Nyala Semesta Boneka
Telah 14 tahun Papermoon Puppet Theatre berdiri. Duo pendirinya, Maria Tri Sulistyani dan Iwan Effendi, bertutur seru tentang perjalanan mereka, dari berumah tangga hingga berkarya.
Perjalanan seakan tak pernah berhenti bagi pasangan pendiri Papermoon Puppet Theatre, Maria Tri Sulistyani (38) dan Iwan Effendi (40). Dari boneka berbahan selimut bekas, Papermoon bertransformasi menjadi sebentuk representasi manusia. Tak ada yang lebih diinginkan keduanya selain terus merawat semesta boneka yang telah mereka hidupi selama 14 tahun terakhir.
Siapa pun yang pernah mengenal, bersua, atau berbincang dengan duo pendiri Papermoon tersebut kiranya sepakat dengan kata ini: gayeng. Dalam bahasa Indonesia, kurang lebih setara dengan asyik, menyenangkan.
Seperti saat perjumpaan di ruang virtual, Jumat (21/8/2020) menjelang siang. Aneka perbincangan, mulai dari tumpukan setrikaan hingga cita-cita menua seperti Peter Schumann (86), seniman teater boneka asal Amerika Serikat, tak pernah lepas dari canda tawa.
“Ya begini ini. Bapaknya ngurusin anak yang minta setup pisang, ibunya menjawab pertanyaan wawancara,” ujar Ria, terbahak.
Obrolan mencipta karya adalah obrolan kopi pagi hingga obrolan kasur. Saat awal pandemi, obrolan mereka malah lebih intens, bisa sampai pukul 02.00 atau 03.00. Sambil bikin mi rebus, kata Iwan.
“Kami enggak punya asisten, kami enggak punya televisi. Jadi, memang banyak kemungkinan yang bisa dilakukan bertiga. Tidak ada orang lain di rumah ini,” sambung Ria.
Di Rumah Pintu, sebutan rumah tinggal mereka, itulah ide dan karya Papermoon mengalir. Latar belakang Iwan sebagai perupa dan Ria yang lulusan ilmu komunikasi dan pernah mencicipi dunia teater mewujud sebagai roh Papermoon. Bersama anggota Papermoon lainnya, yakni Beni Sanjaya, Anton Fajri, dan Pambo Priyojati Ranu Handoko, karya-karya teater boneka ini telah melanglang buana.
Sekian lama bersama, Ria dan Iwan sama-sama paham bagian mereka dalam berkarya. “Kekuatan seni rupa dia melebihi siapa pun di Papermoon. Soal visual, bapak inilah urusannya. Bikin cerita, konsep, bisa tandem,” tutur Ria.
“Aku enggak bisa bikin cerita. Dan, enggak mau pentas (di atas panggung). Manajemen, apalagi,” timpal Iwan, disusul tawa keduanya.
Dulu, lanjut Iwan, pernah sekali waktu Ria sedang berada di Thailand dan dia mencoba menjadi sutradara, peran yang biasanya ada di tangan Ria. “Cuma dapat satu scene, dua minggu kerja! Ha-ha.. Ditanya, ini mau digimanain, sih? Enggak tahu. Setelah itu aku memutuskan untuk tidak akan menyutradarai,” katanya.
Ria pun pernah mencoba bikin boneka. “Ini engselnya salah semua. Aku balikin, kamu sajalah. Iwan, kalau melihat mukaku sudah mengerut di depan laptop untuk bikin cerita atau plot, atau proposal, dia langsung bilang, ‘Lunang, sama Papeyo, yuk,” ujar Ria.
Papeyo adalah panggilan sayang Lunang untuk ayahnya. Menurut Ria, sebagai seniman, mereka tidak mungkin memisahkan kehidupan personal dengan profesional. Lunang pun bagian dari tim. Ide cerita Lunang telah dijadikan karya, yakni A Bucket of Beetles, yang dipentaskan secara virtual, Agustus lalu.
Sepenuh hati
Untuk sampai pada tahap itu, jelas bukan perkara gampang. Mereka berdua memperjuangkannya sepenuh hati hari demi hari hingga kini yang terlihat adalah pendapat: “Mereka kompak sekali, ya” atau “Karya mereka menyentuh sekali, ya”.
Tahun 2006, ketika Ria memutuskan untuk mendirikan Papermoon, bentuk awalnya adalah sanggar untuk anak-anak dengan misi pendidikan seni. Iwan bergabung sebagai fasilitator seni rupa. Baru berjalan sebulan, gempa mengguncang Yogyakarta.
Mereka berkeliling dari desa ke desa, membantu menceriakan hari-hari kelabu anak-anak korban gempa. Setelah setahun berjalan, yang tersisa dari komunitas itu hanya Ria dan Iwan. Namun, ketika justru hanya berdua, perubahan Papermoon sangat signifikan.
“Yang jelas, kami enggak mau bikin LSM atau sanggar untuk anak-anak. Tapi, lalu apa? Apa yang bisa kami bagikan kepada orang lain? Sampai ketemu bentuk teater boneka, itu organik banget, bukan sesuatu yang sengaja dirancang,” papar Ria.
Ria tidak tumbuh dari keluarga seniman, tetapi sejak remaja dia tertarik dengan segala hal di bidang seni. Dia selalu terkenang akan suatu malam saat SMA, ketika dia masih mengerjakan pesanan kartu Valentine hingga tengah malam, ibunya masuk kamar. Dia pikir sang ibu akan marah. Sebaliknya, ibunda menawarkan apa yang bisa dia bantu.
Darah seni Iwan mengalir dari kakeknya, seorang dalang. Peristiwa tahun 1965 membuat sang kakek ditangkap dan dipenjara selama 13 tahun dan aktivitas mendalang berhenti. “Simbah menari juga. Aku diajari menari, menggambar, dan membaca huruf Jawa. Pakde juga pintar menggambar, aku diajari menggambar, bikin patung dari tanah liat,” kenangnya.
Tak hanya “menikahkan” seni rupa dan seni pertunjukan, mereka pun menikah tahun 2007. “Kami menikah karena mau bikin karya,” ujar Iwan, disambut tawa berderai Ria.
Residensi di Amerika Serikat selama enam bulan tahun 2009 mengubah banyak hal, terutama jati diri Papermoon. Di sana mereka bertemu 70 seniman teater boneka dari berbagai negara yang melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan di Indonesia. Di Tanah Air, mereka memulai teater boneka tanpa patron dan pembanding. Kebanyakan yang ditemui seniman teater tradisional yang berlainan sekali napasnya dengan teater boneka yang mereka inginkan.
“Enggak selamanya mulus ya. Di pertengahan residensi, kami enggak saling ngomong. Tetapi karena enam bulan itu intens, ketemunya hanya berdua, brainstorming ya berdua, akhirnya banyak dapat hal baru. Papermoon pun terlahir kembali,” ungkap Ria.
Lahirlah lakon Mwathirika, kisah tentang kehilangan keluarga berlatar tragedi 1965. Saat itulah, Papermoon menghapus bahasa verbal dari pementasan mereka. Alasan pertama, lakon itu bicara sejarah senyap. Alasan lain, suara boneka itu milik pemainnya, bukan? Maka, gerak boneka menjadi bahasa utama, dilengkapi komposisi musik dan tata cahaya.
Wajah boneka pun berubah. Kekhasan raut wajah boneka Papermoon, yakni wajah melamun, adalah pencarian Iwan. Ekspresi itu diambil dari wajah melamun manusia dengan tarikan sedih, senang, marah yang tipis. Itu adalah wajah dalam posisi paling kendor.
“Sampai tahun 2009, boneka Papermoon ekspresinya kuat. Senang ya gembira sekali, marah ya galak sekali. Terkunci di satu emosi. Mulai 2010, setelah banyak pencarian, kami temukan bahwa dengan wajah melamum, ekspresi yang bisa diisi jauh lebih banyak. Wajah netral, tapi enggak kosong, karena dalam satu cerita rentang emosi bisa sangat panjang,” papar Ria.
Lakon demi lakon pun mengalir, meninggalkan jejak-jejak khusus di hati penonton setianya. Ya, penonton Papermoon memang mendapat tempat spesial dalam karya mereka. Iwan dan Ria yakin, dalam pementasan teater boneka, ada segitiga kepercayaan yang dibangun antara kreator, karya, dan penonton.
Papermoon banyak berkolaborasi dengan banyak seniman teater boneka mancanegara dan pekerja seni Tanah Air. Bersama penyanyi Tulus, Papermoon muncul dalam video klip Manusia Kuat dan konser Monokrom. Papermoon juga mengisi salah satu adegan film Ada Apa Dengan Cinta 2. Persentuhan-persentuhan tersebut kian memperkaya Papermoon, baik karya maupun pribadi anggotanya.
Tak kering
Dengan bekal tersebut, di masa krisis akibat pandemi Covid-19 ini, mereka jadi tak kering ide. Memang pandemi telah membatalkan tur mereka ke tujuh negara tahun ini, walakin mereka tak lantas meratapi nasib.
Yang pertama mereka lakukan adalah rapat berlima dengan agenda menjawab pertanyaan: di titik ini apakah mereka masih mau memperjuangkan Papermoon. Mereka seperti kembali ke titik awal dan tidak tahu ke depan bakal seperti apa.
“Yang segera kami cari tahu, Papermoon bisa berfungsi apa. Kami sadar betul banyak teman jadi banting setir jual makanan, bikin masker. Lalu, tugas seniman apa dalam kondisi ini. Waktu itu kami sepakat, yang harus dijaga adalah energi positif. Itulah yang bisa kami nyalakan lewat seni,” ujar Ria.
Obrolan itu justru menguatkan. Mereka menemukan kembali hal-hal dasar mengapa mereka tetap melakukannya. Mereka sadar, dunia sedang melambat.
Maka, mereka memulai dari hal-hal yang dekat, yang kecil, untuk sekitar mereka. Papermoon lantas menggelar seri bincang-bincang di Instagram bertajuk "In This Time" bersama seniman dari 18 negara. Hasil bincang-bincang itu justru semakin menguatkan Papermoon untuk bersetia di jalannya.
Melihat bahwa masyarakat tetap mengonsumsi hiburan lewat berbagai kanal daring, mereka membuat karya untuk pertunjukan virtual, yakni In Your Pocket (Story Tailor), A Bucket of Beetles, dan I Know Something You Don’t Know. Mengejutkan bagi mereka, karena kekhasan karya Papermoon, seperti interaksi, keintiman dengan penonton, tur belakang panggung tetap terjaga layaknya pentas di panggung.
Iwan dan Ria semakin terkesan ketika membuka sistem barter untuk tiket. Karya mereka bisa ditonton bareng oleh satu komunitas anak-anak miskin kota di Yogyakarta dengan barter dua karung pupuk kandang. Bahkan, sebuah komunitas di Maumere, Flores, juga bisa menonton bareng dengan barter buku.
Dengan pengalaman gaya virtual ini, ke depan mereka bisa mempertimbangkan untuk menciptakan karya dalam dua kanal karena setiap lakon punya karakter masing-masing.
Di mata Iwan, kanal daring yang tadinya sekadar alternatif, kini bisa jadi pilihan. Kesadaran untuk membuat bentuk virtual kini sudah jadi bagian konstruksi kreatif. Tidak terpisah dan bukan alih wahana. Memang rasanya berbeda. Margin ekonominya pun tak besar. Namun, persiapan tak serepot pentas live.
“Mungkin karena medium kami teater boneka, mau live atau enggak, yang dilihat bonekanya. Boneka yang diperhatikan, bukan orangnya,” ucapnya.
Medium itu meruntuhkan keakuan sejak awal. “Kalau mau terkenal, jangan masuk Papermoon ya. Yang terkenal bonekanya, bukan orangnya. Ha-ha-ha.. Sama seperti Elmo, semua orang tahu, tapi enggak tahu Kevin Clash itu siapa,” kata Ria.
Mimpi
Mereka juga merasa 14 tahun perjalanan belumlah apa-apa. Adaptasi terus terjadi, bukan semata dalam bentuk, melainkan proses. Kalau ditanya, ke depan Papermoon mau dibawa ke mana, jawab mereka lugas: dibawa kemana-mana.
Barangkali juga, menurut Iwan, mimpi mereka cukup sederhana. Bukan berada di panggung tertinggi, melainkan terus berada di jalan yang sudah dirintis karena merawat itulah tantangannya. Bagi mereka berdua, Papermoon ibarat estafet yang entah ada garis akhirnya atau tidak.
“Kalau tahu kisah maestro dunia seni yang karyanya penting tapi kehidupannya hancur, aku sih enggak suka ya. Kalau di sini, lagi bikin karya, dipanggil ‘Pak Iwan, ronda!’ ya berangkat,” ujar Iwan, yang gemar bersepeda di kala senggang.
Ria ingat ketika di AS sempat melihat Peter Schumann, tokoh teater boneka, berusia 80 tahun, pegang botol bir, dan naik egrang 4 meter sambil joget. “Aku cuma nunjuk dia dan bilang, ‘Aku pengin menua kayak dia’. Di usia senjanya dia masih bisa bersenang-senang dengan hidupnya, bikin karya, berbagi dengan banyak orang,” imbuhnya.
Mimpi besar memang ada. Ria menyebut keinginan untuk membuat museum teater boneka, meski belakangan dihapus dari daftar impian. Ada juga keinginan mendirikan sekolah dan toko tanaman.
Toko tanaman sudah terwujud, Se.manggi, yang berada di Kedai Kebun Forum. Bukan ingin menjual aglonema atau monstera, tetapi toko itu menjadi tempat Ria bertemu dan bersosialisasi dengan banyak orang.
Perjalanan selama 14 tahun Papermoon tertuang dalam buku Selepas Napas yang terbit tahun ini. Selain catatan dari anggota Papermoon, buku itu juga berisi cerita dari pihak-pihak yang pernah bersentuhan dengan Papermoon, di antaranya aktor Nicholas Saputra; sutradara Riri Riza; penata musik Yennu Ariendra; dan desainer grafis untuk Papermoon, Gamaliel W Budiharga.
Yang terpenting, kata Ria, adalah semua yang berada di Papermoon merasa bahagia. Apapun pilihannya, selagi bisa gembira, itu yang harus diperjuangkan.