Tentang Ucok dan Hidup yang Menolak Padam
Kegiatan bermusik Ucok selalu beririsan dengan solidaritas sosial yang ia tempuh sekitar 25 tahun ini. Ia ada di gerakan solidaritas pada korban penggusuran dan buruh yang kena PHK.
Di lingkaran musik, khususnya arena hiphop, nama Herry Sutresna lebih dikenal sebagai Ucok yang dilekatkan dengan grupnya, Homicide. Grup yang ia bentuk di era Soeharto itu tutup usia 14 tahun lalu. Kini, dia menjalankan label rekaman Grimloc dan tetap aktif di jaringan pemberdayaan sosial-politik dari Bandung.
Homicide dibentuk Ucok pada 1994, beririsan dengan keterlibatannya pada aktivisme politik menentang rezim penguasa Orde Baru. Hingga 2007, Homicide menghasilkan tiga album penuh dan sejumlah album mini. Namun, bahkan sampai sekarang, lagu-lagunya masih memberi api.
Larik ”fasis yang baik adalah fasis yang mati” dalam lagu ”Puritan” layak terpatri selamanya. Homicide punya kekhasan lirik yang tajam yang disemburkan dengan kecepatan rapping layaknya ”desingan peluru 13 November di Semanggi”—mengacu dari rima lagu ”Breakadawn” besutan Morgue Vanguard dan Doyz di album Demi Masa (2018).
Morgue Vanguard adalah moniker Herry lainnya. Di bawah nama alias itu, Ucok ”bersolo karier” menghasilkan album Fateh berkolaborasi dengan mendiang DJ Still dari grup hiphop Dalek asal New York. Rima bikinannya di karya solo ini tetap menggetarkan jiwa. Simak saja potongan bagian koda lagu ”Fateh”, keluaran 2014 ini.
”Kami tak kan berhenti meski lapar mengetam/hingga udara yang kau hirup mengantar pesan sederhana tentang/potret akhir zaman yang kusam/dan doa-doa tak terkabul di ujung malam/tentang hasrat yang siap menua bersama angkara/tentang geram yang kami pelihara/…/hidup yang menolak padam!//”
Album Fateh adalah salah satu rilisan awal label Grimloc yang ia dirikan pada 2010 bersama rekannya, Gayanugrah. Alasan pendirian label itu sederhana, mereka perlu ”kendaraan” untuk menghasilkan musik seperti yang mereka mau. Gayanugrah atau Gaia punya grup hiphop bernama Eyefeelsix dan D’Army.
Semula, urusan administrasi label itu menebeng di firma desain grafis yang Ucok bangun di daerah Sumurbandung. Modal pendirian firma, khususnya untuk sewa rumah sebagai kantor, didapat Ucok setelah dia merancang logo band Noah. Umur Grimloc ternyata lebih panjang daripada firma itu.
Kami memilih merilis sendiri daripada lewat pihak lain. Makanya, ketika nyaris bangkrut pun, Grimloc tetap saya pertahankan.
”Grimloc dibikin untuk merilis rekaman kami sendiri. Selama masih main musik, kebutuhan label akan tetap ada. Kami memilih merilis sendiri daripada lewat pihak lain. Makanya, ketika nyaris bangkrut pun, Grimloc tetap saya pertahankan,” kata Ucok di kantor Grimloc yang baru saja pindah di daerah Cijagra, Kota Bandung, karena pemilik tempat lama memutuskan menjual rumah tua itu.
Hampir saban hari Ucok dan enam rekannya ”ngantor” tanpa ada jam kerja mengikat. Siapa pun boleh datang jam berapa pun. Bagian administrasi dan pengepakan biasanya riuh menjelang siang. Kalau kerjaan selesai, silakan nongkrong atau pulang. Bebas. Suasana kantor itu lebih mirip ”basecamp barudak”. Gerai yang menjual album rekaman dan pakaian terletak di depan, bersisian dengan kedai kopi.
Ruangan kerja Ucok mepet dengan kamar mandi yang terlihat rapi pada Jumat pagi di akhir Mei itu. Dinding ruangan Ucok penuh poster band-band rilisan Grimloc dan band kegemarannya. Pintu ruangan yang hampir tak pernah tertutup itu ditempeli fotokopian artikel tentang hilangnya Wiji Thukul. Tumpukan kaset dan CD serta barisan piringan hitam terpusat di beberapa tempat. Foto keluarga terpajang di antara itu.
Di samping turntable, ada sekotak album piringan hitam, yang bisa jadi paling sering dia putar atau baru saja diputar. Di antaranya adalah beberapa album Fugazi, band hardcore yang digawangi Ian MacKay. Selain bermusik, ”sang junjungan” kaum punk/hardcore itu menjalankan label bernama Dischord Records, yang fokus merilis band-band dari wilayah operasionalnya, yaitu Washington DC. Label inilah yang menjadi haluan bagi metode-metode Grimloc.
Kerja regional
”Grimloc itu bekerjanya regional, di mana kaki berpijak, artinya Bandung. Sebanyak 99 persen rilisan Grimloc itu adalah karya teman-teman sekitar sini. Satu persennya disisakan untuk mengantisipasi anomali, misalnya ada band dari luar Bandung yang menurut kami penting banget untuk kami rilis,” jelas Ucok.
Keputusan itu ada dasarnya, tak sekadar mencontek Dischord Records. Bekerja di lingkaran kecil, kata dia, membuka kemungkinan untuk lebih peka pada kondisi sekitar. Karya musik jadi terhubung dengan komunitas-komunitas lain beragam latar belakang sehingga ekosistemnya terjalin secara mutual.
”Dengan lingkup kerja seperti itu akan lebih mudah. Bukan saja menjaga dinamika kancah musiknya, melainkan juga berhubungan dengan konteks sosial setempat. Misalnya, ada kawan-kawan di kancah aktivisme mau bikin acara. Saya tarik band/musisi yang sebelumnya enggak terjalin di kancah aktivisme untuk main di acara itu,” kata Ucok.
Ucok mencontohkan band rock instrumental Flukeminimix yang albumnya, Between Space into Space, dirilis Grimloc pada 2015. Band ini main dalam acara solidaritas penggusuran kampung Tamansari, beberapa waktu lalu. Musik-musik tanpa teks Flukeminimix justru mendapat konteksnya saat tampil di antara puing-puing rumah yang digusur itu.
”Mereka pakai suara-suara tanpa teks untuk menyadarkan kita arti ruang. Pengalamannya jadi sangat empirik, terbebas dari kungkungan teks. Hal-hal seperti ini yang bikin saya masih bersemangat menjalani Grimloc, setiap hari seperti menemui hal baru,” katanya saat kopi instannya sudah tandas.
Katalog rilisan Grimloc sebenarnya tak terpaku pada genre tertentu, walau punggawanya adalah penggemar hiphop dan punk rock. Mereka memilih memproduksi album, utamanya alasan selera yang sukar diganggu gugat. Ucok bilang, Grimloc merilis piringan hitam Homicide, yang kata dia ”super politis”, album rap Krowbar yang katanya ”super bengal”, hingga band grindcore Mesin Tempur yang alih-alih seram seperti judul albumnya justru berlirik jenaka.
Relasi Grimloc dengan band/musisi yang mereka produksi juga berlangsung generik. Kesepakatan antarteman jadi andalan. Jarang sekali hubungan itu diikat dengan tanda tangan di atas kertas. Yang jelas, Grimloc tidak menyimpan master rekaman album artis mana pun. Jadi, mereka bebas menggandakan karya mereka dalam format berbeda dengan label lainnya.
Moda kesepakatan antarteman itu juga mereka terapkan pada band setenar Koil. Format piringan hitam album ketiga mereka, Blacklight, dirilis Grimloc bermitra dengan Snakecharm Records pada 2019. Koil hanya meminta royalti dibayar duluan. Itu sudah terpenuhi.
Selain pertimbangan wilayah, ada nilai yang hendak mereka jaga. ”Kami enggak mau mempromosikan nilai yang kami tentang, semacam primordialisme, nasionalisme sempit, fundamentalisme, rasisme, dan terutama fasisme. Lintas genre bukan berarti bebas nilai-nilai itu,” lanjut Ucok yang telah mengeluarkan dua judul buku ini.
Tahun 2021 bakal jadi tahun paling sibuk mereka. Sepanjang tahun, mereka berencana merilis 33 album dalam berbagai format. Itu jumlah yang fantastis. Namun, Ucok tidak ngoyo.
”Paling juga cuma 20-an nanti. Itu, kan, juga bergantung pada kesiapan band. Ada yang belum rampung rekamannya, ada yang tertunda,” katanya yang juga sedang merampungkan album punk bersama barunya, Birds of the Coming Storm.
Gerak bersama
Kegiatan bermusik Ucok selalu beririsan dengan solidaritas sosial yang ia tempuh sekitar 25 tahun ini. Energinya seperti tak pernah habis. Ucok ada di gerakan solidaritas korban penggusuran. Dia juga bergerak membuat skema unit usaha kecil untuk dijalankan buruh yang terkena PHK. Di sisi lain, dia juga punya keluarga—dua dari tiga anaknya telah kuliah.
Yang membuatnya teguh menjalani itu semua, dia sebut sebagai alasan klise: mengerjakan sesuatu yang memang dicintai. Alasan itu bisa jadi adalah makna dari kata ”amorfati” yang terajah di lengannya.
Itu adalah privilese yang saya miliki. Itu yang menyadarkan saya: kalau punya privilese, yang tidak didapat oleh semua orang, gunakanlah untuk membantu kawan yang tidak punya itu.
”Itu adalah privilese yang saya miliki. Itu yang menyadarkan saya: kalau punya privilese, yang tidak didapat oleh semua orang, gunakanlah untuk membantu kawan yang tidak punya itu,” ujarnya.
Contoh privelese yang dimiliki Ucok adalah ”ketenaran” nama Homicide. Meski telah bubar belasan tahun silam, kausnya masih diburu orang, bahkan laku dijual berkali lipat harganya di pasar.
Dia teringat, pada 2013, LBH Bandung, yang banyak mendampingi warga, membutuhkan dana darurat. Teman-teman Ucok menyarankan untuk mencetak lagi kaus Homicide yang hasil penjualannya dipakai untuk donasi. Padahal, sejak bubar, dia pernah menyatakan tak akan lagi mengeluarkan kaus grup itu karena malas berurusan dengan royalti. Namun, keadaannya mendesak. Dia setuju.
Sejak saat itu, kaus Homicide jadi pilihan terakhir ketika dibutuhkan. ”Iya, itu Homicide ’dilacurkan’, dalam konotasi positif, ya. Tapi, dibatasi juga. Kalau memang perlu donasi besar dan segera, baru dicetak lagi,” katanya.
Namun, Ucok enggan dilabeli sebagai ”lokomotif gerakan sosial”, apalagi disebut sebagai aktivis, walau lampu sorot mengarah kepadanya. ”Saya sudah lama enggak percaya sama kepeloporan. Engggak ada satu-dua individu yang memelopori sesuatu. Ketika memelopori pasti gara-gara orang terdekatnya, lingkarannya,” katanya. Itu belum selesai.
”Kalau bukan hasil kerja bareng, enggak akan jadi apa-apa juga. Apalagi kalau terkait aktivisme, pergerakan politik, dan sebagainya, saya, mah, apa atuh…,” ucapnya.
Dia lalu bersiap-siap berangkat ke daerah Tamansari untuk bertemu teman-teman yang mendampingi korban penggusuran.
Herry Sutresna
Lahir: Sungailiat, Bangka, Juni 1974
Pendidikan: Sastra Inggris Universitas Padjadjaran serta Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung
Beberapa album:
- Godzkilla Necronometry (bersama Homicide, 2002)
- Barisan Nisan (bersama Homicide, 2004)
- Illsurrekshun (bersama Homicide, 2008)
- Fateh (bersama DJ Still, 2014)
- Demi Masa (bersama Doyz, 2018)
- Morbid Funk (bersama Bars of Death, 2020)
Buku:
- Setelah Boombox Usai Menyalak (2016)
- Flip Da Skrip: Kumpulan Catatan Rap Nerd dalam Satu Dekade (2017)