Dunia Bipolar Dina
Karier akademis di tangan kanan dan musik di tangan kiri. Dina Dellyana ibarat beratraksi untuk meniti ekuilibrium dengan dua keterampilan yang bertolak belakang itu. Belum lagi, ia harus mengurus apotek dan keluarganya.
Dina Dellyana (35) meniti bidang dengan diferensiasi yang kontras. Ia menekuni pendidikan yang serius dengan bermacam riset dan mengajar mahasiswa. Di sisi lain, musisi itu berkiprah lewat grupnya yang beraliran pop elektronik. Hobi dan bercengkerama bersama keluarga pun masih bisa dinikmati.
Tak mudah menyepakati jadwal dengan Dina. Beberapa kali kesempatan tanya jawab dengan dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) itu terpaksa diundur. Kontak semula direncanakan lewat telepon, Rabu (9/9/2020) pukul 11.30. ”Bisa pukul 12.00 saja?” tanya Dina yang membawa perjanjian harus dijadwal ulang.
Maklum, kesibukan Dina seabrek. Ia juga Kepala Divisi Pengembangan Kewirausahaan Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB sejak pertengahan tahun 2020. Pesan yang dikirim lewat aplikasi bisa dibalas beberapa jam kemudian. Jadwal interviu akhirnya diundur menjadi pukul 19.00.
”Sampai pukul 21.00, sebenarnya aku rapat tapi enggak apa-apa. Tadi sudah minta izin sebentar,” ujar Dina di Bandung, Jawa Barat. Itu pun, ia masih menunjukkan layar komputernya yang padat dengan tabel rencana kegiatan, lewat foto. Walhasil, percakapan harus dilakukan sambung-menyambung pada hari yang berbeda. Pengabdian pada almamater sudah Dina tekuni selama sekitar 10 tahun terakhir. Belum lagi, ia dipercaya sebagai Direktur Inkubator Bisnis SBM ITB sejak tahun 2016.
”Semua yang aku pegang ngurusin start up (usaha rintisan menggunakan internet). Aku juga sering jadi mentor, pembicara, dan manajer start up,” ucapnya. Ia pun menjadi konsultan untuk swasta hingga pemerintah. Dina menggarap, antara lain, studi kelayakan, pembuatan peta jalan (road map), dan rekomendasi kebijakan.
HMGNC
Ia sesungguhnya menekuni dunia yang bipolar. Banyak anak muda sebelumnya mengenal Dina lewat HMGNC yang telah malang melintang dalam belantika musik Tanah Air. Bukan grup kemarin sore, kelompok yang namanya kerap dilafalkan Homogenic itu merilis album perdananya pada tahun 2004.
Dina bersama Grahadea Kusuf, sesama programer dan pemain synthesizer HMNGC, mengiringi vokalis Amandia Syachridar. Grup yang telah menelurkan lima album itu terbentuk saat Dina masih SMA, tahun 2002. ”Kalau bikin band sudah beberapa kali sejak SMP,” kata Dina yang sempat membintangi iklan bersama HMGNC itu.
Trio tersebut bukan pula kawanan yang kreativitasnya kembang kempis. Mereka tetap produktif, termasuk di masa pandemi. Baru akhir Agustus lalu, HMGNC meluncurkan ”Lost in You”, setelah ”You are Not Alone” yang dirilis pada petengahan tahun 2020. Konser hingga luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang, pun telah dilakoni.
Jembatan menuju kutub yang berseberangan mulai terbentang ketika ia sedang kuliah jenjang S-2. Dosen senior SBM ITB menawari Dina untuk melakukan penelitian selama setahun. ”Lupa kapan ditawari. Pokoknya, sambil kuliah akhir jadi peneliti. Enggak tahunya, ditawari lanjut jadi dosen,” katanya.
Ia mengambil kesempatan itu lantaran ketertarikannya terhadap riset dan berbagi pengetahuan. Dina juga klop dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan senang menulis. ”Ya sudah, cepat juga prosesnya jadi dosen. Mahasiswa, sih, nyaman saat aku mengajar. Seru. Jadi dosen banyak belajar,” ucapnya.
Akademis dan hiburan ternyata punya kesamaan. Bagi Dina, menghibur dan mendidik tak jauh berbeda. Ia bereksperimen dengan suara-suara ketika bermusik. ”Sementara riset mengeksplorasi hal-hal baru. Mengajar itu juga perform (tampil). Kayak manggung saja,” katanya seraya tersenyum.
Sempat tebersit dalam benak Dina beratnya menggeluti intelektualisme yang membuat dahi berkerut. Ia beruntung didukung kolega-kolega yang asyik diajak bekerja. ”Awalnya cemas, tapi setelah dijalani enggak seseram yang aku pikirkan,” ujarnya.
Dina malah tancap gas. Ia telah menuntaskan pendidikan S-3 pada tahun 2016, bahkan memproyeksikan untuk menjadi guru besar. ”Memang ranah berbeda karena satunya hiburan dan lapangan lain, pendidikan. Sampai kontradiktif banget, enggak, karena intinya sama-sama mengembangkan organisasi,” katanya.
Pernak-pernik Dina di dunia pentas tak ayal kerap bersinggungan dengan dinamika akademinya. Ia, misalnya, mengecat rambut dengan sapuan ungu, kuning keseluruhan, atau disaput biru. ”Aku oke saja melakukan keduanya. Hanya unsur artistik yang membedakan. Orang-orang di kampus tahu aku punya band,” ujarnya.
Soal penampilan Dina, tak ada mahasiswa yang mempermasalahkannya. Mahasiswa tetap menaruh hormat kepada dosennya itu. ”Belum ada yang berperilaku enggak pantas. Mereka ngerti. Enggak aneh dan terganggu. Aku enggak pakai baju punk rock juga ke kampus,” katanya sambil tertawa.
Di luar itu, Dina masih menjalankan bisnis. Apotek dan klinik di Cimahi, Jabar, ia kelola sejak tahun 2016. Kebugaran tak dilupakan. ”Hobi juga enggak berhenti. Sekarang, aku senang bersepeda. Kalau pagi, aku olahraga lalu mengajar dan rapat,” ucapnya.
Dina pun tak alpa memperhatikan keluarga dengan anak semata wayangnya. Sejak pandemi merebak, ia mengerjakan tugas-tugas di rumah sembari menemani putrinya. Tak kurang lagi saratnya asam garam Dina mengembangkan star tup bersama badan pemerintah, asosiasi, dan swasta.
Ia mengirimkan banyak artikel ke jurnal internasional yang terakreditasi dan terlibat dalam berbagai penelitian tentang UKM. Wajar saja jika keluwesan Dina menunaikan berbagai perannya diibaratkan kepiawaian bermain juggling, akrobat dengan sejumlah bola. Ia harus menangani tanggung jawabnya satu per satu dengan pandai-pandai mengatur waktu.
”Koordinasi dan manajerial. Kuncinya, work smart (bekerja dengan cerdas). Fungsi leadership (kepemimpinan) penting. Jadi, enggak dikerjakan sendiri,” ucapnya. Dina punya tim untuk menuntaskan pekerjaannya meski terkadang ia mengaku keteteran.
”Di kalenderku, setiap jamnya sudah ada jadwal. Sekarang juga lagi kewalahan, nih, tapi sudah ada tim yang cekatan dan ngerti. Mereka sudah terbiasa kerja bareng aku,” katanya. Ia menyanggupi tawaran-tawaran sivitas akademikanya karena semuanya relevan.
”Keahlianku, kewirausahaan dan teknologi manajemen. Masih berhubungan dengan pembangunan inkubator dan pengembangan inovasi,” katanya. Mahasiswa Dina lebih banyak di jenjang S-2 meski ia juga mengajar S-1. Mereka berkarakter kritis, pintar, kompetitif, dan aktif.
”Jadi, aku juga harus selangkah lebih maju dan tahu informasi terbaru. Studi kasus bisa dibicarakan karena nyambung dengan yang aku sampaikan,” katanya. Dina hanya berusaha sebaik-baiknya. Ia tak memaknai gerak langkahnya sebagai kampanye pemberdayaan jender.
”Enggak ada jalur ke sana, tapi timku semua perempuan. Menurutku, ya, perempuan bisa multitasking (melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu),” katanya. Dina juga menilai rekan-rekannya sigap, namun yang paling utama, ia cocok dengan mereka.
”Bukan bermaksud feminis. Itu kenyamanan kerja saja. Aku tetap bisa mengurus keluarga dan menjalankan pekerjaan dengan baik,” ujarnya. Dina hendak membuktikan, perempuan bisa meraih cita-cita meski telah berkeluarga. Ia tak memungkiri, sebagian perempuan masih dipandang sebelah mata.
”Kalau sudah nikah, dianggap enggak maksimal bekerja. Jadi stigma sehingga banyak perempuan enggak ditempatkan di posisi strategis. Padahal, enggak begitu,” kata Dina. Mereka pun mampu menapaki karier dan mencapai performa kerja yang cemerlang.
Timor Leste
Dina dilahirkan di Dili, Timor Leste, karena ayahnya, pegawai negeri sipil Kementerian Kesehatan, bertugas di sana saat masih menjadi bagian dari Indonesia. ”Kangen banget. Kalau kenangan, menyenangkan. Pengin balik lagi. Aku dulu anak pantai. Setiap hari lihat nelayan dan makan ikan,” tuturnya.
Sesekali, Dina menyaksikan paus timbul tenggelam. Beberapa kali konflik terjadi, tetapi umumnya terjadi di pedalaman. ”Sejauh itu aman. Kalau dengar bentrok, paling enggak keluar rumah. Aku pindah waktu umur enam tahun dan tinggal di Bandung sampai sekarang,” ucapnya.
Biodata
Nama: Dina Dellyana
Tempat, tanggal lahir: Dili, Timor Leste, 2 November 1984
Suami: Erias Erlangga (37)
Anak: Kinnara Amadita (9)
Pendidikan:
S-1 Farmasi Universitas Padjadjaran, Bandung (2007)
Program Profesional Apoteker Universitas Padjadjaran, Bandung (2008)
S-2 Master of Business Administration ITB, Bandung (2009)