Kayuhan Cepat Laura
Latar belakang prestasi renang tak cukup membantunya ketika pertama kali berlatih sebagai perenang difabel.
Terpeleset di kamar mandi menjungkirbalikkan kehidupan Laura Aurelia Dinda Sekar Devanti. Tertatih, ia lantas bertransformasi dari atlet renang kelas umum jadi atlet renang difabel. Renang kemudian tak hanya menghadiahinya medali kemenangan di berbagai kejuaraan, tetapi sekaligus jadi bahan bakarnya untuk memupuk kepercayaan diri, lepas dari depresi.
Ketika dihubungi Rabu (9/12/2020), Laura sedang berada di kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah. Kejuaraan renang yang vakum selama pandemi justru memberinya kesempatan untuk fokus kuliah Psikologi yang juga berbuah prestasi akademis. Sesekali, latihan renang masih dijalaninya untuk melatih kayuhan tangan karena kakinya sama sekali tidak berfungsi ketika berenang di air.
Agendanya saat ini justru padat tak hanya oleh tumpukan tugas dari kuliah virtual, melainkan juga sebagai pembicara dalam berbagai webinar tentang kesehatan mental dan penggerak masyarakat inklusi. Meraih anugerah Indonesia Award sebagai Tokoh Olahraga Terbaik 2018, ia membagikan motivasi kepada masyarakat umum—termasuk mereka yang difabel—untuk berani bangkit.
Semangat yang dibagikannya seperti ketika menjadi pembicara di hari disabilitas internasional, Kamis (3/12/2020), di salah satu stasiun televisi terasa hidup karena berasal dari pengalaman pribadinya. ”Renang membuat aku ber-value. Aku berusaha mencari value-ku di mana, value-ku di prestasi olahraga,” tambahnya.
Nilai yang diperolehnya ketika berenang itu yang memompanya berprestasi. Pembuktian prestasinya, antara lain, ketika meraih dua medali emas di kategori 100 meter gaya bebas kelas S6 putri dan 50 meter gaya bebas kelas S5 putri di ajang ASEAN Para Games di Kuala Lumpur, Malaysia, pada September 2017. Prestasi itu sekaligus memecahkan rekor ASEAN Para Games di klasifikasi S5 dan S6 bagi atlet dengan keterbatasan kontrol kaki.
Capaian pada ASEAN Para Games juga membawa Laura mewakili Indonesia di ajang World Para Swimming Championship di Berlin, Jerman, pada Juni 2018. Pada kategori S5 putri, Laura meraih 4 medali. ”Momen waktu menang, ya, aku senang. Ternyata aku masih bisa. Tapi, apakah senang banget atau puas banget... aku nggak merasakan itu, karena balik lagi aku saat itu belum sehat secara mental,” kata Laura.
Kesehatan mental
Bagi Laura, kuliah Psikologi tak sekadar menjadi sarana untuk menimba ilmu. Hingga kini masih didampingi psikolog, ilmu psikologi sekaligus memampukannya menganalisis diri sendiri setiap hari. Psikologi juga berperan besar dalam membantu proses kesembuhan diri. Ia juga mencintai psikologi karena ketertarikannya pada perilaku manusia.
”Karena dulu aku kayak gampang kena panic attack. Aku susah napas itu respons fisiknya. Belajar cut yang negatif dan digantikan yang positif,” tambah Laura yang saat ini kuliah semester tujuh di Universitas Gadjah Mada, DI Yogyakarta.
Pengalaman kesehatan mental pribadi yang dianalisis dari segi psikologis itu yang kemudian dibagikan ketika memotivasi orang lain. ”Aku biasanya menekankan, harus menerima diri sendiri. Perubahan tidak instan. Menerima keadaan saja suatu proses. Tidak bisa tiba-tiba,” kata Laura
Final Pekan Olahraga Pelajar Daerah tingkat SMA provinsi Jawa Tengah pada 2015 menjadi gelaran penutup bagi kiprah Laura di kompetisi olahraga renang nondifabel. Satu hari menjelang pelaksanaan Popda, Laura terpeleset di kamar mandi mess atlet dan jatuh pada posisi terduduk. Terpeleset awalnya dianggap sebagai peristiwa lumrah hingga datangnya rasa nyeri luar biasa pada sebulan setelah jatuh.
Laura ternyata mengalami fracture decompression atau patah tulang belakang akibat jatuh pada posisi duduk. Karena kondisi tulangnya yang patah hancur berserpih, dokter harus mengektraksi serpihan tulang tersebut untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tersisa yang berpotensi menjepit atau melukai neuron saraf di sekitarnya.
Proses pemulihan yang lambat membuat Laura setiap hari uring-uringan. Dia mulai frustasi dengan kondisi kaki yang tidak kunjung mengalami perbaikan. Enam bulan pertama bahkan untuk sekadar duduk pun dia tidak mampu. Hingga suatu waktu tebersit keinginannya untuk mengakhiri hidup.
Kemarahan dan depresi akibat perubahan kondisi fisik itu sempat menderanya selama 1,5 tahun. ”Aku sekarang masih ke psikolog. Masih ada relaps-nya. Aku masih seek help for mental health. Enggak masalah minta bantuan. Semua orang punya kelemahan dan kelebihan. Cintai diri kamu. It\'s okay jika merasa sedang di titik terendah,” tambahnya.
Pergulatan
Masukan dari psikolog terbukti membantunya untuk bangkit ketika dihinggapi cemas menjelang kejuaraan renang. Emosinya juga kadang kala tersulut ketika menghadapi situasi yang tidak bisa dikontrol. ”Balik lagi aku seek help. Kata psikologku: kamu enggak dapat mengontrol semua orang, kontrollah apa yang bisa kamu kontrol, tetapi enggak semua hal bisa kamu kontrol. Aku selalu berpegangan kata-kata itu,” ujar Laura.
Pergulatan panjangnya untuk bisa menerima diri sebagai difabel juga terjadi karena minimnya pengetahuan tentang disabilitas. ”Masih dipandang aneh sehingga aku pun enggak bisa menerima label difabel. Memandang mereka orang yang membutuhkan bantuan. Ketika jadi difabel, ternyata beda. Kita bukan enggak punya kemampuan. Kita punya, tetapi kita beda,” tambahnya.
Meski awalnya ragu, Laura kembali berenang setelah pelatih renang dari NPC (National Paralympic Committee), Gatot Doddy Djatmiko mengunjungi dan memberikan motivasi bahwa hidup tidak berakhir hanya karena anggota tubuh mengalami penurunan atau kehilangan fungsi.
Pertama kali berlatih, Laura hanya mampu berenang 100 meter lalu menangis di pojokan. ”Aku masih menolak identitasku sebagai difabel,” ujarnya.
Setelah mogok berenang selama dua bulan, Laura memantapkan hati untuk kembali menjajal renang.
”Oke ya udah. Loe cacat aja, ya, sudah. Kamu fokus aja berenang, jangan pikirkan aspek emosional yang lain. Aku ngerasa biasa aja. Entah aku mematikan emosiku atau bagaimana. Oke fokus aja ke pencarian teknik renang yang baik,” ujarnya.
Latar belakang prestasi renang tak membantunya ketika pertama kali berlatih sebagai perenang difabel. Meski dulu pernah berlatih renang hanya dengan memakai tangan, ia seolah kembali belajar renang dari awal ketika fungsi kakinya dari pinggul ke bawah benar-benar dihilangkan.
”Berat banget. Kakimu sama sekali enggak bisa digerakkan. Enggak bisa ngangkat ke atas. Aku harus belajar tekniknya. Keuntungan yang aku rasakan: untuk teknik tangan aku sudah punya pengalaman lebih banyak daripada temanku yang lain,” ujar Laura.
Kompetisi olahraga difabel pertama yang diikutinya adalah ajang Peparnas (Pekan Paralimpik Nasional) XV di Bandung, Jawa Barat, pada Oktober 2016. ”Ketika aku menang, oo, ini Laura masih fit in society. Laura is a normal person, masih ada harga dirinya. Medali membantu aku it\'s okay aku sudah orang normal, ayo melakukan kegiatan lain tidak mengasihani diri sendiri,” kata Laura yang akan kembali bertanding di Peparnas 2021 di Papua.
Pertama kali belajar renang demi kesembuhan penyakit asma yang dideritanya, renang juga mengajarkan etos kerja keras dan memperkuat daya tahan dalam diri Laura. Menjelang kejuaraan, biasanya ia mematok target latihan 4.000 meter per hari.
”Aku merasa lebih bebas di air. Ngapung-ngapung aja. Kalau di luar kolam aku harus bergantung sama kursi roda. Lebih kerasa normalnya di air,” ujarnya sambil tersenyum.
Dengan kayuhan cepat tangannya kala berenang, Laura menjadi pemenang dari keterbatasan fisiknya.