Jalan Panjang Durga
Aman Durga Sipatiti yang berarti Bapak Durga Si Pembuat Tato Mentawai. Durga menyelami pedalaman Mentawai dan Kalimantan untuk mempelajari tato dan kini hinggap di Jerman untuk menato motif tradisi.
Kecintaannya berpergian dan hobi pada motif ornamen yang dilandasi ilmu di bidang desain dan seni rupa mengantar Durga (48) menjadi seorang seniman tato, khususnya tato tradisi. Bertahun-tahun, Durga menyelami pedalaman Siberut, Kepulauan Mentawai, dan Kalimantan untuk mempelajari seluk-beluk tato Mentawai dan Kalimantan sekaligus menstimulasi generasi mudanya agar kembali mencintai identitas kesukuan mereka itu.
Aman Durga Sipatiti, begitu nama yang disandang oleh Durga. Aman, dalam bahasa Mentawai artinya bapak. Sipatiti artinya si pembuat tato Mentawai. Jadi, Aman Durga Sipatiti artinya Bapak Durga Si Pembuat Tato Mentawai. Tahun 2019, saat Manai, buah hatinya dengan sang istri, Nadja Ritter, lahir, namanya berubah menjadi Aman Manai Durga Sipatiti.
”Sesuai, kalau di Mentawai itu gitu kalau sudah punya anak. Lalu nama anaknya dipakai. Kalau artist name-ku Durga aja kok,” tutur Durga dari Jerman melalui layanan percakapan, Jumat (9/4/2021). Setelah Jakarta, dan Yogyakarta, studio tatonya kini berlokasi di Berlin, Jerman.
Pada masa pandemi seperti ini, sebagai seorang seniman tato, Durga terdampak cukup kuat karena kliennya yang mayoritas datang dari luar kota dan luar Jerman banyak yang tak bisa atau takut bepergian. Kliennya pun menjadi sangat berkurang. Apalagi, jenis tato yang digelutinya pun sangat spesifik, tato tradisi yang dibuat dengan cara tradisional, yaitu teknik hand tapping.
”Dibanding tatoo artist yang lain, income-ku lebih sedikit karena market-ku sangat mengerucut. Aku enggak membuat tattoo style aliran lain. Aku fokus di bidangku aja,” ujarnya.
Itulah Durga. Kesadaran dan pemikirannya terkait dengan tato tradisi yang digelutinya jauh lebih penting ketimbang sekadar mengumpulkan pundi-pundi uang. Kesadaran dan pemikiran itu muncul setelah Durga mempelajari tato di bawah bimbingan Sua Sulu’ape Freewind di Studio Black Wave Tatto, Los Angeles, Amerika Serikat. Freewind adalah master rajah yang dihormati karena keteguhannya memelihara tradisi tatau, yaitu teknik tato tradisional Tahiti, Samoa, dan Polinesia.
Berangkat dari situ, sejak 2009, dengan proyek Mentawai Tatoo Revival-nya, Durga keluar masuk Mentawai demi mempelajari tato Mentawai. Mulai dari proses pembuatan tato, rumus, jurus, hingga semua rahasia yang ada di tato Mentawai. Di Mentawai, tato disebut ti’ti.
”Itu yang enggak pernah ada di buku apa pun. Di buku tato sama sekali enggak ada, di buku antropologi juga enggak ada. Jadi, aku belajar di medannya langsung, dari para tetua adat, sikerei itu, lalu belajar dari orang-orang tua di hulu di Siberut, di berbagai wilayah Siberut,” ujar Durga.
Hingga 2018, setiap tahun Durga selalu berkunjung ke Siberut. Baru dua tahun ini Durga absen. Tahun 2019, karena kelahiran Manai, tahun 2020 karena pandemi Covid-19. Hal yang sama, belajar langsung di medannya, dia lakukan saat mempelajari tato Dayak di Kalimantan yang disebut pantang/tedak/tutang/betik.
”Untuk belajar, siapa pun bisa. Tidak hanya masalah kemauan sebetulnya, tapi juga punya kemampuan atau tidak. Namun, yang juga terpenting adalah apakah masyarakat adat di hulu sana, atau orang-orang di hulu pedalaman di pulau Siberut di Kepulauan Mentawai, atau di Kalimantan Barat atau Kalimantan Timur, itu bisa menerima dan mengakui Anda sebagai seorang penato dan mau menyerahkan kulit tubuhnya untuk ditato kembali dengan motif-motif tradisional suku-suku mereka sendiri, mengikuti pakem-pakem atau ciri khas tato suku mereka sama seperti kakek nenek moyangnya,” ujar Durga.
Bagi masyarakat suku Mentawai, ti’ti adalah identitas. Setiap klan dan wilayah memiliki ciri khas, patterns dan body outfits-nya masing-masing. Begitu pun suku-suku di Kalimantan. ”Strata sosial seseorang dan pengakuan sukunya akan pengalaman hidup dan keahlian tertentu dalam kehidupan tradisional membedakan seberapa banyak atau seberapa detail tato yang bisa dimiliki. Tentu saja beda antara motif untuk laki-laki dan perempuan. Beda simbol, motif, desain, penempatan di bagian tubuh, pengukuran, formula tatonya. Filosofi dan maknanya juga beragam,” kata Durga.
Ti\'ti Mentawai berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional mereka, yaitu Arat Sabulungan. Hidup bersama alam, percaya pada alam dan roh-roh leluhur. Sementara pantang/tedak/tutang/betik atau tato-tato suku Dayak berhubungan erat dengan Kaharingan, kepercayaan dan kehidupan tradisional mereka.
”Semua simbol, pola gambar, dan ornamen dekoratif yang digoreskan di kulit pada tato Mentawai dan Dayak menyimbolkan elemen-eleman alam, hutan, rimba, binatang, kehidupan keseharian, ataupun alat dan perlengkapan keseharian mereka. Juga sebagai kamuflase ketika mereka di hutan menyatu dengan alam. Tato mereka memberikan kekuatan, proteksi diri terhadap energi negatif dari luar dan perlindungan kesehatan jauh dari roh-roh jahat,” katanya.
Memancing generasi muda
Tentang proyek Mentawai Tattoo Revival yang dikerjakannya itu, Durga mengatakan, proyek tersebut memang sengaja dibuat untuk memancing ketertarikan generasi muda Mentawai pada ti’ti. Caranya dengan membantu menato orang-orang yang ada di hulu, juga sikerei dan istri-istrinya secara cuma-cuma. Dari situ, anak-anak muda bisa ikut menyaksikan proses penatoan yang disebut patiti.
”Tugasku ngompor-ngomporin generasi muda, lalu juga aku nato di hulu. Jadi, aku memberi apa yang orang-orang di hulu pedalaman Mentawai itu butuhkan. Orang-orang tua, ya, dalam hal ini karena orang-orang tua masih menganut kepercayaan arat sabulungan. Walaupun semua orang sudah punya KTP, di KTP ada yang Islam, ada yang Kristen, Katolik, tapi itu kan KTP. Mereka tetap menganut kepercayaan arat sabulungan sebagai kepercayaan asli,” tutur Durga.
Sesuai dengan kepercayaan mereka, ti’ti sangat penting untuk kehidupan mereka. ”Karena itu, sebelum mati, mereka berharap ti’ti di tubuh mereka lengkap agar mereka bisa dikenali oleh roh-roh leluhur mereka untuk bisa berkumpul kembali dengan roh-roh leluhur di alam setelah kematian,” kata Durga yang menggunakan dana pribadinya untuk proyek tersebut.
Di Kalimantan, situasinya tak jauh berbeda. Banyak orang Dayak, baik tua maupun muda, yang sudah menganut Kristen, Katolik, atau Islam. Selain karena perkembangan peradaban, modernisasi, dan tekanan sosial di kehidupan modern membuat mereka tidak tertarik lagi untuk ditato.
”Apalagi ditato dengan motif-motif seperi kakek neneknya dan kakek nenek buyutnya. Kalaupun ada yang ingin ditato, mereka ingin tato yang modern. Lalu, memang jauh lebih banyak orang non-Dayak yang bertato Dayak daripada orang muda Dayak. Banyak juga orang non-Indonesia yang punya tato borneo daripada orang-orang Indonesia karena tato borneo memang sangat terkenal, apalagi dari suku Iban,” kata Durga.
Durga resah. Media asli tato adalah kulit manusia. Apabila motif-motif tua itu, motif tato tradisional asli ataupun desain-desain custom, tidak diaplikasikan ke kulit manusia, publik hanya akan melihatnya di dokumen, seperti foto, video, film buku, atau bahkan koleksi alat-alat tato tua di museum atau milik kolektor pribadi.
”Jika tidak ada generasi lokal dari suku Dayak atau suku Mentawai yang ingin ditato karena mereka sama sekali tidak tertarik, lalu bagaimana bisa mendokumentasikan motif-motif tua tradisional itu di kulit manusia? Bila mereka tidak tertarik atau tidak ingin, lalu pilihannya apa. Sementara salah satu esensi dari ditato adalah juga pengorbanan, melalui proses sakit untuk ditato, untuk menjadi cantik, untuk menjadi indah, untuk merasa diri lengkap,” lontar Durga.
Durga mencontohkan banyaknya buku referensi tentang antropologi, etnologi, dan buku-buku tato dibuat oleh penulis asing. Bagaimana mereka mengorbankan waktu dan tenaganya untuk budaya dan tradisi orang lain. Alasan serupa terjadi ketika ada banyak orang non-Dayak atau non-Mentawai, apakah itu orang Indonesia ataupun orang asing yang memiliki ketertarikan besar dan respek terhadap tato suku-suku Dayak dan Mentawai. Mereka mau mengorbankan kulit mereka untuk dihiasi dengan desain-desain motif orisinal yang tradisional ataupun desain-desain baru yang terinspirasi oleh budaya dan tato Dayak ataupun tato Mentawai.
”Kita patut menghargai orang-orang itu, mau mengorbankan kulitnya melalui proses sakit untuk bisa terjadi proses pendokumentasian motif-motif tato tradisional ataupun desain-desain baru agar kulit manusia kembali terus tetap menjadi medium asli pendokumentasian motif-motif tersebut. Itu adalah pengorbanan yang sangat tinggi,” imbuh Durga.
Baginya, slogan-slogan, seperti I’m proud to be a Dayak, I’m proud to be a Mentawai, atau I’m proud to be Indonesian, harus dibuktikan dengan berbuat lebih riil. ”Jangan Cuma copy paste dari I’m proud to be American. Itu patriotisme dan nasionalisme omong kosong menurutku,” tandas Durga.
Belajar dan berkarya
Tak ada hasil yang mengkhianati usaha. Tahun 2017-2018 muncul beberapa anak muda Mentawai yang mulai belajar menato dan membuat ti’ti hingga sekarang.
”Jadi, aku pikir proyek Mentawai Tattoo Revival cukup berhasil karena berhasil menggugah semangat dan kesadaran orang muda asli Mentawai untuk mencintai ti’ti, lalu belajar kembali ti’ti dan membuat kembali ti’ti. Jadi, aku sudah pasrahkan juru kunci tato Mentawai itu kepada mereka, orang-orang muda Mentawai ini yang kini sudah secara aktif dan produktif membuat ti’ti dan melakukan patiti secara total sebagai profesi, sebagai tattoo artist dan sebagai sipatiti,” kata Durga.
Di Kalimantan Barat muncul hal serupa. Ada banyak orang muda yang menato hand tapping, juga di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Seiring berjalannya waktu, ada orang-orang muda yang mau belajar dan mempraktikkan kembali teknik tato tradisional.
Akan tetapi, tentu perjalanan masih sangat panjang. Durga mencoba untuk terus belajar karena terlalu banyak misteri dengan dokumen-dokumen yang sangat sedikit tentang tato tradisional Nusantara.
”Aku masih terus fokus juga di tato Mentawai, tetapi karena situasi hidupku bahwa aku ada di luar Indonesia. Jadi, otomatis yang bertanggung jawab, yang menjadi juru kunci penyebaran dan perkembangan tato Mentawai di Mentawai atau di Indonesia dan memperkenalkan pada dunia luar adalah mereka yang masih muda-muda,” kata Durga yang hingga kini tetap WNI, memegang paspor Indonesia.
”Secara pribadi aku hanya berharap aku masih bisa hidup cukup lama untuk bisa terus berkarya, belajar pasti. Itu aja,” harapnya.