narasi bahwa masyarakat harus lebih peka dengan metode 3R (reuse, reduce, dan recycle) telah muncul lima tahun terakhir. Sayang, ini adalah aksi bertanggung jawab dari individu yang bersifat satu arah. Karena itu, Melati ingin pemerintah terlibat untuk menciptakan perubahan sistematis lewat kebijakan agar semua pihak ikut bertanggung jawab.
”Salah satu rasa frustrasi saya adalah perubahan terjadi sangat lama. Kami juga harus mengimbangi bagaimana agar masyarakat tetap berharap, terlibat, dan termotivasi sekaligus mendorong pemerintah,” ujarnya.
Ada satu pertanyaan yang sering muncul untuk Melati. Apakah ia merasa telah mengorbankan masa kecilnya? Melati dan adiknya sudah peka dengan isu lingkungan sejak masih bocah. Masa itu seharusnya masa yang simpel bagi anak-anak; bermain, makan, belajar, dan tidur. Namun, tidak untuk Melati yang harus repot-repot berkampanye dan melobi pemerintah.
Sambil menggelengkan kepalanya, Melati dengan tegas menjawab tidak. Sejak kecil, Melati yang biasa mendengarkan karya Otis Redding ini mengakui dirinya adalah seorang old soul in a young body sehingga selalu serius.
”Melihat kembali delapan tahun ini, jika saya tidak melakukan ini, saya tidak tahu saya akan menjadi orang seperti apa hari ini. Saya merasa itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan, dan saya tidak akan melakukannya dengan cara yang berbeda,” tuturnya sembari tersenyum.
Terinspirasi dan menginspirasi
Inspirasi Melati untuk membuat perubahan berasal dari banyak tokoh dunia. Saat duduk di bangku SMP, ia mempelajari banyak tokoh ternama dunia, antara lain Nelson Mandela dari Afrika Selatan, Putri Diana dari Inggris, Mahatma Gandhi dari India, dan Martin Luther King Jr. dari Amerika Serikat.
Mereka unggul di masalah yang berbeda masing-masing. Mandela melawan apartheid, Putri Diana terjun ke pekerjaan kemanusiaan, Gandhi memperjuangkan kemerdekaan tanpa kekerasan, dan King menggelorakan gerakan hak sipil.
Cerita perjuangan mereka menyentuh Melati. Satu orang bisa membuat perubahan berdampak yang menyentuh umat manusia. ”Betapa memotivasi dan menginspirasi untuk melihat bahwa sebagai individu, kita memiliki kekuatan untuk memberikan energi positif kepada dunia. Jika mereka bisa melakukannya dengan sumber daya yang ada di sekitar mereka, kita juga bisa melakukannya,” ucap Melati.
Kemampuan untuk menginspirasi orang lain kini dimiliki Melati. Melati telah berhasil mengajak anak muda bergerak demi dunia menjadi tempat yang lebih baik. Gerakan Bye Bye Plastic Bags malahan telah menyebar ke 60 lokasi di 30 negara, seperti Spanyol, Australia, Yunani, Amerika Serikat, Vietnam, China, dan Peru.
Baca Juga: Janice dan Benita, Keuletan Ganda Si Desainer Kembar
Tentu saja platform panggung internasional dan media sosial sangat membantu eksposur Bye Bye Plastics Bags. Namun, pengaruh global itu tidak pernah terbayangkan. Melati dan adiknya, Isabel, sudah berbicara ke lebih dari 500.000 pelajar di seluruh dunia.
Melati ingin kembali menginspirasi anak muda dalam KompasFest yang berlangsung selama 20-21 Agustus 2021, untuk sesi konferensi bertajuk ”Climate Action: No Movement Too Small”. Melati akan membagikan pengalaman bagaimana anak muda bisa berperan dalam perubahan.
Sampai sekarang pun, perjuangan Melati masih berlanjut walaupun kesadaran untuk perubahan telah timbul di masyarakat. Ia ingin terus mendorong perubahan kebijakan untuk lingkungan melalui Bye Bye Plastic Bags dan pewujudan 17 TPB PBB melalui Youthopia.
”Saya pikir Bye Bye Plastic Bags telah memainkan peran besar yang luar biasa dalam menunjukkan kepada kaum muda bahwa perubahan dapat terjadi. Kaum muda ketika mendorong perubahan, kita dapat mempercepatnya karena ini sangat penting di zaman kita hidup sekarang ini,” kata Melati menutup percakapan.
Melati Wijsen
Lahir: 19 Desember 2000
Pendidikan: Green School Bali
Pekerjaan: Pendiri Bersama Bye Bye Plastic Bags dan Pendiri Youthopia
Pengalaman:
- Film dokumenter Bigger Than Us (2021)
- Pembicara dalam Time 100 Talks (2021)
- Pembicara dalam World Economic Forum (2020)
- Pembicara dalam TEDGlobal London, bersama Isabel Wijsen (2015)
- Pembicara dalam INKtalks India (2014)
- Anggota Alumni World\'s Ocean Day Youth Advisory Council
Prestasi:
- Forbes 30 Under 30 - Asia - Social Entrepreneurs, bersama Isabel Wijsen (2020)
- CNN Heroes Young Wonders, bersama Isabel Wijsen (2018)
- TIME\'s 25 Most Influential Teens of 2018, bersama Isabel Wijsen
- Bambi Awards, bersama Isabel Wijsen (2017)