Srihadi dan Farida, Kembara Tirakat Sang Maestro
Srihadi mencecap teknologi yang tak sekadar sebagai sarana komunikasi saja. Proses kreatifnya juga telah beralih melalui piranti gawai kekinian yang disadarinya kian praktis dan membantunya merekam banyak hal inspiratif.
Berlatar belakang lukisan terbarunya yang bertajuk Jayakarta: The Glory of The Past, Present, and Future, Srihadi dan Farida duduk berdampingan menyapa lewat sambungan virtual, Selasa (8/6/2021). Rencana semula bertatap muka sembari menikmati karya barunya urung terjadi di tengah pandemi.
Bertemu secara daring belakangan ini menjadi jalan keluar tanpa mengurangi tujuan perbincangan. Teknologi saat ini memang serasa menjadi panglima di tengah deru zaman modern.
Perlahan tapi pasti, Srihadi mencecap teknologi yang tak sekadar sebagai sarana komunikasi saja. Proses kreatifnya juga telah beralih melalui piranti gawai kekinian yang disadarinya kian praktis dan membantunya merekam banyak hal sebagai inspirasi goresan kuasnya. Ya, perubahan sejatinya memang niscaya kan.
”Dengan kemajuan teknologi, saya yang gaptek terpaksa tertarik. Akhirnya, saya mulai belajar dan ternyata mempercepat pengerjaan sketsa. Jadi, lebih mudah dikoreksi dan penghematan kertas tidak menumpuk. Saya teruskan saja belajarnya menggunakan peralatan ini sampai sekarang,” tutur Srihadi yang hari itu kompak selalu berbusana putih bersama istrinya.
Lukisan teranyarnya yang berukuran 2 x 4 meter dengan pendekatan lanskap kota Jakarta dari abad ke-17 hingga abad ke-21 ini pun bermula dari sebuah komputer genggam berlayar sentuh dengan pena digitalnya. Menjadi bukti bahwa Srihadi yang tak sungkan beradaptasi dengan teknologi tanpa harus kehilangan jati diri.
”Saat mendapatkan alat itu, Pak Srihadi belajar dari anak-anaknya. Lalu mencoba membuat sketsa dengan alat itu. Pak Srihadi langsung menangkap. Seniman itu, kan, avant-garde ya, berjalan di depan, baik sosio-politis maupun budaya. Itulah tiap generasi pun harus menemukan jati dirinya masing-masing agar menjadi berguna,” kata Farida.
Berbicara jati diri, ini tecermin dari jejak karya Srihadi yang diawali saat masih bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia pada 1945 hingga kini. Kala itu, Srihadi kerap membuat poster, grafiti, atau slogan yang disebar di dinding-dinding besar dalam kota dan gerbong-gerbong kereta api. Sebagian grafiti yang dibuatnya memuat slogan seperti Fight for Democracy, We have to win. Ini yang menariknya bergabung dengan Seniman Indonesia Muda yang didirikan oleh S Sudjojono.
Delapan dekade terlampaui. Dari kemerdekaan, revolusi, hingga reformasi. Srihadi tetap teguh menggugat persoalan kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang masih langgeng di Indonesia. Namun, pendekatannya makin lama makin anggun lewat filosofis warna yang selalu dituturkannya di atas kanvas dan menjadi kekhasan dari tiap karyanya.
Seperti dalam Jayakarta: The Glory of The Past, Present, and Future, warna dijadikan penanda perubahan periodisasi dan juga memancarkan emosi dari tiap babakan sejarah yang dilalui. ”Warna hijau dan emas itu adalah simbol dari semangat bangsa kita. Patriotisme. Tidak kenal menyerah. Ini menjadi kewajiban dari generasi muda untuk juga meneruskannya untuk menjaga bangsa ini,” ujar Farida.
Sementara warna merah gelap di sudut kiri bawah lukisannya yang menampilkan simpang susun semanggi dimaksudkan menunjukkan sisi lain Jakarta yang lekat dengan kekumuhan dan masyarakat yang terpinggirkan. ”Salah satu yang jangan ditinggalkan. Kenyataan hari ini pun masih ada. Mudah-mudahan ke depan itu bisa hilang dan sepenuhnya menjadi negara yang sejahtera,” kata Srihadi.
Jayakarta ini juga hanya menjadi contoh rangkuman. ”Lewat lukisan Jayakarta ini ingin memberi semangat pada yang akan menjadi penerus bahwa suatu kejayaan pernah kita miliki dan kita bisa melalui berbagai persoalan ini. Walau ini hanya mengambil satu contoh, Jayakarta, tapi ini juga mencerminkan semua bagian negara dan kepulauan Indonesia untuk berkembang seterusnya,” tutur Srihadi.
Hal serupa pernah dilakukannya lewat lukisan Jakarta Megapolitan-Patung Pembebasan Banjir (2020). Lukisan yang sarat dengan warna merah pekat berpadu oranye, keunguan, dan hitam ini mengisahkan tentang banjir Jakarta yang sempat meredam pada awal 2020. Kritik sosial demi harapan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud.
Sang pemilik
Masih dari lukisan itu, Srihadi yang sudah akrab dengan laku mengasah batin sejak kecil ini mengungkit aspek lain, yakni tentang hubungan manusia dengan alam dan Yang Maha. Reflektif itu yang sejatinya terus digali. Bahwa melukis baginya juga proses melihat kembali ke dalam diri. ”Kita juga perlu waktu untuk diri kita sendiri untuk menjaga keseimbangan,” ujar Srihadi.
Sisi kontemplatif dari diri Srihadi menajam saat dirinya berada di Bali. Dirinya sempat tinggal di Pantai Sindhu yang saat itu masih sepi. Pemandangan alam membawanya pada gagasan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Itu pula yang mengarahkannya pada pendekatan lanskap di tiap karyanya.
Ia juga memegang falsafah jawa yang dikenalnya secara turun-temurun, seperti memayu hayuning bawana yang sarat ajaran untuk tidak berbuat semena-mena dan mengendapkan nafsu untuk menjaga keseimbangan alam. Juga sangkan paraning dumadi yang menyadarkan arah hidup ini adalah kembali pada Sang Pemilik jagad dan mengeratkan harmoni dengan alam sebagai jalan keselamatan.
Manifestasi makrokosmos dan mikrokosmos dalam kosmologi jawa ini ikut urun dalam kelahiran tiap karyanya. Ini berpengaruh besar terhadap bentuk kritik sosial dalam lukisannya yang tak meledak-ledak, tetapi mengena. Kisah pengalamannya yang dituangkan dalam karya pun dapat diintepretasikan lebih mendalam.
Salah satunya pada lukisan baru lainnya yang dipamerkan bersama Jayakarta: The Glory of The Past, Present, and Future, yakni Borobudur-State of Meditation. Borobudur yang didominasi latar warna merah ini berkisah tentang penggemblengan pemuda di sekitar Borobudur untuk mempertahankan Indonesia pada 1946 ketika tentara NICA sudah mendarat. Srihadi tercatat pada tahun itu merupakan anggota dari Tentara Keamanan Rakyat yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.
Borobudur menjadi obyek favorit Srihadi. Sebut saja, Borobudur-The Energy of Nature (2017), Borobudur-Moment of Contemplation (2017), Borobudur-Moment of Meditation (2017), dan The Mystical Borobudur (2019). Lagi-lagi perbedaan nuansa warna bermain dalam rangkaian lukisan Borobudur yang disebutnya sebagai gunung peradaban.
”Bentuk itu Borobudur, tapi perubahan nuansa warna yang tampil itu menunjukkan rasa dan suasana yang muncul selama perenungan. Borobudur menjadi penting bagi saya karena luar biasa punya latar belakang sejarah dalam peradaban,” ujarnya.
Meski melambangkan kosmologi Buddha, Borobudur juga sejalan dengan gambaran kosmologi Jawa yang identik dengan leburnya nafsu dan mampu membawa kebaikan pada alam. Susunan Borobudur yang berupa Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu adalah ejawantahnya. Kedekatan Srihadi dengan kosmologi Jawa pun mengikatnya pada candi megah masa wangsa Syailendra ini. ”(Borobudur) tidak bisa lepas dari alam pikiran saya sehingga selalu memengaruhi perenungan saya di atas kanvas,” ujarnya.
Teman hidup
Aneka karyanya ini pun beranjak sublim juga karena sentuhan Farida yang berjalan bersama selama 57 tahun ini. Bukan keterlibatannya di atas kanvas, melainkan kesamaan visi dan nilai yang diyakini memberi penguatan dan pemaknaan dalam banyak karya Srihadi.
Farida bukan orang yang awam di bidang seni. Perempuan yang merupakan dosen kehormatan di Institut Seni Jakarta ini mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia juga melengkapinya dengan mempelajari filsafat di Universitas Indonesia.
Lebih dari setengah abad bersama Srihadi, perjalanan spiritual juga dirasakannya sehingga mampu memahami gagasan yang ingin dicapai Srihadi. Begitu pula makna nasionalisme yang dimengertinya tidak sebatas jargon, melainkan laku hidup dalam keseharian yang berguna bagi sekitar dan bangsa ini secara luas.
”Kita ditantang luar biasa untuk tetap bertahan, tetap bersatu menjadi bangsa yang kuat. Nenek moyang kita sudah mencontohkan. Saat Majapahit, misalnya, menunjukkan semangat yang pantang menyerah. Ini diperlukan bagaimana menyetir negara ini penuh semangat dan maju di tengah dinamika yang ada,” ungkap Farida.
Menyitir falsafah Jawa yang juga dipegang suaminya, perempuan yang malang melintang pengalamannya sebagai kurator pameran ini juga memandang karya seni tak akan berbunyi tanpa roso atau empati. ”Untuk mendapat roso, empati itu manusia wajib menyediakan waktunya untuk merenungkan alam semesta. Kaitan manusia dengan pencipta. Inner being, inner self,” ujarnya.
Melalui jajaran kanvas Srihadi, kejayaan bangsa bukan tak mungkin terbentang di depan mata. Sepanjang meresapi bahwa lakon sebagai manusia sejatinya memperindah dunia dengan tindakannya yang lepas dari syahwat dan harmonis dengan alam beserta penciptanya.
Srihadi Soedarsono
Lahir: Solo, 4 Desember 1931
Pendidikan:
- SMA Negeri 1 Margoyudan
- Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa, Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Penghargaan antara lain:
- Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II (1958)
- Piagam dan Medali ”Satyalancana Kebudayaan RI” (2004)
- Commemorative Medal ”Man of The Year” (2005) dari The American Biographical Institute
Siti Farida Srihadi
Lahir: Baturaja, Sumatera Selatan, 9 Juli 1942
Pendidikan:
Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB
Gerrit Rietveld Kunstacademie, Amsterdam
Departemen Seni, Universitas Ohio
Master of Philosophy, Universitas Indonesia
Karya/Publikasi antara lain:
Srihadi: Puisi Tanpa Kata (2003)