Saat remaja, Agus Wiradi sudah merogoh kocek sendiri untuk pergi ke daerah-daerah yang dilanda bencana. Kini, ia mengarahkan relawan berprofesi sederhana seperti buruh bangunan, penjual cilok, dan perajin belangkon
Oleh
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
·2 menit baca
Agus Wiradi (43) mengenang kiprahnya senagai relawan yang dimulai sejak SMP. Saat itu, tak disangka gempa melanda Liwa, Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Dengan didikan keras orangtuanya yang kebetulan prajurit baret merah, sosok yang sangat mencintai dunia militer itu tanpa berpikir panjang langsung membobok celengannya.
“Saya pikir, korban itu sengsara banget, ya. Baju saya pak lalu berangkat. Di sana, apa saja dilakukan. Saya bantu korban pakai baju pramuka,” ucapnya sambil tertawa. Ia membantu mengangkat air dapur umum, menghibur korban sebayanya, dan berbagi ilmu mengenai pelajaran sekolah.
Tenggang rasa warga Depok, Jawa Barat itu terhadap sesamanya terus tumbuh. Kini, ia menjadi relawan potensi SAR yang bertugas membantu menganalisis keselamatan Tim SAR Gabungan. “Kalau untuk menghidupi keluarga, saya wiraswasta. Bisalah buat makan dengan kios yang disewakan dan kontrakan,” ucapnya di Depok, Jumat (5/2/2021).
Saat pencarian korban dan puing pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta pada Januari 2021, Agus dipercaya sebagai koordinator tim yang bertanggung jawab atas protokol kesehatan untuk mencegah rekan-rekannya terjangkit Covid-19 dengan bidang melakukan penyemprotan disinfeksi personil atau disinfektan area.
Pendiri dan Ketua Yayasan Rumah Cakrawala Indonesia itu mengarahkan rekan-rekannya dengan beragam profesi sederhana seperti buruh bangunan, penjual cilok, dan perajin belangkon. Mereka menyebar di sekitar di Gunung Merapi, Yogyakarta, untuk mewujudkan mitigasi.
“Selama ini, atensi khalayak sangat fokus terhadap kebutuhan pengungsi. Padahal, faktor eksternal juga sangat penting untuk diperhatikan,” ucapnya. Agus berupaya mengakrabi Merapi dengan mengamatinya dan memasang windsock untuk mendukung operasi SAR.
“Kami sudah memasang satu windsock pada November 2020. Jumlah windsock yang akan dipasang 22 unit. Sangat berfaedah tapi memang membutuhkan dukungan masyarakat,” katanya. Agus berharap bisa merealisasikan rencana itu dengan mengajukan dana tanggung jawab sosial perusahaan.
“Biaya untuk membuat windsock sekitar Rp 1 juta per lokasi. Kami juga memasang teropong portabel,” kata Agus yang beraktivitas di gunung itu sejak tahun 1995. Ia mulai rutin mendatangi Merapi setiap kali erupsi, saat aktivitas gunung tersebut meningkat pada tahun 2010.
“Kami pun mempersiapkan dan memosisikan diri menjadi tim dukung operasi dalam hal safety (keselamatan) termasuk di dalamnya, pemantauan manual pada saat erupsi dengan asumsi seluruh peralatan komunikasi rusak ketika warga dievakuasi,” katanya. Agus menilai, masyarakat yang tinggal di sekitar Merapi sudah lebih siap merepons bencana dibandingkan gunung-gunung lain.
“Erupsi Merapi berkesinambungan sehingga mereka terbiasa. Kami pun terus berkomunikasi dengan satgas tanggap darurat saat warga diungsikan, baru-baru ini,” ujarnya. Agus juga kerap mendatangi berbagai daerah rawan bencana seperti Mamuju, Lembata, dan Gunung Semeru.