Dualitas Natisa Jones
Karya-karya Natisa Jones selama ini didominasi ekspresi personal dan cenderung esoterik, yaitu karya yang hanya dapat dipahami orang tertentu atau Natisa sendiri.
Dua prinsip yang berpasangan hingga saling bertentangan di mata Natisa Jones (31) menjadi spektrum inspirasi melukis. Dualitas Natisa bukan lagi menyoal kutub baik atau buruk. Dualitas Natisa berbicara soal kehidupan yang harus dipenuhi rasa kebebasan memilih.
Natisa kini menetap dan menjadi pelukis di Amsterdam, Belanda. Ia lahir di Jakarta, 13 Desember 1989. Masa kanak-kanak hingga remajanya dihabiskan di Bali.
Natisa anak tunggal dari seorang ayah berasal dari Kanada dan ibu dari Jakarta. Nama Jones yang disandangnya itu diambil dari nama ayahnya. Ia tumbuh di tengah keluarga besar dari ibu yang berkecimpung di dunia seni rupa dan desain di Jakarta dan Bali. Pada usia antara empat sampai lima tahun, Natisa dibawa pindah dari Jakarta ke Bali.
Dari sang nenek, Natisa sejak kecil belajar melukis. Ia akrab pula dengan sepupu-sepupu yang terbiasa membantu pekerjaan yang bersentuhan dengan bidang seni rupa di Bali.
Di masa kanak-kanak Natisa menempuh studi di Sekolah Internasional Dhyatmika yang memiliki fokus menyalurkan bakat dan minat peserta didik. Ketertarikannya terhadap seni rupa pun tersalurkan.
Ketika menginjak usia 15 tahun, Natisa memilih pendidikan seni rupa setingkat SMA berasrama di Prem Tinsulanonda International School (PTIS) di Chiang Mai, Thailand. Ia menempuh studinya antara 2005-2009. Natisa menyukai sekolah yang terletak di luar kawasan perkotaan itu. Sekolahnya berada di lingkungan asri yang tenang.
Di sini Natisa bertemu seorang teman laki-laki asal Perancis, yang kemudian menikahinya pada 2018 di Amsterdam, Belanda. Pesta pernikahan mereka juga dilangsungkan di Bali, rumah kedua bagi Natisa sampai sekarang.
Selepas studi di Chiang Mai, Natisa dan teman asal Perancis itu bersama-sama melanjutkan kuliah di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) University di Melbourne, Australia. Natisa mengambil studi seni rupa murni di kampus itu hingga lulus tahun 2011.
Setelah lulus kuliah, Natisa menjalani profesi sebagai pelukis. Sementara, suaminya seorang fotografer. Menjalani hidup sebagai seniman, belum pernah tebersit keinginan Natisa untuk menjajal sisi kehidupan yang lain.
”Keinginan yang masih dan selalu saya kejar yaitu menjalani seni sampai mati. Saya ingin terus membuat karya yang bermanfaat bagi orang lain, yang memberi kesan bagi orang lain,” begitu tutur Natisa dari Amsterdam, dalam perbincangan lewat telepon, Rabu (7/10/2020).
Kontras kehidupan
Jalan seni kerap menjadi jalan sunyi dan jalan setapak yang tak berakhir. Tarikan napas di sepanjang jalan sering mendengungkan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.
Dualitas Natisa bersemayam di situ. Bersemayam di jalan seni yang sunyi dan melambungkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab.
Di sepanjang hidup Natisa merasa diselimuti pertanyaan tentang kontras kehidupan. Ia mencontohkan, kontras kehidupan keluarganya bersama seorang ayah asal Kanada, yang mewakili tradisi Barat, dan ibunya dengan tradisi Timur.
Natisa yang tumbuh lama di Bali, akhirnya merasa dirinya menjadi bagian dari tradisi Timur. Kontras baru dan selalu tumbuh seperti mempertentangkan antara tradisi Barat dan Timur terus menggelayutinya.
Seperti sekarang ia hidup di Amsterdam dengan tradisi Barat, bersama suami asal Perancis. Natisa menghadapi kontras yang tidak berkesudahan.
”Kontras mengandung dualitas. Ini bukan soal baik atau buruknya, tetapi kedua-duanya eksis dan memiliki kebenaran masing-masing yang tidak pernah kita mengerti,” ujar Natisa.
Dualitas bagi Natisa seperti gelap dan terang. Keduanya memiliki spektrum yang memberi manfaat dalam situasi-situasi tersendiri.
Kegelapan memberi kesempatan bagi cahaya kecil untuk tetap terlihat. Sekecil-kecilnya terang bisa memberi pantulan benda-benda yang sebelumnya disembunyikan kegelapan. ”Dualitas dari sifat kontras masing-masing memiliki eksistensi tersendiri, lagi-lagi bukan eksis sebagai hal baik atau buruk,” tutur Natisa.
Natisa meniadakan dikotomi atau polarisasi bagi dualitas. Ia menghadirkan dan memperjuangkan kesadaran untuk menengok spektrum dualitas. Tentu lewat jalur seni rupa yang dipilihnya.
Penghakiman, bahkan tindakan main hakim sendiri, tidak mendapat tempat bagi dualitas Natisa. Dualitas Natisa adalah kritik sosial bagi masyarakat kita. Masyarakat kita yang mudah menjatuhkan stigma atau penghakiman.
Natisa memandang, masyarakat makin mudah terprovokasi berita bohong. Masyarakat yang memiliki ”sumbu pendek”, mudah terbakar dan meledak. ”Sebagai seniman haruslah mampu melihat dunia luar dari tempat tidurnya,” ujar Natisa.
Dimulai dari hitam
Lewat saluran telepon dengan panggilan video, siang itu Natisa menunjukkan studio melukisnya di Amsterdam. Ia menunjukkan beberapa bidang kanvas lukis yang sedang dimulainya dengan bubuhan dasar warna-warna hitam. Hitam bagaikan endapan. Tetapi, ia bisa menampung air jernih di atasnya.
Kira-kira demikian semiotika warna hitam yang ditorehkan Natisa. Warna hitam di atas kanvas menampung kejernihan perasaan dan pikiran yang ia tuangkan kemudian.
Natisa membutuhkan ruang dan waktu tersendiri untuk menuangkan perasaan serta pikiran dengan jernih. Jejak lukisan dengan warna hitam yang dominan, bisa dilihat dari sebuah katalog pameran Untouchables, yang diselenggarakan Ciptadana, Jakarta, 2019. Ada dualitas menarik di situ.
Ketika itu ada sebanyak 38 lukisan karya Natisa dipamerkan bersama karya pelukis abstrak Nunung WS. Salah satu di antara 38 lukisan karya Natisa diberi judul ”Heaven is Mine” (Surga adalah Punyaku). Mediumnya akriliks di atas kanvas berukuran 160 cm x 130 cm (2019).
Di sekujur bidang kanvas mengalir garis-garis putih membentuk corak abstrak ekspresionisme di atas warna dasar hitam. Di situ muncul figur wajah dengan tatapan mata nanar.
Di bagian bawahnya, dituliskan ”Heaven is mine. Baby can’t you see”.
Seperti lukisan-lukisan sebelumnya. Figur wajah perempuan banyak ditampilkan. Dengan potongan rambut dan mata nanar yang dihiasi wajah merenung dan berpikir, sepertinya figur itu personifikasi diri Natisa.
Natisa mengamini dirinya memang lebih suka merenung atau memikirkan hal ihwal kehidupan. Oleh karena itu, menjadi sebuah kesulitan tersendiri untuk menemukan foto dirinya yang sedang tertawa.
Di dalam karya ”Heaven is Mine”, Natisa membicarakan soal surga adalah milikku. Ini dimungkinkan terkait erat dengan pemahaman tradisi Timur tentang surga berada di telapak kaki ibu. Natisa menjumput narasi surga dalam kontras warna hitam.
Dualitas kembali mengambil posisi di situ. Surga ada di telapak kaki ibu dengan sosok ibu yang terbiasa menyiratkan kesucian, kemuliaan, dan dunia yang terang. Lantas, bagaimana dengan surga di telapak kaki seorang ibu ketika berada di dunia gelap?
Karya-karya Natisa selama ini didominasi ekspresi personal dan cenderung esoterik, yaitu karya yang hanya dapat dipahami orang tertentu atau Natisa sendiri. Natisa pun meyakinkan karya-karyanya itu dari kontemplasi yang menghasilkan refleksi bening.
Di masa pandemi Covid-19, Natisa menemukan jalan kontemplasi pula. Menghadapi pandemi ini, ia mengibaratkan seperti terjatuh dan terluka.
”Saya tidak bisa terburu-buru menutup luka. Saya harus melihat luka itu terlebih dahulu, lalu akan menentukan harus bagaimana dengan luka itu,” tutur Natisa.
Pada awal pandemi, stres dan frustrasi dirasakan. Namun, kejatuhan itu berujung pada kepasrahan.
”Di masa pandemi, secara personal, akhirnya aku sampai pada titik aku bisa berkontribusi apa,” ujar Natisa.