Jalan Keberpihakan Fanny
Lewat karya-karyanya, Fanny Chotimah menunjukkan keberpihakannya pada sejarah yang tak terungkapkan, pada keberagaman yang tersisihkan, pada kemanusiaan yang terpinggirkan.
Sebuah karya tanpa keberpihakan hasilnya kosong belaka. Inilah yang mendorong produser dan sutradara Fanny Chotimah memanfaatkan media yang dia geluti semaksimal mungkin untuk berpihak. Pada sejarah yang tak terungkapkan, pada keberagaman yang tersisihkan, pada kemanusiaan yang terpinggirkan.
Dalam perjumpaan di ruang virtual, Rabu (9/2/2021) sore, Fanny membagikan berita gembira. Namanya masuk dalam daftar nominasi di dua kategori Piala Maya 2020, yakni film dokumenter panjang terbaik dan penyutradaraan berbakat film panjang karya perdana. Ini menyusul Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2020 untuk film You and I, akhir tahun lalu.
Sebagai pendatang baru di dunia penyutradaraan, Fanny sempat merasa tidak percaya diri. ”Setelah mendapat apresasi, aku jadi tertantang karena orang akan bertanya-tanya, setelah You and I akan bikin apa. Itu seperti diingatkan,” tuturnya.
Tanpa berlama-lama, dia sudah siap untuk pembuatan proyek baru lagi. Fanny sedang melakukan riset untuk film selanjutnya yang detailnya masih rahasia karena masih dalam tahap sangat awal.
Selama ini, Fanny lebih banyak berada di belakang layar sebagai produser sejumlah film dokumenter. Film You and I adalah debutnya sebagai sutradara dan langsung merebut hati para juri FFI 2020 dan penikmat film.
Betapa tidak, film tersebut berkisah tentang dua nenek, Kaminah dan Kusdalini, mantan tahanan politik, penyintas tragedi 1965. Keduanya bertemu di penjara dan terus bersahabat sampai maut menjemput. Fanny memotret keseharian keduanya di masa tua mereka di Solo, Jawa Tengah. Keduanya terus bertahan di tengah kesulitan hidup akibat stigma yang dilabelkan pada mereka.
Fanny tinggal di Solo sejak 2005, mengikuti suaminya yang juga pembuat film dokumenter. Dilahirkan di Bandung dan kuliah di Jakarta, Solo bagaikan tempat ”asing” baginya. Tak disangka, dari kota inilah lahir karya yang melambungkan namanya di jagat sinema Indonesia.
”Awalnya aku mulai ikut produksi film suami. Sering ikut shooting. Aku juga lebih tertarik di riset, penulisan, atau manajemen. Ambil peran jadi produser. Itu film-film pendek dan kebanyakan untuk advokasi,” kenang Fanny.
Film pertama yang diproduseri adalah Bukit Bernyawa tentang erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Kisahnya tentang komunitas gamelan di Desa Srunen yang punya tradisi menabuh gamelan setiap senja. Setelah erupsi, gamelan rusak.
Lewat film dokumenter itu, mereka mencoba menggalang dana untuk merestorasi gamelan dan tercapai. Film Bukit Bernyawa juga mendapat apresiasi sebagai Best Short Documentary Film di Chopshort Documentary Film Festival dan nominasi Zebra Film Poetry di Jerman, karena narasi film itu memakai puisi karya Sindhunata, Mantra Tolak Bala.
Setelah itu, Fanny menjadi produser beberapa film dokumenter. Berperan dari produser menjadi sutradara adalah langkah besar baginya. ”Biasanya, kan, dari sutradara dulu baru jadi produser. Rasanya seperti belajar lagi. Jadi sutradara, kan, wilayahnya estetis dan teknis banget. Kalau produser lebih mengurusi bisnis film, lobi klien, crowd-funding, strategi pemasaran. Secara cerita terlibat juga, tetapi biasanya itu visi sutradara. Produser meyakinkan orang bahwa visi itu baik. Sebagai sutradara aku harus berangkat dari visi itu,” ujarnya.
Tak berlatar belakang sekolah formal perfilman, Fanny banyak belajar dari lokakarya, masterclass, tutorial, dan saling berbagi ilmu dengan sesama pembuat film. Referensi didapat dari film-film yang ditonton.
Patah hati
Meski terbilang pendatang baru, persentuhan Fanny dengan dunia film dimulai lama sebelumnya. Semasa kuliah, dia sering menonton festival film, terutama yang digelar di pusat-pusat kebudayaan asing di Jakarta. Tak hanya menonton, untuk menambah pengetahuan, Fanny sering hadir di forum-forum diskusi film, ikut lokakarya, dan meluangkan waktu untuk mengambil kelas-kelas film.
Setelah dua tahun fokus mengurus keluarga, terbit keinginan Fanny untuk kembali berkegiatan di luar rumah. Dia melihat mulai tumbuhnya ekosistem perfilman di Solo. ”Waktu itu, di Solo lagi seru-serunya festival film indie. Ada Festival Film Solo, aku ikut jadi kurator dan programmer. Karena senang menonton film, aku juga mengulas film,” ujarnya.
Fanny aktif di beberapa komunitas sastra dan perempuan. Dari situ dia mengenal isu ianfu, budak seks semasa penjajahan Jepang. ”Aku pikir Solo itu penting karena ianfu pertama yang berani bicara, yaitu Bu Tuminah, berasal dari Solo,” katanya.
Dia lalu mencari tahu di mana makamnya, yang ternyata hanya berupa gundukan tanah. Tanpa penanda apa pun sebagai pengingat. Dia pun patah hati. Kalau tak ada nisan atau prasasti, kisahnya pasti ikut hilang. Guna menggalang dana untuk membangun nisan dan prasasti, lahirlah film TUM.
Kegelisahan mendorongnya untuk terus menggali persoalan sekitar, sampai kemudian dia membesut You and I. ”Isu-isunya dekat denganku. Media yang paling bisa kuakses, atau yang kupunya secara sumber daya, ya, film. Dari lingkaran, pengalaman, kupilihlah film. Jodoh kali, ya,” kata dia sambil tertawa.
Fanny merasa beruntung karena pernah berkenalan dengan dunia sastra. Lewat komunitas Pawon Sastra, dia aktif menulis puisi, cerita pendek, dan esai. Namun, tak ada keinginan untuk menjadi novelis atau penyair. Dari sastra, dia jadi lebih kaya saat berkecimpung di dunia film. Misalnya dalam menulis atau merumuskan konsep, membuat naskah pitching, membuat narasi film.
Dia penggemar berat karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang ia baca sejak remaja. Terlebih sang ayah juga mengidolakan Pram. Dia merasa narasi yang diusung lebih humanis, membuat dia semakin menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Itulah yang menjadi napas film-film yang dibuatnya. ”Barangkali juga berangkat dari kegelisahan seorang ibu. Kalau lihat berita, seram, ya, soal ketidakadilan akibat stigma atau minoritas. Bikin patah hati. Aduh, dunia apa yang kita persiapkan untuk anak-anak kita?” tuturnya.
Bersama sejumlah teman yang memiliki kegelisahan sama, Fanny lalu mendirikan Komunitas Kembang Gula pada 2017. Lewat Kembang Gula, mereka memproduksi dan memutar film-film layar tancap bertema keberagaman di kampung-kampung di Solo Raya.
”Segmennya kalangan menengah ke bawah. Banyak di antara mereka yang belum pernah menonton film. Mereka antusias sekali dan minta lebih sering, tetapi kami baru bisa sebulan sekali atau malah setahun sekali. Dari film-film itu mereka bisa terhubung dan becermin pada kehidupan sehari-hari. Kalau ada layar tancap di kampung sebelah mereka bisa saling berkunjung untuk menonton. Sayangnya semua terhenti karena pandemi,” ungkap Fanny.
Selain pemutaran film, Kembang Gula juga membuat kelas sinema untuk kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan lokakarya bagi pelajar yang ingin membuat film. Ada pula kegiatan apresiasi dengan membagikan tiket gratis lalu menonton film Indonesia bersama di bioskop dan diskusi setelahnya.
Spontan
Fanny tidak pernah membayangkan bakal berkiprah di dunia film. Dia pernah bercita-cita menjadi jurnalis, tetapi tak pernah terpikir menjadi sutradara. ”Aku orangnya sangat spontan, mengikuti aliran saja. Saat memutuskan menikah muda, langsung punya anak, tiba-tiba berkecimpung di film karena haus ingin belajar. Aku aktif di komunitas juga karena senang bertemu banyak orang, berkegiatan, berbagi,” ujarnya.
Kaget juga dengan capaiannya, kata Fanny. Dia terharu saat mendapat Piala Citra, sang mama bilang, jalan yang dipilihnya sudah tepat. ”Keluargaku sudah merelakan aku memilih jalanku, ha-ha-ha. Mereka masih selalu ragu, apalagi sebagai seniman film yang belum mapan dan enggak masuk di industri. Pasti orangtua khawatir. Papa meninggal tahun lalu. Mama bilang, kalau Papa lihat, pasti bangga,” ujarnya.
Kini Fanny semakin mantap meniti jalan yang dipilihnya. Dia sudah mulai ketagihan menjadi sutradara. Dia pun sudah jatuh hati pada Solo dan berharap bisa turut mengembangkan ruang-ruang kreatif di kota itu agar semakin dikenal di kancah perfilman nasional.
”Tadinya aku kesepian di sini. Kotanya lebih sepi, belum lagi aku enggak ngerti bahasanya. Untungnya makanan Solo menyelamatkanku. Tengkleng dan nasi liwet, bikin aku kerasan,” katanya.
Fanny Chotimah
Lahir: 18 November 1983
Pendidikan: Komunikasi Massa STIKOM London School of Public Relation (2001-2005)
Pengalaman:
- Pendiri dan direktur Kembang Gula (2017-sekarang)
- Pendiri dan koordinator penulis Komunitas Jejer Wadon (2012-sekarang)
- Editor Pawon Literary Buletin (2008-2017)
- Kontributor komunitasfilm.org (2010)
- Kurator Festival Film Solo (2013-2014)
- Juri Geber Award Jogja ASEAN Film Festival-Netpac (2016)
Film:
- Aku dan Bineka (2012)
- You and I (2020)
- Hari-Hari Radya Pustaka (2019)
- 3 Warna 1 Cita (2019)
- Anak Gunung (2016)
- TUM (2013)
- Bukit Bernyawa (2011)
Penghargaan:
- Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2020 untuk film You and I
- Nomine Film Dokumenter Panjang Terbaik Piala Maya 2020
- Nomine Penyutradaraan Berbakat Film Panjang Karya Perdana Piala Maya 2020
- Best Asian Film for Asian Perspective DMZ Film Film Festival Korea 2020 untuk film
You and I
- Best SeaShort ChopShots Documentary Film Festival 2012 untuk film Bukit Bernyawa