Mikke Susanto tentang Perusahaan ”Rasa”
Mikke membuat riset terhadap lukisan dan karya seni lain koleksi Sukarno yang kini menjadi koleksi kepresidenan
Acap kali tanpa disadari, seseorang yang menjatuhkan pilihan menjadi seniman atau pelukis itu sama halnya mendirikan sebuah perusahaan ”rasa”. Hidup-matinya bergantung pada kemampuan mengelola diri.
Selayaknya seorang guru, Mikke Susanto (47), pendidik Program Studi Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengajarkan soal perusahaan ”rasa” ini. Ia menuangkan pemikiran itu di buku terbarunya pada tahun 2021 yang diberi judul, Mengapa Sih Lukisan Mahal – Wacana Penetapan Harga Karya Seni.
Perusahaan ”rasa” sama halnya dengan perusahaan-perusahaan lain. Akan tetapi, yang dikelola ”rasa” tentu berkaitan dengan sesuatu yang tidak mudah dibakukan. ”Rasa” bertalian dengan dimensi pikiran dan perasaan yang berbeda satu sama lain.
Tidak sedikit pelukis atau seniman lain pada umumnya merasa gagal dalam mengelola perusahaan ”rasa”. Inilah yang menimbulkan stigma di tengah masyarakat. Para orangtua sering khawatir ketika pilihan studi anak-anaknya di jalur seni. Mereka sering berujar, ”Kalau memilih jadi seniman, mau makan apa nanti?”
Di kalangan pelaku seni, yang disebut Mikke sebagai peseni, tak jarang pula menjadi hal tabu untuk membicarakan sejauh mana seni bisa menghasilkan uang. Di sisi lain, profesi seniman disadari penting dan dibutuhkan publik. Ketika melalui seni tidak bisa menghasilkan uang, sebenarnya di situ muncul ancaman bagi keberlangsungan hidup seniman.
Mikke mengambil sisi tanggung jawab sebagai pendidik seni rupa yang tidak hanya terbatas di ruang ajar. Ia berusaha mengikis stigma seni yang selama ini sering dianggap sebagai pilihan jalan hidup tanpa masa depan. Meski demikian, Mikke mensyaratkan kerja keras bagi siapa saja yang menjatuhkan pilihan menjadi seniman, terutama pelukis.
”Menjalankan perusahaan ’rasa’ tidak ubahnya sebagai usaha menghargai diri, usaha menghargai setiap aktivitas hidupnya. Ini kemudian dikemas dan dihadirkan ke ruang publik,” ujar Mikke, pria kelahiran Jember, Jawa Timur, Senin (22/3/2021) di Yogyakarta.
Perusahaan ”rasa” sesederhana itu. Pekerjaannya tampak sekadar mengemas aktivitas hidup seniman atau pelukis. Akan tetapi, menjadi tidak sederhana lagi ketika publik ternyata kemudian memilih kualitas tertentu dari setiap aktivitas hidup seniman.
Di balik itu, ada tuntutan publik terhadap aktivitas hidup seniman atau pelukis yang mencerminkan gagasan-gagasan penting. Di situ ada persoalan tuntutan kebaruan dalam hal kemanusiaan. Pelukis dituntut menciptakan hal-hal baru yang berfaedah bagi kemanusiaan tanpa menanggalkan kemasan yang menarik.
”Kemasan aktivitas hidup pelukis menjadi portofolio. Jika portofolio itu tidak bagus, pelukis itu belum berhasil,” ujar Mikke, pendiri Dicti Art Laboratory Yogyakarta, yang sudah menulis sekitar 50 buku tentang seni rupa.
Mikke selain mengajar, dipenuhi dengan kesibukan lain. Sejak 2009 Mikke menjadi konsultan kuratorial koleksi seni Istana Kepresidenan. Sejak 2017 ia menjadi anggota dewan akuisisi koleksi National Gallery Singapore.
Aktivitas lain sebagai kurator pameran pun terus ditekuni. Sampai sekarang sudah mencapai sekitar 140 pameran pernah dikuratorinya.
Mikke memiliki hobi mengoleksi jenis tanaman lidah mertua atau sansivera. Ada sekitar 10 jenis sansivera dimilikinya.
”Berbagai jenis tanaman lidah mertua itu memiliki gradasi warna hijau yang menarik. Seolah dari hanya satu warna hijau bisa memberi berjuta warna,” ujar Mikke, yang juga memiliki hobi mengoleksi arsip atau buku lama, terutama arsip yang ada kaitannya dengan seni rupa.
Klasifikasi seniman
Bagi Mikke, perusahaan ”rasa” seperti halnya perusahaan-perusahaan lainnya yang menuntut sebuah keterampilan berjejaring. Ini menjadi sebuah keterampilan sosial untuk menyajikan kemasan aktivitas hidup pelukis untuk menarik perhatian publik.
Di situlah harus diselipi keterampilan finansial dan pengetahuan manajemen. Ini yang belum banyak disadari pelukis. ”Ada empat klasifikasi pelukis. Semuanya memiliki idealisme masing-masing,” ujar Mikke.
Klasifikasi pelukis maverick atau pemberontak acap kali banyak kita temui. Hidupnya tidak memedulikan berbagai hal. Klasifikasi maverick ini hampir mirip dengan klasifikasi pelukis individual, yang hidup terus berkarya tanpa keinginan beradaptasi dengan pasar.
Kemudian klasifikasi pelukis rakyat, menjadi seniman yang hidup dalam ruang lingkup komunal. Hidup mereka bergantung satu sama lain. Klasifikasi yang keempat atau terakhir, pelukis yang mampu beradaptasi dengan pasar.
Dengan setiap klasifikasi tersebut, pelukis atau seniman pada umumnya baik secara sadar atau tanpa sadar tetap menjalankan sebuah perusahaan ”rasa”. Ia menyebut contoh kalangan seniman maverick seperti seniman grafiti atau street art yang sangat independen dan menempuh jalur ekspresi ilegal, seperti menuangkan karya di tempat-tempat umum yang terlarang.
”Di balik pemberontakan seninya, mereka tetap berusaha mencari uang dengan keterampilannya, seperti membuat suvenir dan menjualnya,” ujar Mikke.
Perusahaan ”rasa” ditempuh tanpa sadar atau penuh kesadaran. Akan tetapi, persoalan tidak berhenti di sini. Pelukis dihadapkan pada kemampuan tidak sekadar menghadirkan karya bagus. Publik telah memperluas cakupan tuntutan pelukis agar mampu menciptakan karya yang bisa menginspirasi dan membuat hidup masyarakat menjadi lebih baik.
Mikke menyarankan, setiap pelukis agar tidak bosan untuk berpameran. Akan tetapi, Mikke juga mengimbau agar tidak salah persepsi terhadap ruang pamer. Ruang pamer bukan tempat untuk mencari uang seketika.
”Ruang pamer menjadi ruang pembentukan jati diri, sekaligus ruang pelukis untuk memengaruhi peradaban,” ujar Mikke.
Pameran pada akhirnya menjadi sebuah sinkronisasi ruang pamer dan ideologi seniman. Laba kapital pun terbayarkan sebagai bentuk apresiasi atau penghargaan atas capaian seniman.
Mengumpulkan arsip
Pilihan menjadi pendidik dan penulis buku seni rupa bagi Mikke dibekali hobi mengumpulkan arsip sejak duduk di bangku SMA, 1989-1992. Itu terus bertahan sampai sekarang. Mikke masih suka mengumpulkan kliping dan buku-buku bekas terkait seni rupa.
Semasa kuliah di ISI Yogyakarta, Mikke makin getol mengumpulkan tidak hanya arsip seni rupa bahkan. Ada satu buku kuno sempat dibeli Mikke dan inilah yang paling berkesan selama ini dengan pembuatan buku pada tahun 1665 berupa kamus bahasa Italia–Turki. Buku itu tergolong mahal. Mikke membelinya dengan cara mencicil.
”Ada lagi kejadian pada 2010, saya membeli buku langka tentang koleksi lukisan Presiden Soekarno yang dihimpun Lee Man Fong sebanyak lima jilid,” kata Mikke.
Penemuan buku langka tentang koleksi lukisan Presiden Soekarno terus berlanjut pada buku yang pernah dihimpun Dullah, ditambah satu jilid lagi sebagai lanjutan yang disusun Lee Man Fong. Mikke akhirnya mengoleksi 11 jilid buku lukisan koleksi Sukarno yang memuat sekitar 700 lukisan.
Dari buku lukisan koleksi Soekarno ini akhirnya menunjang penyusunan tesis Mikke untuk jenjang studi S-2 di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di situ pula Mikke menuntaskan jenjang studi S-3.
Mikke membuat riset terhadap lukisan dan karya seni lain koleksi Soekarno yang kini menjadi koleksi kepresidenan. Pernah suatu ketika di Istana Bogor, Mikke menjumpai sebuah perpustakaan berisi sekitar 1.000 buku milik Soekarno. Ia menjelajah satu per satu buku itu dan melihat tanda-tanda buku-buku itu memang pernah dibaca Soekarno.
Dari hasil risetnya, Mikke juga menyimpulkan lukisan milik Soekarno mencapai sekitar 2.000 lembar. Dari 11 jilid buku koleksi yang pernah dihimpun Lee Man Fong dan Dullah antara tahun 1958 dan 1965 baru mencapai 700 lukisan.
”Ini tantangan baru untuk melanjutkan terbitan buku tentang koleksi lukisan Soekarno lainnya,” ujar Mikke, yang mengakrabi sansiveranya dengan cara mengelap setiap permukaan daun-daunnya.
Mengelap daun sansivera, bagi Mikke, untuk menikmati sensasi gradasi warna hijau. Ternyata itu menyegarkan otaknya.
***
BIODATA
Nama: Mikke Susanto
Lahir: Jember, Jawa Timur, 22 Oktober 1973
Pekerjaan: Dosen Program Studi Tata Kelola Seni, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pendidikan:
S-1 : Sarjana Seni (SSn) Jurusan Seni Murni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
S-2 dan S-3 : Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Riwayat Pekerjaan:
2009 – sekarang : konsultan kuratorial koleksi Istana Negara RI.
2017 – sekarang : anggota dewan akuisisi koleksi National Gallery Singapore.
2020 - sekarang : anggota Dewan Kebudayaan DI Yogyakarta.
Beberapa Karya Buku:
1. Mengapa Sih Lukisan Mahal? – Wacana Penetapan Harga Karya Seni (2021)
2. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah & Gerakan Seni Rupa (Edisi Ketiga), Dicti Art Laboratory, 2018.
3. Budaya Seni di Yogyakarta, dalam Sejarah Keistimewaan Yogyakarta, Dwi Ratna N. (ed.), Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY, 2018.
4. Sukarno’s Favorite Painters, Jakarta: PT. Masterpiece, 2018.
5. Ibu Pertiwi, Sukarno, Seni dalam Sukarno, Pemuda dan Seni, Sri Margana (ed.), Yogyakarta: Kinara Vidya, 2018.
6. Penulisan Sejarah Seni Rupa: Lukisan-lukisan Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia, dalam Menemukan Historiografi Indonesiasentris, Sri Margana, Retno Sekarningrum, dan Ahmad Faisol (eds.), Yogyakarta: Ombak, 2018.