Potret Realitas Amelia Hapsari
Sejak jatuh cinta pada film dokumenter lebih dari 20 tahun lalu, bisa dikatakan Amelia Hapsari mendedikasikan hidup untuk jenis film ini. Perjalanan yang tak mudah mengingat film dokumenter masih berada di ”pinggiran”.
Sebuah negara tanpa film dokumenter bagaikan sebuah keluarga tanpa album foto. Pernyataan Patricio Guzman, pembuat film dokumenter asal Chile, ini selalu terngiang di benak Amelia Hapsari. Kata-kata itu senantiasa memompa semangatnya untuk tak lelah menekuni dunia film dokumenter agar kita bisa memiliki potret terbaik tentang negeri ini.
Coba tanyakan soal seluk-beluk film dokumenter kepada Amelia. Direktur Program In-Docs ini bakal antusias berbincang dari A sampai Z. Begitulah yang terjadi saat jumpa virtual, Rabu (12/8/2020).
Sejak jatuh cinta pada film dokumenter lebih dari 20 tahun lalu, bisa dikatakan hidup Amelia didedikasikan untuk jenis film ini. Perjalanan yang tak mudah mengingat film dokumenter masih berada di ”pinggiran”.
Ketertarikan Amelia pada film dokumenter dipicu peristiwa kurang menyenangkan. Selepas sekolah, dia terbentur pada kenyataan yang disodorkan oleh Reformasi 1998. Sebagai keturunan Tionghoa, dia merasa, cerita tentang etnis tersebut telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga melahirkan pengotak-ngotakan yang merugikan. Terpukul dengan kondisi itu, Amelia pun bersemangat mencari tahu seluk-beluk etnis Tionghoa di Indonesia.
”Wow, mereka (pemerintah) sudah sedemikian lama menutup-nutupi banyak hal, pikir saya. Demokrasi ini bisa jadi kesempatan saya untuk berperan membuat cerita sendiri, supaya cerita-cerita itu didengar, supaya tidak di-framing lagi seperti masa lalu,” paparnya.
Dia lalu melanjutkan kuliah di Ohio, Amerika Serikat. Kesempatan itu dipakai untuk belajar tentang apa saja di luar jurusannya, seperti psikologi, politik, dan linguistik. Minatnya semula pada dunia media massa menguap saat dia tahu lebih jauh tentang lingkaran bisnis, media, dan kekuasaan.
Di tahun terakhir kuliah, datang kesempatan membuat film dokumenter. Dia gembira karena bisa bertemu, kenal, dan masuk ke dalam kehidupan orang-orang yang selama ini tak dikenalnya, lalu menceritakannya kembali lewat film.
”Bagi saya, yang paling masuk akal dan bisa mengakomodasi kemampuan saya, ya, film dokumenter. Saya merasa, ’Ini gue banget’. Di satu sisi saya suka belajar, di sisi lain suka bercerita. Saya tertarik medium visual, bagaimana cerita secara visual bisa membukakan begitu luas perspektif pengetahuan, termasuk hal-hal yang disembunyikan dari mata publik,” kata Amelia mengenang.
Bagi saya, yang paling masuk akal dan bisa mengakomodasi kemampuan saya, ya, film dokumenter. Saya merasa, ’Ini gue banget’.
Film dokumenter pertama Amelia berkisah tentang anak-anak jalanan di Semarang dan Yogyakarta. Waktu itu dia mendapat hibah 1.500 dollar AS, yang 1.000 dollar AS di antaranya habis untuk tiket pesawat. Dengan kamera pinjaman kampus, dia membuat film dalam waktu tiga bulan dan menyunting selama setahun.
Tidak menyerah
Walakin, semangat saja tak cukup. Dia tetap harus bekerja untuk hidup. Amelia mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah sehingga tetap bisa membuat film dokumenter. Dia lalu bekerja di stasiun radio di Beijing, China. Lumayan, bisa menggali lebih banyak sejarah keluarga, pikirnya.
Ia kembali ke Indonesia karena masih ingin membuat film dokumenter. Bertemu Shanty Harmain, ia ditawari membuat film dokumenter tentang perjalanan Basuki Tjahaja Purnama dari Bangka Belitung meraih kursi di DPR.
”Pembuat film dokumenter bisa punya akses ke cerita-cerita yang sulit dipercaya. Hal itu memicu semangat saya bahwa kita enggak harus bermain dengan cara-cara lama untuk meraih sesuatu,” tutur Amelia.
Namun, lagi-lagi, tak ada pendanaan. Produksi terhenti. Basuki gencar bertanya bagaimana nasib filmnya. ”Aduh, gimana, ya. Gara-gara film itu juga saya enggak bekerja beberapa bulan. Tabungan habis,” imbuhnya.
Dia pun menerima tawaran bekerja di rumah produksi di Timor Leste. Dalam pesawat saat perjalanan, dia sudah merasa di situlah tempatnya. Sebagai negara yang baru berdiri, perlu cerita yang bisa menyatukan warganya sebagai satu bangsa.
Pendiri rumah produksi itu, pastur asal Swiss, mengumpulkan cerita-cerita dari penjuru negeri, melatih orang menjadi juru kamera, editor, penulis naskah, animator, supaya bisa membuat cerita yang ditayangkan di televisi nasional. Amelia melanjutkannya.
Rupanya tantangan yang diterimanya sangat besar. ”Mungkin itu pekerjaan terberat yang pernah saya terima. Tiap hari tidur pukul 03.00 atau 04.00 karena banyak sekali yang harus dibenahi. Tekanan emosional sangat tinggi. Tetapi, itu harus saya terima. Membuat film memang bukan rocket science, tetapi kalau enggak berusaha, enggak bakal bisa,” ujarnya.
Tiga tahun berselang, Amelia kembali ke Jakarta dan bergabung di In-Docs sampai sekarang.
Realitas kreatif
Amelia tidak secara khusus sekolah film dokumenter. Dia mengembangkan kemampuan lewat beragam pelatihan. ”Tidak seperti bikin makalah, tapi juga tidak seperti fiksi. Kita mencari tokoh yang membawa penonton mengikuti kisahnya menuju sebuah tujuan tertentu. Dokumenter itu realitas yang diceritakan secara kreatif. Perspektif pembuatnya sangat penting. Setelah ikut workshop, baru sadar. Pantas, kok, film-film saya yang dulu membosankan. Ha-ha-ha,” katanya.
Dari pengalamannya, dia paham betul, yang paling dibutuhkan film dokumenter adalah pendanaan dan distribusi. Tanpa itu, film tak akan ke mana-mana meskipun produk dan talentanya bagus.
In-Docs lalu beralih dari produsen film dokumenter menjadi platform pendanaan dan distribusi. Tahun 2015, In-Docs berkolaborasi dengan Steps, organisasi dokumenter di Afrika Selatan yang punya jaringan global. Lahirlah inisiatif Dare to Dream Asia meskipun tidak berhasil menggalang dana untuk seluruh biaya produksi film terpilih.
Tahun 2017, tercetus program Docs by the Sea, forum film dokumenter Asia Tenggara, kerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
”Di Docs by the Sea kami mengurasi film dokumenter yang masih dalam tahap produksi, mencari dana, dan kolaborasi. Kami beri pelatihan agar bisa pitching kepada industri perfilman dari seluruh dunia. Biasanya ada 30-an pihak, tetapi tahun ini kami sudah dapat 70 pihak penyandang dana, distributor, dan stasiun penyiaran,” papar Amelia.
Dengan platform ini, perkembangan film dokumenter melesat. Sampai tahun ketiga penyelenggaraan, dari 74 proyek yang didukung, 20 di antaranya sudah menjadi film yang ditayangkan di lebih dari 90 festival film di seluruh dunia. Sudah ada kesepakatan penyiaran dengan sejumlah stasiun global.
Sebenarnya bakat sineas dokumenter Indonesia cukup bagus. Pendanaan tidak memadai membuat produknya kurang bagus. Akibatnya, orang malas menonton. Ketika digarap dengan pendanaan memadai, ditangani kelas internasional, hasilnya sangat bagus.
Kenapa di skala internasional, karena pintu di Tanah Air tak kunjung terbuka. Amelia telah lama mengetuk pintu stasiun penyiaran dalam negeri, tetapi mereka bergeming. Mereka bilang, tak ada penontonnya.
Industri internasional pun tak mudah. Mereka tidak mau film recehan karena mereka bukan badan amal. Masuk ke festival internasional juga mahal dan belum tentu terpilih.
”Film dokumenter Asia Tenggara ibarat suara yang hilang, terus-terusan tidak terdengar. Penonton (internasional) lapar sebetulnya. Baru tahu kalau ada The Act of Killing, misalnya. Sayangnya diceritakan orang lain. Mereka ingin film yang diceritakan pembuat film lokal sehingga fresh dan original,” tutur Amelia.
Itulah sebabnya, investasi pada bakat-bakat film dokumenter mutlak dilakukan. Merekalah yang bakal menjadi suara komunitasnya sendiri, tidak lagi dari sudut pandang orang lain yang punya modal dan kemampuan teknis.
Kini, kesibukan Amelia bertambah setelah terpilih menjadi anggota Academy of Motion Picture Arts and Sciences yang berhak memberikan suara untuk film penerima Piala Oscar. ”Setiap pekan saya dikirimi e-mail: sudah ada sekian film dokumenter di screening room, silakan ditonton. Saya cicil menonton supaya bisa vote. Ada juga notifikasi tawaran untuk bergabung dalam mentoring,” ujarnya.
Kegiatan anggota Academy tidak hanya memilih film, tetapi juga menjadi mentor sineas muda supaya suatu saat mereka bisa masuk ke Oscar. Oscar, kata Amelia, adalah puncak sinema. Dia tidak akan hidup jika tidak ada bibit baru. Inilah yang diambilnya sebagai pelajaran bagi film dokumenter Indonesia. Kalau tidak menanam, tentu tak akan memanen.
Pada akhirnya, cerita-cerita orisinal yang dikisahkan dengan cara kita, oleh kita, yang akan menjadi masa depan.
BIODATA
Chiara Amelia Hapsari
Lahir: Semarang, 25 Juni 1979
Pendidikan:
- Master of Arts in Mass Communication Ohio University (2005)
- Bachelor of Science in Telecommunication Ohio University (2001)
Kemampuan bahasa:
Indonesia, Inggris, Tetum, Jerman, Mandarin, Jawa
Pengalaman:
- Program Director In-Docs (Indonesia, 2012-sekarang)
- Direktur Casa de Produção Audiovisual (Timor Leste, 2009-2012)
- Foreign Expert China Radio International (Beijing, China, 2005-2009)
- Penerjemah untuk berbagai perusahaan (2005-2009)
- Course reporter International Organization for Migration (Indonesia, 2005)
- Web designer Lindley Cultural Center (Ohio, Amerika Serikat, 2004-2005)
- Asisten dosen di Ohio University (2003-2004)
- Asisten produksi WOUB TV (Ohio, 1999-2004)
Karya:
- About Love (Produser eksekutif, Dare to Dream Asia 2019, India)
- Diary of Cattle (Produser eksekutif, IF/THEN 2019, Indonesia)
- Rising from Silence (Produser, Dissapearing Sounds 2018, Indonesia)
- Future Cries Beneath Our Soil (Produser eksekutif, Dare to Dream Asia 2018, Vietnam)
- Turning 18 (Produser eksekutif, Dare to Dream Asia 2018, Taiwan)
- The Next Guardian (Produser eksekutif, Dare to Dream Asia 2017, Bhutan)
- Roots (Sutradara/produser, 2014, Indonesia)
- Fight Like Ahok (Sutradara/produser, 2012, Indonesia)
- The Youth Parliament (Sutradara/produser, 2011, Timor Leste)
Penghargaan, antara lain:
- New Talent Award Sheffield Doc Fest 2019, Inggris Raya, untuk film About Love
- Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2018 untuk film Rising from Silence
- Silver Screen Award Singapore International Film Festival 2018 untuk film Future Cries Beneath Our Soil
- Film Dokumenter Pendek Terbaik XXI Short Film Festival 2014 dan Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Dokumenter 2014 untuk film Roots
- Special Jury Mention Freedom Film Fest 2012 Malaysia untuk film Fight Like Ahok
- Next Generation Award Prix Jeunesse International Children TV Festival 2012, Munich, untuk film The Youth Parliament