Pink Sweats Memberi Tempat untuk Cinta
Pink Sweats memberi tempat untuk cinta melalui lagu-lagunya. Di dunia ini, sepatutnya cinta mendapat tempat.
David Bowden (29), pria kelahiran Philladelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat ini memasuki dunia musik dengan cara berbeda. Musik Rhythm & Blues dan soul yang tenang, lirik santun, juga citra feminin karena mengidentifikasi dirinya dengan warna merah muda. Misinya pun tak muluk, menyentuh hati banyak orang dengan cinta. Di dunia ini, sepatutnya cinta diberi tempat.
Bowden memasuki dunia musik dengan nama panggung ‘unik’, Pink Sweats, biasa ditulis menjadi Pink Sweat$. Nama panggungnya itu muncul karena dia sangat identik dengan celana pendek berwarna merah muda yang kerap dia kenakan.
“Aku membelinya di sebuah toko. Saat itu aku tak punya banyak uang, jadi aku memakai celana yang sama hampir setiap hari. Suatu ketika di studio, ada yang berteriak kepadaku, Hai Pink Sweats, dan aku menyukainya. Jadi aku memakai nama itu sampai sekarang,” tuturnya dalam wawancara virtual menjelang akhir Juni 2021.
Hari itu Kamis, (24/6/2021), Pink tampak santai dan gembira. Sebagai seorang penyanyi yang tengah naik daun, sosoknya terlihat bersahaja. Dia tak sungkan untuk bergurau dan bersikap apa adanya. Ketenaran, tak membuatnya jadi jumawa.
“Aku selalu berpikir, orang-orang memberi terlalu banyak kredit dan energi pada orang lain. Harusnya kita lebih fokus untuk memahami Tuhan, cinta dan hal-hal seperti itu, dibanding mengidolakan orang lain. Kita tidak bisa mengidolakan satu orang dan mengabaikan yang lainnya,” ujarnya.
Meski dapat dikatakan sebagai pendatang baru, jejak Pink Sweats di dunia musik sebenarnya sudah cukup panjang. Keputusannya untuk berkarir di dunia musik telah dimulai di usia 19 tahun. Hingga kini, selain menyanyi, dia banyak menulis lagu untuk penyanyi lain. Seperti Tori Kelly dan yang terbaru, Justin Bieber.
Sebagai penyanyi solo, debutnya baru dimulai 3 tahun lalu, ditandai dengan peluncuran 3 mini album, Volume 1 (2018), Volume 2 (2019) lalu The Prelude (2020). Banyak singel dari ketiga mini album tersebut, seperti “Honesty” dan “17” mencuri perhatian pecinta musik. Album penuh pertamanya, Pink Planet, baru dirilis pada Februari 2021.
Dari album itu, “At My Worst”, baik versi asli maupun yang dinyanyikan bersama Kehlani, dengan cepat melambungkan namanya. Lagu itu wara-wiri di dunia maya, salah satunya di aplikasi TikTok.
Malah tak hanya “At My Worst”, lagu lain seperti “Heaven”, “So Sweet” dan “Pink Family” pun membetot perhatian. Begitu pula kolaborasinya dengan penyanyi asal Malaysia, Yuna di singel “Don’t Blame on Love”, serta duo popular asal London, Inggris, Honne di singel “What Would You Do?”.
Di lagu “17”, Pinks juga berkolaborasi dengan penyanyi asal Indonesia, Hanin Dhiya. Pink bernyanyi dalam Bahasa Inggris, sementara Hanin bernyanyi dalam Bahasa Indonesia.
Baru-baru ini, Pink terpilih menjadi duta Resso, salah satu platform musik digital dalam Kampanye “Buka Resso Buka Hits Berikutnya”. Ini merupakan kampanye untuk mendekatkan artist internasional pencetak lagu hit kepada pendengar mereka di Indonesia.
Jalan musik
Terlahir dari keluarga yang religius, sejak awal Pink memang sangat serius melakoni karirnya di dunia musik. Didikan orang tuanya yang keras, membuat Pink sangat berhati-hati melangkah.
“Mereka sangat strict. Saat aku masih kecil, ayahku selalu bicara soal tanggung jawab. Dia selalu ingin aku jadi laki-laki dan harus berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu, seperti ada Tuhan yang duduk di sebelahku. Dulu aku selalu bingung, tapi semakin dewasa aku sadar dan berusaha semaksimal mungkin menjadi orang baik. Itu memanduku untuk tidak membuat hidup orang lain menderita,” ujarnya.
Pink berkenalan dengan musik di usia 3 tahun. Dia memiliki sebuah drum mini yang setiap kali memainkannya, memunculkan rasa gembira. Perasaan itu kelak membawanya pada perjalanannya menemukan musik sebagai jalan hidup. “Saat memulai karirku, aku juga berada di perasaan itu. Seperti sebuah perasaan saat aku kecil dulu, menemukan sesuatu,” ujarnya.
Kariernya di dunia musik, baru benar-benar dimulai di usia 19 tahun. Saat itu, Pink berada di sebuah studio musik dan berhasil membuat sebuah lagu. “Semuanya terasa sangat alamiah dan seperti datang bersamaan dengan indah. Orang-orang melihatku dan terkejut, wow kamu menulis lagu. Jadi aku merasa harus berada di sini, menulis lagu,” kenangnya.
Lingkungan gereja yang diakrabinya sejak kecil, turut membangun kecintaan Pink terhadap musik, bahkan menjadi inspirasi terbesarnya dalam bermusik. Dari musik yang kerap didengarnya di gereja, Pink merasakan bahwa musik mampu membangkitkan semangat dan memberikan rasa bahagia.
“Sejak itu, aku selalu mencoba meniru agar mendapat perasaan yang sama atau mendekati seperti saat ada paduan suara bernyanyi di gereja. Aku ingin musikku memberikan hal yang sama. Aku ingin orang-orang merasa seperti itu,” katanya.
Perjuangannya yang berat dengan akalasia, sebuah gangguan langka yang membuat makanan dan cairan sulit masuk ke perut selama bertahun-tahun, menambah keyakinannya memilih musik sebagai jalan hidup. Dalam situasi sulit, ternyata musik membantunya bangkit dan sembuh.
“Saat aku mulai membuat lagu baru, aku merasa bersemangat, lebih bahagia dan penuh harapan. Aku merasa aku punya kesempatan kedua dan hidup baru,” ungkapnya.
Setelah terbebas dari akalasia, Pink pun terus memantapkan jalannya di dunia musik. Keseriusan dan kehati-hatian tercermin pada karya-karyanya.
Di banyak lagunya yang berlirik tentang cinta, dia memilih menggunakan bahasa yang santun. Tak ada kata kasar, apalagi sumpah serapah. Dia menggunakan platformnya sebagai figur publik dengan penuh tanggung jawab.
“Aku dibesarkan dengan percaya pada Tuhan dan semuanya. Menurutku ini adalah tanggung jawabku untuk menyadari dengan benar, dengan pesan dan hal-hal yang kudorong pada orang lain. Tujuanku adalah menemukan cara paling tepat untuk membuat semua orang bahagia. Aku berusaha untuk menyeimbangkan semuanya. Berusaha melakukan tugas artis, bertanggung jawab, dan menggunakan platform ini dengan penuh rasa syukur dan hormat,” ujarnya.
Simak salah satu penggalan lirik di lagu “At My Worst”. I need somebody who can love me at my worst/No, I\'m not perfect, but I hope you see my worth. Atau di lagu “17”. So promise you\'ll never change/And I\'ll always be the same/We\'ll be dancing the same groove/When we\'re ninety-two, the same as seventeen.
Liriknya bicara tentang cinta. Tapi jelas bukan cinta ‘monyet’. Ini adalah tentang cinta tanpa syarat, tentang cinta yang terus ada hingga akhir hayat. “Aku ingin menyampaikan pertanyaan ini kepada semua orang. Jangan hanya mencintai dalam situasi baik-baik saja. Tapi tetap mencintai dalam situasi buruk,” kata Pink Sweats.
Menawarkan keragaman
Lagu cinta, bisa saja dianggap enteng dan cengeng. Tapi tidak bagi Pink Sweats. Melalui albumnya lagu-lagunya di album Pink Planet, Pink ingin menghadirkan musik yang indah. “Sesuatu yang terasa riil dan otentik, yang membuat kamu bisa merasakan cinta,” ujarnya.
Penghormatannya yang besar pada cinta, tak hanya tercermin melalui lirik-lirik lagu. Warna merah jambu yang menjadi ciri khas dan nama panggungnya, bukan semata trik marketing. Merah jambu, baginya adalah simbol cinta. Dia ‘menonjol’ seperti sepatutnya cinta di dunia ini.
“Pink sangat berelasi dengan cinta karena ini warna yang hidup. Seperti saat kamu berjalan-jalan ke taman, melihat pasangan yang bergandengan tangan dan mereka bahagia, otakmu memberikan sinyal aku juga ingin bahagia bersama seseorang dengan cinta yang seperti itu. Bagiku pink adalah warna yang stand out. Aku merasa di dunia ini cinta juga harus stand out,” katanya. Warna simbol cinta itu bertaburan di videoklip lagu-lagunya yang rata-rata juga sopan.
Baca juga : Tentang Ucok dan Hidup yang Menolak Padam
Melalui musiknya yang ‘berbeda’, ringan dan organik, tidak membombardir khas R & B yang identik dengan beat trap dan hip hop yang berdentum tinggi, Pink mengatakan dia ingin membawa keragaman. Dia ingin orang-orang bisa mendengar lagu yang bersih karena terkadang R n B bisa terasa berat dan bukan untuk semua orang.
“Tidak semua orang ingin mendengar hal-hal seperti itu. Dan aku merasa aku harus peduli dengan orang-orang yang ingin mendengarkan musik dengan lagu yang bicara tentang kekasih, hal-hal seperti itu,” ujarnya.
Dia yakin, akan selalu ada banyak ruang untuk keragaman. Dia ingin bisa memberikan pilihan itu. “Aku ingin, kelak saat aku melihat karirku dalam 20 tahun kemudian, aku bisa bilang aku membangun dasar karirku dengan cinta. Aku tak perlu gimmick atau hal-hal semacam itu. Apapun yang kubangun, semua selalu berdasar cinta. Aku akan hidup dengan itu,” tandasnya.
David Bowden/Pink Sweats
Lahir : Philadelphia, Amerika Serikat, 14 Februari 1992
Karya musik :
1. Album mini Volume 1 (2018)
2. Album mini Volume 2 (2019)
3. Album mini The Prelude (2020)
4. Album Pink Planet (2021)