Mayang Manguri Rahayu membuat sendiri pembersih rumah, pengharum badan, masker rambut, sampai minuman probiotik dari bahan-bahan organik. Praktisi hidup sehat tersebut juga menggalakkan gerakan minim sampah lewat medsos.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Mayang Manguri Rahayu (34) mengoptimalkan medsosnya untuk mengedukasi warganet dengan unggahan yang kerap bikin terenyak. Tak hanya pangan organik, pegiat hidup sehat yang kerap disapa Mae itu membuat sendiri aneka produk pembersih dan perawatan mulai deodoran, masker kecantikan, hingga micin.
Pekarangan rumah Mae di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, tampak rimbun dengan bermacam tanaman seperti pepaya, kangkung, cabai, pare, dan nanas. “Itu peralatan berkebunku. Sederhana saja,” ujarnya sambil menunjuk penggaru, ember, sekop kecil, dan cangkul, Rabu (2/6/2021).
Di halaman itu pun tampak biopori dan kantong kompos. Hampir semua yang berasal dari kebun tersebut berakhir pula di rumah Mae. Ia meminimalkan buangan agar alam tak semakin berat menanggung sampah yang kian menggunung. Foto dan uraian yang terpampang di medsos Mae juga mengajak netizen untuk menyimak asyiknya menakhlikkan kemandirian pangan dan perlengkapan rumah tangga organik.
Ia umpamanya, menjelaskan eco enzyme dengan komposisi yang amat fasih. Pembersih serbaguna alami itu bisa untuk mengelap kaca, jamur pada mobil, hingga lantai. “Bikin dulu takaran air dan gulanya. Waktu makan buah, ditimbang saja. Nanti, lihat perbandingannya. Tinggal dicatat,” ujarnya.
Mae menggunakan gentong berkapastitas 10 liter. Ia masukkan kulit buah, irisan daun, atau potongan sayur untuk difermentasi tiga bulan. “Kayak buang sampah saja. Kalau prosesnya tepat, perbandingan sesuai, dan pakai tempat yang bersih, enggak muncul bau. Paling, mirip peragian,” katanya.
Di medsos Mae juga tercantum unggahannya tentang minyak keletik, sajian bebas gluten, hingga sabun pencuci piring buatan sendiri. “Aku pakai lerak, bubuk arang, dan perasan lemon untuk membuat sabun itu,” kata Mae yang juga mengepos resep, manfaat makanan sehat, dan dampak jelantah.
Sementara, deodoran natural dibikin dari maizena, lempung bentonit, baking soda, tawas, dan minyak kelapa. Sebelum merawat sendiri tubuhnya, Mae juga memakai produk reguler konvensional. Tak dinyana, ia malah beruntusan gara-gara wajahnya tergolong sensitif. “Produknya enggak cocok. Aku bikin saja pengharum badan, masker rambut, sampai minuman probiotik,” katanya.
Pohon pepayanya tumbang diterjang angin ribut, Mae tak hilang akal. Ia pakai pepaya mengkal untuk lodeh, tumis, dan manisan. Pengeluaran bisa ditekan, hidup Mae pun lebih sehat. Ia acap kali berbagi pengalamannya melalui tayangan langsung medsos, telekonferensi, dan aplikasi percakapan. Mae membahas dapur minim sampah, nutrisi pangan Nusantara yang melimpah, hingga faedah kolang kaling.
Sudah lima tahun ini Mae memanfaatkan medsos untuk menggalakkan gerakan minim sampah. Ia menggunakan Instagram, Facebook, dan Wordpress. Instagram Mae paling aktif dengan akun thepunkvironment, gabungan punk dan environment (lingkungan).
Jangan salah, ia bukan mengacu kepada punk dengan rambut warna-warni menduri landak, jaket kulit, atau genre musik semata. Mae hendak mengingatkan mengenai punk ditinjau dari akarnya. “Prinsip sebenarnya, memanusiakan manusia dan memuliakan alam. Salah satunya, freeganism. Semangat itu memaksimalkan namun meminimalkan buangannya,” katanya.
Tidak Muluk
Lingkungan menjadi minat Mae dengan kesadaran yang semakin tumbuh saat kuliah. Ia menekuni teknik lingkungan hingga menempuh S-3 saat ini. “Awalnya, aku kayak mikir, ya sudah yang penting sekolah terus kerja. Ternyata, lingkungan semakin rusak,” katanya.
Longsor dahsyat di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada tahun 2005 yang menelan banyak korban kian menohok benak Mae. “Teknik lingkungan itu aplikatif banget tapi tidak harus muluk-muluk. Bawang kalau sudah keluar akar dan daun, tanam saja. Jangan dibuang,” ucapnya.
Hasrat membudidayakan sayur dan buah tanpa bahan kimia juga tersulut saat Mae termangu menatap pangan organik yang mahal. “Mesti, ya, makanan itu hanya untuk kalangan tertentu. Saya tanam saja sendiri dan bikin komunitas yang masih aktif sampai sekarang,” katanya.
Mae juga mengajar komunitas-komunitas lain dan menjadi fasilitator di beberapa kantor yang mengimplementasikan pertanian kota (urban farming). Momen paling menggedor kesadaran soal lingkungan ia alami ketika punya rumah dan mengandung pada tahun 2017.
“Aku baca soal pencemar-pencemar plasenta. Waduh, gawat. Pantas banyak penyakit yang dibawa ibu hamil. Aku kian disiplin menerapkan hidup sehat,” ujarnya. Ia misalnya, menggunakan rantang untuk membawa makanan panas daripada membiarkan pedagang membungkusnya dengan plastik.
Mae pun mengamati masyarakat desa yang jauh dari modernitas, termasuk di rumah neneknya dengan pepohonan rindangnya dan sejuk. “Bisa ambil buah dan sayur di kebun. Aku ingin menghidupkan kenangan itu. Di rumah, aku juga bebas bereksperimen,” katanya.
Mae konsisten menggeluti animonya dengan profesi pertama sebagai pegawai perusahaan infrastruktur air pada tahun 2008. Setelah lima kali berganti pekerjaan, kini, dosen Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang, Banten tersebut menaruh perhatian besar terhadap logam berat dan sampah.
“Aku makin semangat bikin rumah sendiri jadi ramah lingkungan. Enggak cuma tanam pohon tapi bisa daur ulang air dengan filter,” katanya. Ia juga membudidayakan lele dalam ember dengan pakan cukup nasi kering, cacahan kulit pepaya, dan batang talas. Ikan itu dikonsumsi dan dijual.
Kekhawatiran teman
Sisihan bahan masakan yang tak terpakai, kotoran, hingga bangkai, bisa menjadi hara untuk makhluk lain. Mae mengistilahkan simbiosis itu dengan daur hidup dan menciptakan lingkaran mutualisme yang tak putus. Saking seringnya berkreasi, beberapa teman sampai mengungkapkan kekhawatiran mengenai keuangan Mae namun ia tak ambil pusing. “Kata mereka, lo kurang duit, ya. Teman-teman melihatnya enggak biasa saja,” katanya seraya tersenyum.
Berkebalikan dengan Mae, suaminya tak hobi berkebun namun ia mendukung selama berimbas positif. Hanya, Mae masih kerap mengingatkan pasangannya. “Biasa, soal komunikasi saja. Kalau buang sampah ke wadah kompos, ya. Malah akhirnya senang juga,” ujarnya.
Interes terhadap natur membawa mereka pula berbulan madu ke tujuan wisata dengan alamnya yang memukau. Pasangan itu berkeliling Sulawesi Selatan. “Ke Pulau Selayar, Jeneponto, dan Pantai Tanjung Bira. Warga setempat masih dekat dengan lingkungannya,” kata Mae.
Anak Mae pun sangat senang diajak berkebun. Balita itu mengenakan sarung tangan, ikut memetik buah, dan memanen sayuran. “Makan buah sendiri untuk menanam kesadaran kalau alam memenuhi kebutuhannya. Biasanya, anakku antusias kecuali kalau ketemu serangga langsung kabur,” ujarnya sambil tertawa.
Biodata :
Nama : Mayang Manguri Rahayu
TTL : Bandung, Jawa Barat, 31 Juli 1987
Pendidikan Terakhir : S-2 Teknik Lingkungan ITB 2010-2012