Jakob Oetama meninggalkan banyak teladan lewat beragam interaksi. Warisannya tetap relevan di tengah derasnya arus perkembangan zaman.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buku Warisan Sang Pemula-Jejak Langkah Jakob Oetama dan Bapak Jakob Oetama: Kisah Kecil Bermakna Besar menandai 40 hari berpulangnya Jakob Oetama, Minggu (18/10/2020). Setiap jejak langkah dan makna dari Jakob Oetama menjadi inspirasi sekaligus pedoman untuk mengarungi perkembangan zaman.
Jakob berpulang pada Rabu (9/9/2020). Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas ini mewariskan begitu banyak suri teladan sebagai pedoman untuk berkarya.
Redaktur Senior Kompas Ninok Leksono dalam peluncuran dan diskusi buku menuturkan, suri teladan Jakob Oetama yang tertuang dalam buku menjadi inspirasi untuk terus melangkah dan modal untuk menghadapi tantangan zaman.
”Modal untuk menghadapi tantangan zaman ada empat. Rendah hati, humanisme transendental, intuisi intelektual, dan profesionalisme. Harap ingat urutannya, jangan dibalik-balik,” ucap Ninok.
Baginya, 40 hari kepulangan dan peluncuran buku menjadi momen reflektif untuk terus melangkah, bekerja dengan hati tulus karena kerja adalah ibadah dan membaca tanda zaman. Niscaya dari situlah akan ada jalan keluar dari persoalan-persoalan.
Buku Warisan Sang Pemula-Jejak Langkah Jakob Oetama berisi petuah-petuah Pak Jakob semasa hidup dalam beragam interaksi dan kesehariannya. Wartawan Kompas 1988-2018, Trias Kuncahyono, mengatakan, banyak petuah dari Pak Jakob dalam setiap rapat pagi. Petuahnya semakin lama semakin banyak. Akan tetapi, banyak pula orang yang hanya mendengar petuahnya dari kiri dan kanan karena tidak pernah berinteraksi ataupun kenal dekat.
”Dituangkan ke dalam tulisan supaya generasi muda tahu petuahnya tentang jurnalisme, keindonesiaan, solidaritas, toleransi, dan membangun perusahaan. Mereka tahu, pelajari, dan praktikkan dalam kesehariannya,” kata Trias.
Ada asa buku ini bisa menjadi salah satu pedoman untuk memahami warisan Pak Jakob, seperti humanisme transendental dan Indonesia mini. Menurut Trias, Pak Jakob telah membangun fondasi Kompas Gramedia yang kuat dengan suri teladannya. Pekerjaan rumah selanjutnya ialah menjaga fondasi tetap kuat dan meneruskannya.
Banyak kisah personal tentang Pak Jakob, baik lewat interaksi langsung maupun tidak langsung. Kisah ini meninggalkan kesan mendalam bahkan setelah bertahun-tahun kemudian.
Bermakna besar
Kisah-kisah kecil itu tertuang dalam buku Bapak Jakob Oetama: Kisah Kecil Bermakna Besar. Ada inspirasi, sosok pemimpin sekaligus guru, dan bersahaja.
Seperti pengalaman General Manager Bentara Budaya Fitricia Juanita. Pak Jakob dalam suatu rapat pagi bersama bagian periklanan berpesan agar jangan menganggap kritik sebagai nyinyiran. Justru jadikan pelajaran karena ada hal positif dari situ.
Pesan itu sehubungan dengan iklan penuh warna yang kerap muncul satu halaman. Adanya iklan ini memang menguntungkan di satu sisi, tetapi di sisi lain mengganggu pembaca.
Pengalaman lain, ketika Pak Jakob mendadak datang ke bagian periklanan untuk menemui pucuk pimpinan. Saat itu Pak Jakob memilih duduk di tempat duduk kurir, persis di belakang meja petugas keamanan sembari menanti pucuk pimpinan yang sedang tidak berada di tempat. ”Pak Jakob tenang saja meskipun terlihat capek. Tidak komplain disuguhkan air putih,” ujar Fitricia.
Bagi purnakarya wartawan Kompas, Mohammad Nasir, Pak Jakob tidak saja sosok yang lengkap. Ia sosok yang luar biasa, mulai dari tempat lahirnya di dekat Candi Borobudur, pendidikannya di seminari, hingga karya-karyanya.
Nasir menuturkan, Pak Jakob sering bertanya jumlah penggalangan dana kemanusiaan yang dulu bernama Dompet Kompas dan sekarang beralih nama menjadi Dana Kemanusiaan Kompas. ”’Bung dapat berapa?’, tanya Pak Jakob yang ingin tahu besarnya kepercayaan warga terhadap Kompas. Ada rasa senang dan bangga karena Kompas masih dipercaya dan itu (kepercayaan) harus terus dipelihara,” kata Nasir.
Abdullah Fikri Ashri, wartawan muda Kompas, punya pengalaman personal meskipun tidak berinteraksi secara langsung dengan Pak Jakob. Ia mengenal Kompas karena kakeknya sudah berlangganan koran nasional itu sejak 1980-an.
Meskipun beredar desas-desus bahwa Kompas hanya untuk kelompok tertentu, kakeknya terus membaca dan berlangganan. Pendapatnya, Kompas adalah koran untuk seluruh kalangan setelah membaca lembar demi lembar koran.
Fikri membuktikan sendiri bahwa Kompas tidak untuk kelompok tertentu ketika diterima sebagai wartawan pada 2015. Petuah-petuah yang didengarnya banyak membantu dalam perkembangan dan berkarya. ”Tidak hanya untuk segelintir orang, justru bisa kembangkan diri,” ucap Fikri.