Iksan Menyalakan Tanda Bahaya
Bagi Iksan, sejarah sudah membuktikan, musik tak sekadar hiburan. Meski sekilas musik tampak seperti tempat untuk bersenang-senang.
Musik, bagi Iksan Skuter (39), tak sekadar medium untuk bersenang-senang. Selama 21 tahun perjalanannya di dunia musik, Iksan tak pernah berhenti untuk lantang mengingatkan betapa bahaya dan mengerikannya keserakahan. Melalui musiknya, Iksan terus menyuarakan betapa situasi tidak sedang baik-baik saja.
Tiga puluh tahun lalu, Mohammad Iksan yang kini menyandang nama panggung Iksan Skuter alias Seniman Kurang Terkenal itu barangkali hanya bocah yang doyan melahap lagu-lagu Iwan Fals, juga Frankie Sahilatua.
Bertahun kemudian, saat mulai tertarik pada musik dan serius menggelutinya, Iksan menjelma menjadi serupa sosok musisi dan penyanyi yang menemaninya tumbuh. Lewat lagu-lagunya, Iksan menggedor, mengkritisi banyak hal, seperti alam yang rusak, ketimpangan sosial, dan juga korupsi. Menurut dia, semua bermuara pada satu hal: keserakahan.
”Waktu kecil yang aku dengar memang referensinya ya musik-musik, terutama dari kakakku yang koleksi album Iwan Fals-nya lengkap. Frankie, kakakku juga lengkap. Tanpa aku sadari, mungkin itu jadi faktor juga, bentuk-bentuk pengongkretan ideku itu lewat musik,” tutur Iksan dalam wawancara melalui Zoom, Rabu (10/3/2021).
Ketertarikannya bermain musik muncul saat duduk di bangku SMP hingga berlanjut kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Di kampus, Iksan berjumpa dengan orang-orang baru yang makin mengkristalkan minatnya pada musik. Iksan pun sempat wara-wiri main di kafe-kafe di Malang, membawakan lagu-lagu orang.
Bosan terus-terusan membawakan lagu orang, tahun 2000 Iksan dan teman-temannya sesama ”anak hukum” mendirikan Draf Band. Di situ, Iksan mulai banyak membuat lagu. Impian mereka kala itu, seperti halnya mimpi anak-anak band daerah, hijrah ke Jakarta, menjadi musisi terkenal dan kaya raya.
Di saat bersamaan, Iksan pun terpapar kehidupan kampus. Dia belajar ilmu baru, membaca banyak buku, baik aliran ”kanan” maupun ”kiri”, juga masuk ke dunia aktivisme kampus.
”Pada suatu hari aku sadar mediumku untuk menyampaikan sesuatu harus musik. Karena aku enggak punya medium lain. Jadi akhirnya aku sangat sadar kenapa aku milih lirik seperti ini, ya karena hanya ini satu-satunya cara. Dari background-background itu, dari perjalanan yang aku lewati itu, paling logis dan paling masuk akal untuk menyampaikan banyak hal ya dengan musik,” ujarnya.
Medium lain seperti media sosial, menurutnya, tidak menyelesaikan masalah. Pun menyalahkan pemegang regulasi ataupun lainnya. ”Yang paling bijak, ya output-nya itu kita sadar kita ada di profesi apa. Nah kita melakukan hal itu. Lebih positif,” ujarnya.
Iksan menemukan gaya bahasa lirik yang dia gunakan pada lagu-lagunya dari buku-buku yang dia baca. Dua yang sangat memengaruhinya adalah Widji Thukul dan WS Rendra.
”Widji sangat merampingkan sayap-sayap sastra menjadi bahasa sehari-hari banget. Rendra pun sama. Kalaupun bersayap, sayapnya enggak terlalu lebar, enggak susah dicerna. Aku sadar aku orang Indonesia, kurasa aku tidak jauh berbeda dengan pendengar laguku. Jadi aku memilih gaya penuturan bahasa lirik yang sangat sederhana dari berbagai macam rangkuman yang pernah aku baca dan aku dengar,” kata Iksan.
Memilih merdeka
Lulus dari kampus dan menyandang gelar sarjana hukum, Iksan sempat bekerja di salah satu kantor BUMN di Malang. Akan tetapi tak lama karena Draf Band dikontrak sebuah label besar di Jakarta. Iksan pun hijrah ke Jakarta.
Di Jakarta, Draf berganti nama menjadi Putih Band. Mereka dikontrak untuk tiga album dalam 5 tahun hingga 2010. Dalam perjalanannya, banyak hal membuat Iksan merasa tak merdeka. Semua dikerucutkan pada satu hal, yaitu pasar.
”Waktu itu udah idealis sebenernya. Kan waktu di Malang, lirik-lirik tematiknya sudah bicara soal cinta, tapi secara umum, lebih ke sosial. Tapi, waktu kita terikat label akhirnya ya ada konsekuensi profesionalisme. Mau enggak mau harus mengikuti isi perjanjian, rules industri musik yang mengikuti pasar,” ujar Iksan.
Banyak lagu yang ditulis Iksan tak diterima label. Seperti ”Rindu Sahabat” dan ”Peluk Saja Aku”. Alasannya, tidak ’marketable’. Ya semua pasti ujungnya bisnis.
Tapi dari proses perjalananku sama Putih Band, akhirnya aku tau, ini (lagu) pasti nggak diterima, ini diterima. Yang nggak keterima, itulah cikal bakal Iksan Skuter,” ujar Iksan.
Metamorfosis menjadi Iksan Skuter dimulai setelah kontrak dengan label berakhir. Iksan memutuskan bersolo karier. Album pertama dan keduanya dirilis secara indie di Jakarta. Sayang, tak ada kemajuan menggembirakan.
”Pas di Jakarta waktu itu, siapa sih yang tau atau tertarik dengan genre folk atau ballad. Jadi aku memilih produk musik yang waktu itu sama sekali nggak populer. Pilihan yang berat memang. Tapi aku enggak kaget. Album 1-5, mungkin album yang penjualannya hancur lebur,” lanjut Iksan.
Iksan pun banting setir. Tahun 2014 dia pulang ke Malang, kota yang membesarkannya secara musik dan memilih berkarier di sana. ”Aku asli Blora. Lahir dan besar di Blora. Aku punya orangtua yang punya slogan gini: Kalau kamu sudah niat hijrah dari kampung halamanmu, kalau pulang jangan bawa kekalahan. Kalau bisa jangan pulang kalau belum menang. Jadi pulanglah ketika sudah menang, atau dalam kondisi sudah jadi mayat. Akhirnya, ketika punya niat pulang kampung ya aku balik ke Malang. Ke Blora enggak mungkin karena pasti enggak direstui bahasa kasarnya,” ujarnya.
Di Malang, Iksan merilis album ketiga dan seterusnya. Iksan juga membuka usaha Warung Kopi Srawung yang lantas menjadi hub, tempat ’srawung’ bagi Iksan dan musisi lain, baik dari Malang maupun luar Malang.
Dari situ, Iksan terus melebarkan sayapnya. Di bawah bendera Srawung Group, Iksan mengembangkan usaha media, event, dan sebagainya. ”Ada juga Srawung Records. Setiap rilis album pasti aku sama Srawung,” kata Iksan.
Tanggal 21 Januari 2021, Iksan merilis album ke-14-nya, Orbit. Tema-temanya masih sama, soal lingkungan, kritik sosial, juga cinta yang lebih umum. ”Intinya cuma ingin menyampaikan musisi itu meski kondisi sesulit ini ya harus produktif. Profesional seperti profesi lain,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Iksan, saat ini adalah momen tepat untuk refleksi dan memulai kembali. Pandemi, ujarnya, telah menunjukkan, sesuatu yang awalnya besar, dalam sekejap bisa jadi kecil. Yang awalnya terkenal, jadi tak terkenal.
”Yang menyelamatkan hanya produktivitas. Siapa pun yang di kondisi ini makin drop, dia makin tak tercium, makin tak terdeteksi. Aku mencoba analisis itu. Di kondisi ini harus lebih produktif karena kalau tak melakukan apa pun aku akan dianggap hilang. Meski sebenarnya bukan masalah aku dianggap atau tidak. Balik lagi ini momen untuk produktif,” ujarnya.
Risiko karya
Tahun 2013, Iksan menulis lagu ”Partai Anjing” yang menjadi salah satu lagu di album kompilasi volume 1 ”Frekuensi Perangkap Tikus”. Album itu diinisiasi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Gara-gara lagu itu, sebuah partai besar di Tanah Air sempat kebakaran jenggot. Gara-gara lagu itu pula, Iksan pernah dilarang menyanyikannya di atas panggung. Pun beberapa lagu lainnya yang dianggap terlalu keras.
”Yang kurasa, woo... kok jadi gini. Antara lucu, sedih, ironi. Terus pas aku perform di Yogyakarta, Mas, kata panitianya dengan bahasa yang penuturannya beda ya, dapat salam dari Kapolsek,” tuturnya.
Toh Iksan tak gentar. Baginya, semua itu risiko atas karya yang harus disikapi dengan baik. Tiga tahun terakhir, Iksan mencoba mengubah strategi.
”Mungkin orang Indonesia hari ini tak suka yang bersifat frontal. Apalagi generasi sekarang, lebih menyukai hal-hal yang semiotik, tersirat. Maka aku mengikuti zaman, mengubah strategi, juga supaya ada titik kompromi. Jadi aku tetap menyuarakan sesuatu, tapi sebisa mungkin tak terlalu kasar. Tujuannya tetap sama, mengingatkan, bukan mengkritik,” tandas Iksan.
Dengan bersikap lentur, Iksan merasa lebih mudah untuk terus bergerak. Cara keras hanya akan membuatnya mudah dipatahkan. ”Kalau keras pasti nanti ditangkep,” ujarnya.
Strategi itu penting karena hingga detik ini, dia melihat situasi tak kunjung membaik. Kegelisahan terbesar Iksan, selalu bermuara pada keserakahan dalam beragam bentuknya. ”Makin hari, makin ke sini, makin serakah. Situasinya seperti di dunia pewayangan, seperti buto ijo. Tokoh yang apa pun dimakan. Gunung dimakan, hutan dimakan, semua dimakan. Mengerikan,” kata Iksan.
Ia menegaskan, dia tak menolak pembangunan. Tetapi, ada pembangunan yang harus dikritisi. Melalui musiknya, Iksan mencoba memantik pendengarnya agar memiliki pikiran dan pemahaman, keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Lebih jauh dia berharap, pendengarnya yang bergabung dalam Kawan Cerdas terus melakukan aktivitas bermanfaat. Bukan semata perkumpulan orang penyuka Iksan Skuter, alias penggemar.
”Harapanku mereka bergerak sama-sama, memanfaatkan skill untuk lingkungannya. Seperti Kawan Cerdas Palembang, punya perpustakaan. Kawan Cerdas Jombang, bekerja sama dengan teman-teman yang mengolah sampah. Kurasa itu wow, ini bukan musik. Musik hanya loncatan. Tujuannya bukan musik,” harapnya.
Bagi Iksan, sejarah sudah membuktikan, musik tak sekadar hiburan. Meski sekilas musik tampak seperti tempat untuk bersenang-senang. ”Sejarah, leluhur kita menggunakan medium musik bukan untuk itu. Itu mungkin tujuan sekunder, bahkan tersier. Sejarah dan leluhur menggunakan musik sebagai medium keagamaan, juga kebangsaan seperti lagu ”Indonesia Raya”,” ujarnya.
Oleh karena itu, Iksan pun memilih untuk terus berkarya. Ukuran-ukuran terkenal atau sukses dibuangnya jauh-jauh. Sukses bagi Iksan adalah bila dia terus berkarya. Sembari menanti mimpi menjadi petani terwujud, melalui musiknya, Iksan terus menyalakan tanda bahaya.
BIODATA
Nama lahir: Mohammad Iksan
Lahir: Blora, Agustus 1981
Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Diskografi Album / Single Musik:
- Album PUTIH band kompilasi ”indie Mboyl Pos” tahun 2001 produksi Gong Record, Malang
- Album PUTIH band mini album ”Draf” tahun 2002 tahun 2002 produksi Draf Management, Malang
- Album PUTIH band album kompilasi ”Jorney to the Top with Mentos” tahun 2003 produksi BMG, Jakarta
- Album PUTIH band ”Cerita Sahabat” tahun 2004 produksi Draf Management, Malang
- Album PUTIH band ”Apa Kabar Cinta” tahun 2006 produksi Alfa Record, Jakarta
- Album PUTIH band ”Gelombang Cinta” tahun 2007 produksi Alfa record, Jakarta
- Album PUTIH band album kompilasi Rohani Islam ”LCLM” Republika&Esia tahun 2007 produksi Alfa Record, Jakarta
- Album PUTIH band album kompilasi ”Hip-Hip Hura SCTV volume 2” tahun 2008 produksi Nagaswara, Jakarta
- Album PUTIH band ”Yang Ketiga” tahun 2009 produksi Alfa Record, Jakarta
- Single BEGAWAN ethnic contemporer music "Visit Indonesia” tahun 2011 produksi Audiolectica, Jakarta
- Single PUTIH band ”Cinta Tanpa Alasan” tahun 2012 produksi KA Enterpise, Jakarta
- Album Iksan Skuter ”Matahari” tahun 2012 produksi Audiolectica, Jakarta
- Album Iksan Skuter album kompilasi ICW ”Berani Jujur Hebat”, produksi Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2012
- Album Iksan Skuter ”Folk Populi Folk Dei” Audiolectica Records, 2013
- Album kompilasi ”Ruang Putih Vol 2”, produksi Ruang putih, Bandung, 2013
- Album Kompilasi “Green In Peace”, produksi Green Peace Indonesia, 2013
- Album Kompilasi ”Sanak Kadang”, produksi Audiolectica Records, 2013
- Album Kompilasi ”Kompilasi Sepi” produksi Barongsai Records, Malang 2013
- Album Iksan Skuter ”Kecil Itu Indah”, Audiolectica Records / The Paimo, 2014
- Album Iksan Skuter ”Shankara”. Barongsai Records, Malang, 2015
- Album Kompilasi ”Kecil Itu Indah vol 2”, Srawung Records / 2016
- Album Iksan Skuter ”Benderang Terang”, Srawung Records, Malang, 2016
- Album Iksan Skuter ”Gulali”, produksi Srawung Records, 2017
- Album Iksan Skuter ”Lumintu”, produksi Srawung Records/Rilisan Fisik 2018
- Album Iksan Skuter ”Kecil Itu Indah Vol 3” , produksi Srawung Records 2018
- Album Iksan Skuter ”Balakosa”, produksi Srawung Records 2019
- Album Iksan Skuter ”Bapakku Indonesia” produksi Srawung Records 2019
- Album Iksan Skuter ”Selera Nusantara", produksi Srawung Records/ Rilisan Fisik 2020
- Album Iksan Skuter ”Codex 13”, produksi Srawung Records 2020
- Album Iksan Skuter ”Orbit”, produksi Srawung Records, 2021
Buku: Antologi Lirik, Bingung, produksi Warning Books, 2019