Lala Bohang, Perempuan Berimajinasi Rindang
Lala Bohang lahir Makassar, tumbuh besar di Palu di bawah asuhan oma dan opa. Lala kecil pun dibawa ke dunia yang penuh bahan bacaan. Dari sana, dia tumbuh sebagai perempuan penuh imajinasi.
Lala Bohang (36) adalah wajah Nusantara. Di dalam dirinya tersimpan anasir multietnis, multikultur, yang lalu tecermin menjadi sosok yang melihat perbedaan sebagai hal lumrah: tak perlu dipersoalkan. Perupa muda ini berusaha menceritakan hidupnya yang penuh kejutan lewat tulisan ataupun gambar berbingkai imajinasinya yang rindang.
Matahari menyapa pagi di Depok, Jawa Barat, Jumat (6/8/2021). Di rumahnya, Lala menyantap sarapan sebelum menghadapi hari. Overnight yoghurt, oatmeal, biji chia, dibumbui granola dan madu menjadi sumber energinya pagi itu.
Energinya meluap-luap dan tampak jelas tertangkap pada layar Zoom tempat kami berbincang pagi itu. Kami bertanya satu hal, Lala menjawabnya dengan berderet-deret paragraf yang dibangun dengan struktur logika kokoh sehingga kami mudah memahaminya.
Binar matanya menguatkan bahwa dia bahagia bisa berbagi. Kata dia, salah satu keuntungan kuliah arsitek adalah membuatnya mampu berpikir dan bertindak secara terstruktur sebagaimana jawaban-jawaban yang dia sampaikan tadi. Lala lulusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan.
Lala membuka kisah dengan menceritakan kesibukannya selama pandemi. Ia sedang sibuk menggarap buku barunya. ”Pandemi ini sibuk kerja lagi buat buku baru, baru kelar, gitu aja. Hidup aja, sih.”
Selain menggambar, menulis buku sudah menjadi impian Lala sejak lama. Buku pertamanya, The Book of Forbidden Feelings (2016), sudah 12 kali dicetak ulang dan terjual 41.000 eksemplar. Ia juga merilis The Book of Invisible Questions (2017) dan The Book of Imaginary Beliefs (2019). Tiga buku ini kemudian Lala sebut sebagai The Book of Siblings. Buku-buku ini berbicara tentang dunia batin tersembunyi manusia.
Belakangan, perempuan ini ingin mencoba pendekatan baru. Lala baru saja merilis The Journey of Belonging (2020) bersama penulis keturunan Belanda-Indonesia, Lara Nuberg. Ini adalah sebuah memoar, sejarah, dan pelacakan jejak kolonial dalam hidup mereka. Lala ingin memperlihatkan bagaimana sejarah mikro ditarik ke sejarah makro sebagai bahan pembelajaran.
”Gue menulis itu suka membesarkan hal kecil dan mengecilkan hal yang besar. Di seri Book of Siblings itu banyak hal remeh-temeh, tapi gue tambah hiperbola dan detail untuk masuk ke dalam. Tapi, The Journey of Belonging itu bahas sejarah nasional, tapi gue mulai dari makanan sehingga orang bisa relate dan enggak takut duluan,” kata Lala membuka salah satu rahasianya dalam menulis.
Dinaungi dongeng
Lala lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, tetapi tumbuh besar di Palu, Sulawesi Tengah, di bawah asuhan oma dan opa dari pihak ibu. Ibu dan ayahnya saat itu masih menempuh pendidikan tinggi di Makassar. Opanya seorang profesor bidang Pancasila Universitas Tadulako, Palu, yang terbiasa bergaul dengan buku. Lala kecil pun dibawa ke dunia yang penuh bahan bacaan. Opa kerap membelikannya buku-buku dongeng.
Pada suatu malam menjelang tidur, Opa membacakan buku dongeng hingga Lala pulas. Begitu juga dengan malam-malam berikutnya. Pembacaan dongeng menjadi ritual menjelang tidur. Lala kala itu tidak sepenuhnya memahami isi cerita, tetapi dia merasa seolah diajak mengembara ke dalam alam imajinatif lewat narasi yang dibacakan opanya.
Kesan itulah yang mengendap di alam bawah sadar dan terbawa hingga sekarang. Itu juga yang membuatnya gemar membaca sejak kecil. Buku yang dia sukai, antara lain, karya-karya Enid Blyton dan Astrid Lindgren. Berkat opa dan bacaan-bacaan itu, Lala tumbuh sebagai sosok berpohon imajinasi nan rindang.
Bibit imajinasi itu mulai kelihatan tatkala Lala masih bocah. Dia banyak menghabiskan waktu untuk menggambar, meniru ayahnya yang adalah seorang arsitek.
Setelah lulus kuliah arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan, Lala tahu dia tidak akan menjadi arsitek. Ia justru ingin menggunakan keterampilannya untuk mewujudkan hasratnya sebagai seniman. Lala harus membuktikan bisa mandiri di dunia seni kepada orangtua. Kini kakinya kokoh sebagai penulis.
Sebagaimana romantika banyak penulis sukses, Lala juga beberapa kali jatuh. Berbekal keyakinan diri bisa menulis karena karyanya kerap mendapat apresiasi semasa SMA, Lala mencoba menulis novel ketika kuliah. Novel rampung, tetapi semua penerbit menolaknya. Ada 10 penerbit waktu itu. Menulis lagi, ditolak lagi. Untuk sementara, Lala berhenti menulis. Rasa percaya diri berubah menjadi rasa minder.
Selepas kuliah, karier Lala belum begitu jelas. Pernah kerja di radio, majalah, pengembang, lalu perusahaan interior. Ia pernah nekat mengundurkan diri untuk fokus ke dunia seni, tetapi hanya bertahan selama enam bulan karena kehabisan uang.
Pada 2013, ia kembali mengundurkan diri saat berkarier di majalah Elle. Lala kemudian menjadi pekerja lepas di bagian visual merchandising di sebuah perusahaan perabot untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemilik perusahaan perabot itu kemudian pindah ke London pada 2015.
Semesta seolah menjawab, Lala tak lama mendapat tawaran dari editor di Gramedia Pustaka Utama (GPU) untuk membuat buku yang memadukan gambar dan tulisan. Lala memandang tantangan itu realistis karena dia bisa menggambar. Lalu, pelan-pelan rasa mindernya berubah menjadi rasa percaya diri. Tapi, kali ini dia tak ingin gegabah menulis utuh satu buku.
Dia menulis beberapa halaman, lalu diserahkan ke penerbit untuk dinilai. Jika penerbit cocok, Lala bersedia melanjutkan menjadi satu buku utuh. Itu karena dia tak mau patah hati seperti saat menulis novel dulu. Ternyata penerbit cocok. Lahirlah novel pertamanya pada Juli 2016. Pecah telur. ”Jadi, 10 tahun baru gue pecah telur,” kata Lala yang kemudian menulis buku-buku lainnya dan laris.
Bagi Lala, menggambar dan menulis telah menjadi cara hidupnya. Dalam hidup yang penuh keacakan dan kejutan ini, lanjutnya, yang bisa memberinya kedamaian, struktur, dan tujuan adalah dua hal itu. Menggambar dan menulis juga selalu mengingatkannya pada masa kecil.
Menyikapi perbedaan
Cara berpikir terbuka Lala untuk mengeksplorasi hal baru itu sudah dipupuk sejak kecil. Bisa dibilang, Lala hidup dalam keluarga dan lingkungan yang ”gado-gado”.
”Tumbuh di keluarga multikultural, nilai yang mengendap paling tebal untuk melihat dunia luar adalah orang baik, bisa diandalkan, profesional, dipercaya atau enggak itu tergantung dari dia. Kualitas seorang individu tidak terpengaruh dari suku, agama, atau keluarga lu apa. Manusia, ya, manusia aja,” ujar Lala.
Silsilah keluarga besar Lala beragam. Keluarga dari sisi ibu adalah Muslim, sedangkan keluarga dari sisi ayah kebanyakan beragama Kristen dan Katolik. Keluarga besar Lala terdiri dari beragam ras dan etnis, antara lain Manado, China, Jerman, serta Belanda.
Selama SD-SMP di Palu, Lala bersekolah di sekolah Buddhis. Lala belajar agama Buddha dan meditasi. Lulus SMP tahun 1999, ia dikirim ke Bandung untuk bersekolah di SMA Plus Muthahhari yang wajib mengenakan kerudung.
Di Muthahhari, Lala menambah kemampuan akademis sekaligus ekstrakurikuler dari kegiatan teater dan mading. Di sana jugalah, ia menemukan kepercayaan diri untuk menulis berkat almarhum Hernowo Hasim, guru Bahasa Indonesia-nya.
Ditambah lagi, salah seorang guru juga mengirim cerpen Lala ke koran lokal di Jawa Barat secara sembunyi-sembunyi. Lala teringat pengumuman pemuatan itu menjadi kejutan manis baginya. Lala kemudian melanjutkan di perguruan tinggi Katolik.
Makanan menjadi pengingat Lala tentang akar dan perjalanan hidupnya yang penuh warna. ”Gue ada kebiasaan untuk meromantisasi makanan karena gue suka pindah-pindah. Gue itung-itung pas tahun 2019 sudah 17 kali gue pindah rumah. Jadi, kadang feeling of home itu dari makanan,” kata Lala.
Lala bisa mendapatkan perasaan nyaman di rumah dalam semangkuk sup brenebon, misalnya. Kenangan soal Palu bisa dia rasakan dalam tahu isi dan terang bulan. Jika rindu Bandung, ia bernostalgia lewat tempe goreng atau bala-bala.
Rekonstruksi perspektif
Tumbuh dalam lingkungan multikultural ternyata tak menjamin semua perspektif Lala progresif. Ada nilai-nilai tradisional yang melekat erat, salah satunya adalah budaya patriarki. Lala tumbuh dengan pola pikir bahwa perempuan telah memiliki peran tertentu dalam kehidupan bermasyarakat.
Perantauan akhirnya membuka cakrawala baru Lala. Rekonstruksi perspektif tentang peran perempuan mulai terjadi setelah dirinya terjun di dunia profesional. Ia bertemu perempuan dan laki-laki dari berbagai spektrum karakter.
Lala kini memahami bahwa kedudukan perempuan setara dengan laki-laki. Namun, menjadi setara tidak berarti perempuan harus memiliki semua hal yang bisa diraih laki-laki. Perempuan baru setara ketika berhak memiliki pilihan hidup sesuai preferensinya.
”Women can have it all itu capek banget. Perempuan bisa menikmati jadi ibu rumah tangga, enggak menikah, menikah tapi tidak memiliki anak, atau punya banyak anak aja. Yang penting dia mengenal diri sendiri, tahu batasan, dan tahu apa yang nyaman,” ujar Lala yang baru menikah tahun lalu.
Ekspresi Lala terhadap isu jender terlihat dari beberapa karya ilustrasinya. Ia kerap menggambar seorang tokoh perempuan rambut bob dengan poni—yang akhirnya ditirunya sendiri. Dalam beberapa kesempatan, karakter perempuan itu mengenakan baju bergaris-garis yang ternyata merepresentasikan kebebasan dan keterkungkungan.
Isu jender kembali digali dalam residensi internasional pertama Lala di Jerman, tahun lalu. Selama di sana, ia melakukan riset tentang konstruksi sosial perempuan Jerman dan Indonesia dalam cerita rakyat. Ia ingin menginterpretasi bagaimana karakter perempuan dalam cerita rakyat akan berperilaku dalam konteks sekarang.
Pengalaman Lala dalam dunia seni dan menulis akan dibagikan dalam sesi ”Creative Writing: How To Write Your First Book” selama pergelaran acara Kompasfest pada 20-21 Agustus 2021. Lala akan membahas tentang pentingnya penulis menemukan warna sendiri, alasan menulis, dan cara menyelesaikan tulisan.
Terkait dengan obsesinya pada masa depan, Lala menjawab blak-blakan. ”Jujur, karena pandemi ini gue ingin keluar hidup-hidup. Gue ingin terus berkarya walau penontonnya kecil atau besar. Obsesi muluk-muluk gue paling pengin banget ada experience space sehingga orang bisa experience buku dan karakter gue karena karya-karya gue itu ada koneksi, seperti pohon keluarga,” tutur Lala tentang sebagian imajinasinya yang demikian rindang.
Lala Bohang
Lahir: Makassar, 9 Maret 1985
Pendidikan: Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung
Pameran:
- Solo Exhibition 2013 Gendis (LIR Space, Yogyakarta)
Residensi:
- Crossing Borders Residency Program by Literarisches Colloquium Berlin (Berlin, 2020)
- Gallery National Indonesia Residency Program (Jakarta, 2014)
Buku antara lain:
- Kayori: Seni Merekam Bencana (2021)
- The Journey of Belonging (2020)
- Selfie(sh) Anthology (2019)
- The Book of Siblings Box Set (2019)
- The Book of Imaginary Beliefs (2019)
- The Book of Questions (2018)
- The Book of Invisible Questions (2017)
- The Book of Forbidden Feelings (2016)
- Lula Lyfe (2016)
Penghargaan:
Ranald Mcdonald Award for The Journey of Belonging book (The Netherlands), 2020