Film Pedas Yulia
Sama halnya dengan kegemarannya memasak, memproduksi film bagi Yulia Evina Bhara (38) bagaikan meracik aneka bahan dengan takaran tepat supaya tercipta sajian nan lezat.

Yulia Evina Bhara produser film
Sama halnya dengan kegemarannya memasak, memproduksi film bagi Yulia Evina Bhara (38) bagaikan meracik aneka bahan dengan takaran tepat supaya tercipta sajian nan lezat. Seperti rasa pedas yang disukainya, Yulia ingin agar film buatannya pun terasa ”pedas”.
Memulai perjumpaan di ruang virtual, Jumat (17/7/2020) siang, Yulia menunjukkan peralatan yang kini diakrabinya saat harus bekerja dari rumah. ”Ini mik, salah satu alat Sandiwara Sastra. Kalau buat meeting yang perlu jelas banget, nah... ini dia,” ujarnya.
Pandemi memaksa Yulia sering bekerja secara virtual. Pertemuan demi pertemuan dengan insan perfilman di berbagai belahan dunia kerap menyita waktunya hingga dini hari.
Proyek garapan Yulia terpilih untuk pitching atau penawaran ke Visions du Reel dan Cannes Docs, yakni film dokumenter berjudul Voice of Baceprot tentang tiga musisi dari Garut. ”Kalau meeting di project market biasanya pukul 09.00-18.00. Sekarang, saya mulai pukul 14.00 karena mereka di Eropa masih pagi. Kalau dengan mereka di Amerika, bisa selesai pukul 02.00. Itu kliyengan juga. Komputernya panas, kepala juga,” selorohnya.
Yulia memilih fokus pada produksi bersama internasional (international co-production). Proses film biasanya berjalan mulai dari aplikasi ke laboratorium (lab) film, pengembangan skrip, lalu pencarian dukungan finansial dari lembaga internasional. Prosesnya lama, butuh waktu dan kesabaran. Setahun ke lab belum cukup, jadi dua tahun. Mitra co-producer di negara tujuan pun harus dicari lagi kalau tidak ”berjodoh”.
Pola semacam itu, menurut Yulia, jarang dilakoni sineas Indonesia karena prosesnya lama. Kenapa mau berumit-rumit seperti itu karena di situ letak kenikmatannya. ”Bikin film susah, tapi kalau sudah kelar filmnya, ketagihan bikin lagi,” katanya sembari tertawa.
Awalnya, film-film yang diproduseri Yulia agak sulit mendapatkan dukungan finansial dari Indonesia karena tidak ada pendanaan khusus untuk produksi film. Tidak banyak pihak tertarik dengan film dengan tema- tema tertentu, di luar yang sering dinikmati masyarakat pada umumnya.
Namun, pendanaan bukan satu-satunya faktor. Yang utama justru soal mewujudkan visi artistik film yang bisa dicapai melalui kolaborasi dengan sineas dari berbagai negara. Selain itu, film yang diproduksi nantinya bisa dinikmati penonton lebih luas di luar Indonesia. Misalnya film Autobiography yang tengah digarapnya, diproduksi bersama editor dari Filipina dan direktur fotografi dari Polandia.
Menjadi produser bersama internasional, Yulia juga turut memproduseri film-film luar negeri. Di antaranya Tiger Stripes karya sutradara Malaysia, Amanda Nell Eu, dan film Whether the Weather is Fine karya sutradara Filipina, Carlo Francisco Manatad. Carlo inilah yang akan menjadi editor Autobiography.
Berbagai pengalaman saat pitching dan pertemuan di project market adalah ruang belajar untuk mengasah kemampuan Yulia di dunia pembuatan film. ”Deg-degan selalu ada. Dari waktu ke waktu karena sering melakukan, saya jadi makin bisa. Mereka ingin melihat kita sebagai manusia yang bercerita, tidak dibuat-buat. Kalau pitching sebelumnya sudah sedih suasananya, saya mungkin akan melawak dulu. Soalnya, bahasa Inggrisnya juga enggak bagus. Jadi nekat aja,” katanya, terkekeh.

Yulia Evina Bhara produser film
Sekolah kehidupan
Tidak mengenyam pendidikan formal perfilman, Yulia justru belajar banyak dari proses produksi film. Sekalian sekolah kehidupan, katanya. Dia memulai dari memproduksi pertunjukan teater yang berujung mendirikan Titimangsa Foundation tahun 2007 bersama aktris Happy Salma. Belum lama ini, mereka berdua bersama-sama memproduseri Sandiwara Sastra.
Ketertarikan pada dunia film menuntun dia mendirikan KawanKawan Film tahun 2013, yang kini bernama KawanKawan Media. ”Saya pikir, teater itu prosesnya panjang, pementasan sebentar, lalu yang terjadi hari ini belum tentu terjadi pada hari berikutnya. Pasti enggak sama. Misalnya dipentaskan di lain waktu, perlu mulai dari awal lagi. Di film, proses panjang, tetapi hidupnya bisa lebih panjang, ditonton banyak orang dan dengan banyak medium,” kata Yulia.
Namun, setelah dia memikirkan lagi, sebenarnya ketertarikan pada sinema tumbuh sejak kecil. Di gang masuk rumah masa kecilnya di Way Halim, Bandar Lampung, berdiri bioskop. Ke situlah sang ayah sering membawa Yulia kecil menonton film. Film Indonesia, Hong Kong, dan film-film lain yang tidak begitu dikenalnya dilahapnya. Dia ingat, film Cinta dalam Sepotong Roti ditontonnya di bioskop lawas itu.
Dari situlah, sinema menjadi tempat istimewa baginya untuk sejenak hening, menyerah pada apa yang dilihat, pada kegelapan, dan menikmati yang tersaji di layar. ”Apa pun filmnya, saya merasa melihat cermin. Di situ ada kenyataan walaupun bukan bagian dari kehidupan kita atau jauh dari kita. Kehidupan sehari-hari ya isinya seperti itu,” ujarnya.
Kesukaannya pada sinema bukan semata pada apa yang tersaji di layar, melainkan pada bagaimana sajian itu bisa terhidang di layar. Pertanyaan ”Gimana sih bikinnya, kok bisa kayak gitu?” lebih sering menggelayutinya. Maklum, bukan tipe penampil, katanya.
Kegiatannya berorganisasi semasa sekolah dan kuliah mengantarnya dekat dengan isu-isu aktivisme dan kemanusiaan. Film-film yang diproduserinya banyak mengangkat tema di luar tema arus utama. Film Istirahatlah Kata-kata (Solo, Solitude) yang dia produseri, misalnya, adalah bagian dari gerakan pengingat tentang mereka yang ”hilang” atau ”dihilangkan” secara paksa. Film On the Origin of Fear berlatar peristiwa 1965.
Film terbaru yang diproduserinya, The Science of Fiction atau Hiruk Pikuk si Alkisah, juga bertutur tentang pembungkaman kebenaran. ”Penonton Indonesia mulai menonton banyak film. Film dengan tema- tema tertentu harus sering dibuat untuk memberi pilihan bagi penonton agar mereka terbiasa,” ujar Yulia.
Film-film tersebut memenangi banyak penghargaan di beragam festival film internasional. Sambutan di dalam negeri pun luar biasa. Banyak komunitas menggelar nonton bareng Istirahatlah Kata-kata yang memotret sepenggal perjalanan penyair Wiji Thukul. Awalnya film itu hanya tayang di 19 layar bioskop. Kemudian banyak penonton yang berinisiatif membeli tiket dan booking studio di sejumlah kota sehingga layar bertambah banyak. Setelah pemutaran, digelar diskusi dan pembacaan puisi Wiji Thukul.

Yulia Evina Bhara produser film
Kebebasan
Yulia bersyukur sampai saat ini dia bisa membuat film yang disukainya. Keluarganya, meskipun tidak ada yang terjun ke dunia seni, mendukungnya penuh. Dia diberi kebebasan untuk memilih apa yang disukainya, seperti film, mitra kerja, dan sutradara.
Terngiang di pikirannya tentang ucapan sang ayah. ”Waktu saya jadi aktivis, Bapak selalu bilang, ’Kalau mau terlibat sesuatu, jangan di barisan belakang. Harus di depan. Kalau di belakang, tidak akan mengerti apa yang terjadi’. Walaupun ketika saya jadi aktivis, mereka pusing. Aduh, demo melulu,” ujarnya, terbahak.
Dari kegiatan sebagai aktivis pula, Yulia mendapatkan keahlian lain: memasak. Awalnya kepepet, dia akhirnya gemar memasak. Selain sinema, dapur adalah tempat yang paling disukainya untuk relaksasi.
Dia pun menganalogikan film produksinya dengan masakan racikannya. Jika ditanya soal seperti apa film buatannya, Yulia akan langsung menjawab, ”Yang pedas, superpedas.”
Ibarat sambal petai, yang panas, menyengat lidah, tapi bisa bikin nambah. Kenikmatannya pun terus tertinggal di indra perasa dan di memori.
Ke depan, Yulia berharap bisa konsisten dengan pola produksi film internasional yang menantang tapi sangat membuka cakrawala. Dia ingin agar karya kolaborasi bisa lebih banyak terwujud.
Bagaimanapun membuat film adalah kerja kolaboratif. Terlebih, kerja produser bukan kerja administratif, melainkan kerja kreatif bersama sutradara dan sistem pendukung lainnya. Dengan demikian orang melihat profesi produser sebagai pekerjaan yang akan berkembang.

Yulia Evina Bhara produser film
Yulia Evina Bhara
Lahir: Blambangan Umpu, 1 Juli 1982
Pendidikan: Jurusan Bahasa dan Seni, Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung (tidak selesai)
Beberapa Karya:
a. Teater:
- Pertunjukan Hanya Salju dan Pisau Batu (2010)
- Monolog Inggit (2011)
- Monolog Ronggeng Dukuh Paruh
- Miss Julie (2012)
b. Film:
- ”On the Origin of Fear” (film pendek, sutradara Bayu Prihantoro Filemon, 2016)
- ”Ballad of Blood and Two White Bucket” (film pendek, sutradara Yosep Anggi Noen, 2018)
- ”Istirahatlah Kata-Kata” (sutradara Yosep Anggi Noen, 2016)
- ”The Science of Fiction” (sutradara Yosep Anggi Noen, 2019)
- ”Autobiography” (sutradara Makbul Mubarak, tahap pra produksi)
- ”You and I” (sutradara Fanny Chotimah, 2020)
Sandiwara Sastra, kolaborasi dengan Titimangsa Foundation dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.