Misteri Pikiran Agnes Sianipar
Agnes aktif di dunia neurosains di Indonesia yang menghadapi berbagai kekurangan dan ketertinggalan infrastruktur. Bersama para mahasiswanya, Agnes mengembangkan riset penggunaan kata tertentu dalam kegiatan keagamaan.
Gara-garanya sederhana. Suatu Ketika, Agnes Sianipar (42) diajak menyaksikan pertunjukan Srimulat di Taman Ria Senayan, Jakarta. Ia waktu itu berusia sekitar delapan atau sembilan tahun. Rasa ketakutan membayanginya ketika salah satu pemain Srimulat, Gepeng, berperan menjadi drakula.
Sesampai di rumah, bayang-bayang rasa takut itu terus membekas. Kedua orang tuanya menasihati, ”Jangan takut. Itu pikiranmu saja yang membikin rasa takut.”
Bukan hilang rasa takutnya. Bertambah lagi pertanyaan yang mengusik benak Agnes, yaitu soal pikiran. ”Apakah sebenarnya pikiran itu? Ada di mana? Apakah pikiran ada di otak?” ujar Agnes di Jakarta, Selasa (6/4/2021), mengingat lagi pertanyaan yang mengganggunya pada masa kecil itu.
Agnes pun berimajinasi. Kalau pikiran bisa diubah, mungkin ia bisa bermain-main dengan pikiran itu.
Sejak kecil Agnes hobi membaca. Orangtuanya sempat membelikan buku seri Time Life. Satu di antaranya berjudul Misteri Pikiran. Buku itu bercerita tentang dua anak perempuan kembar. Mereka dari satu sel telur, tetapi memiliki pikiran, selera, dan hobi yang saling berbeda.
Misteri Pikiran akhirnya mengantar Agnes Sianipar mengakrabi neurosains. Pada 2017, ia menuntaskan pendidikan doktoral neurosains di Belanda, kemudian pulang untuk melanjutkan mengajar psikologi di Universitas Indonesia (UI). Ia juga mendirikan Yayasan Labda Radmila Agrapana untuk program literasi pengembangan metode pengajaran bagi guru-guru sekolah dasar (SD) di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Saat ini Agnes juga dilibatkan sebagai peneliti pada Laboratorium Psikologi Politik tentang Polarisasi di Media Sosial UI.
”Neurosains untuk memahami kinerja otak. Ketika belajar tentang kinerja otak, hal ini untuk memahami kinerja pikiran,” ujar Agnes.
Bagi Agnes, memahami kinerja pikiran bakal banyak gunanya. Di Amerika Serikat, misalnya, saat ini infrastruktur riset neurosains dikembangkan untuk memahami kinerja pikiran seorang teroris. Bahkan, infrastruktur itu juga untuk meneliti struktur otak penganut Partai Republik atau Partai Demokrat.
Tidak mudah untuk mengembangkan infrastruktur penelitian neurosains atau kinerja otak dan pikiran. Beban biayanya sangat mahal sehingga infrastruktur itu belum dikembangkan di Indonesia.
Bahasa
Agnes berbekal studinya menyumbang pemahaman tabiat otak dan pikiran. Ia menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Psikologi UI selama tujuh semester (2001-2004). Sebelumnya, ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan, Bandung, selama empat semester.
Selepas studi dari UI, Agnes melamar dan diterima sebagai asisten dosen di Universitas Paramadina, Jakarta. Di situ hanya satu semester karena berikutnya Agnes diterima untuk mengajar di almamaternya. Pada 2007-2009, Agnes mendapat beasiswa untuk pendidikan S-2 di Departemen Psikologi Universitas Louisana di Lafayette, Amerika Serikat. Ternyata di sinilah Agnes meraih jawaban tentang apa itu pikiran.
”Pada waktu open house, ada seorang profesor perempuan menyatakan pikiran dibentuk oleh bahasa,” kata Agnes, yang selanjutnya melamar sebagai asisten penelitian profesor tersebut.
Pada awalnya, di UI Agnes mengembangkan studi psikologi yang lebih populer, yaitu psikologi sosial dan psikologi industri. Akan tetapi, setelah mengikuti open house itu, dorongan untuk mempelajari pengetahuan tentang kinerja otak atau neurosains menguat kembali.
Setelah menuntaskan studi neurosains kognitif di Amerika, sekembalinya di Tanah Air, Agnes pernah mempresentasikan hasil riset neurosains koginitifnya. Akan tetapi, tidak ada yang memedulikan.
Ketika itu, Agnes mempresentasikan tentang bahasa yang muncul dari pikiran. Keduanya memiliki hubungan yang tidak sederhana karena bahasa juga memengaruhi pikiran. Bahasa memiliki prekursor, yaitu otak.
”Tidak ada yang tertarik mungkin karena hasil riset yang saya presentasikan itu bukan menjadi ilmu terapan,” tutur Agnes.
Selama dua tahun berikutnya Agnes mengajar di UI, mata kuliahnya terpusat pada psikologi sosial. Pada 2011-2017, Agnes menempuh studi doktoralnya di Donders Institute for Brain, Cognition, and Behaviour, Radboud University Nijmegen, Belanda. Selama enam tahun studinya itu, Agnes hampir tidak pernah pulang.
Suatu kali ketika berlibur, ia pernah pulang selama dua pekan saja. Selebihnya, ketika berlibur ia hanya berada di Eropa atau tetap di Nijmegen untuk berkutat dengan studi-studinya.
”Selama di Nijmegen saya memiliki banyak pekerjaan di laboratorium,” ujar Agens.
Donders Institute merupakan kampus terbesar untuk studi neurosains di Eropa. Kampus itu berisi mahasiswi-mahasiswa dari semua penjuru dunia. Tentu Agnes tidak mau kalah dengan mereka.
Salah satu pekerjaan di laboratorium yang ditekuninya adalah studi neuroimaging. Ini seperti perekaman atau pemindaian aktivitas otak. Neuroimaging melihat di mana dan kapan terjadi proses respons otak terhadap sesuatu, termasuk ketika otak dihadapkan pada pilihan kata-kata tertentu.
Suatu ketika, Agnes menjadi research buddy, membantu penelitian rekan mahasiswa Donders lainnya untuk proses neuroimaging ini. Perguruan tinggi itu memiliki tiga piranti neuroimaging di Belanda dan satunya lagi di Jerman. Agnes kebetulan harus membantu kerja rekannya dengan menggunakan laboratorium neuroimaging yang ada di Jerman.
”Partisipan yang diajak untuk penelitian ini kebetulan seorang psikopat. Hasil perekaman aktivitas otaknya menunjukkan ada asosiasi dengan kondisi mental tersebut,” kata Agnes, yang mengambil riset doktoralnya mengenai bilingual dan emosional.
Memahami kinerja pikiran
Agnes mempelajari neurosains kognitif untuk makin memahami kinerja pikiran dengan melihat keadaan otak. Ternyata otak berasosiasi dengan suatu peristiwa.
”Saya tidak lagi merasa takut. Saya menjadi lebih berani dan lebih waspada dengan pikiran yang bisa memengaruhi hal-hal tertentu,” tutur Agnes.
Agnes berpegang pada prinsip sekarang (now) dan di sini (here). Hal itu membangkitkan kesadaran baginya untuk menyikapi apa pun yang sedang terjadi.
Agnes sekarang berkecimpung di dunia neurosains di Indonesia yang menghadapi berbagai kekurangan dan ketertinggalan infrastruktur. Bersama para mahasiswanya Agnes mengembangkan riset penggunaan kata tertentu dalam suatu kegiatan keagamaan. Di situ ada penggunaan kata untuk moralitas emosional negatif dan positif.
”Kata tertentu, seperti ’kafir’, sudah menjadi hal biasa bagi kaum fundamentalis. Akan tetapi, kata itu akan begitu menancap di pikiran orang yang bukan fundamentalis,” papar Agnes.
Perbincangan di media sosial juga menjadi sorotan menarik. Agnes mengingatkan, terhadap konten media sosial itu respons otak pertama kali berupa respons emosional, baru kemudian respons analitik.
Respons otak bakal memengaruhi bahasa. Ketika yang diutamakan respons emosional terhadap konten atau isi media sosial tidak sesuai dengan pikirannya, maka kerap terjadi polemik.
Neurosains diharapkan bisa mengurangi beban energi yang terkuras oleh polemik di media sosial. Agnes berkeyakinan, neurosains memegang kunci di dalam sebuah peradaban.
Banyak sekali tuntutan praktis terhadap metode-metode neurosains yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan riset dasar. Itu karena infrastruktur berupa sarana dan prasarana riset neurosains yang belum ada di Indonesia.
”Saya menjadi lebih tertarik dengan persoalan kegiatan well being, persoalan kegiatan-kegiatan yang membahagiakan orang, termasuk memahami keindonesiaan kembali,” ujar Agnes.
Setidaknya, neurosains membuka pemahaman Agnes tentang misteri pikiran.
BIODATA
Agnes Nauli Shirley Wulandari Sianipar
Lahir: Jakarta, 11 November 1978
Pendidikan:
- 2011-2017 : S-3 di Donders Institute for Brain, Cognition, and Behaviour, Radboud University Nijmegen, Belanda.
- 2007-2009 : S-2 di Department of Psychology, University of Louisianna at Lafayette, Amerika Serikat.
- 2001-2004 : S-1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI).
Pekerjaan:
- Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI)
- Salah satu pendiri Yayasan Labda Radmila Agrapana
- Peneliti pada Laboratorium Psikologi Politik tentang Polarisasi di Media Sosial