Perginya ”Sang Bapak Lara Ati” yang Rendah Hati
Selamat Jalan Didi Kempot. Hati yang disentuh karyamu, juga kerendahan hatimu, menjadi kenangan.
Sikap rendah hati seorang ”Lord Didi Kempot”, begitu dia dijuluki para penggemarnya, sangat terasa saat berbincang dengannya per telepon, Rabu (8/4/2020).
Saat itu beberapa hari jelang Konser Amal dari Rumah Didi Kempot di Solo, Jawa Tengah, bekerja sama dengan Kompas TV. Konser amal itu digelar secara langsung di akhir pekan.
Memang sama sekali tak pernah terpikir percakapan tersebut bakal menjadi wawancara terakhir dengan sang legenda, ”The Godfather of The Broken Heart” alias ”Bapak Lara Ati”.
Di awal perbincangan, Didi mengaku merasa sangat bangga, senang, dan bahkan berterima kasih sudah ikut dilibatkan. Tak terkesan sedikit pun dari seorang Didi yang ingin menunjukkan dirinyalah justru sang penentu sukses tidaknya konser amal itu.
Saat ditanya berapa lagu rencananya mau dia bawakan, dengan ringan Didi menjawab tak membatasi dan semua diserahkan teknisnya ke penyelenggara sesuai durasi yang diberikan.
”Saya hanya berharap para dermawan, berapa pun besarannya, mau menyisihkan rezeki. Yang penting ikhlas berdonasi. Kalau bisa terkumpul banyak, alhamdulillah. Nanti untuk membantu, entah buat sukarelawan medis atau yang terkena dampak (pandemi Covid 19) atau untuk dibagikan dalam bentuk bahan pokok,” ujarnya ringan.
Belakangan acara itu memang meraih sukses besar. Dana amal senilai Rp 7,6 miliar terkumpul hanya dalam beberapa jam acara itu digelar. Malahan, seperti juga diwartakan Kompas, server Kitabisa.com tempat menggalang dana sempat down saking tingginya antusiasme dari para Sadbois (Sad Boys), Sadgerls (Sad Girls), dan Sobat Ambyar, sebutan fans Didi.
Didi dikabarkan meninggal pada Selasa (5/5/2020) pagi setelah sempat dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Oleh dokter yang menangani Didi dinyatakan meninggal setelah tiba di RS pukul 07.25 dalam keadaan tak sadar dan tanpa denyut jantung.
Dia pergi di usianya yang ke-53 tahun dan akan dimakamkan di tanah kelahirannya, Ngawi, Jawa Timur.
Karier bermusik Didi terbilang panjang bahkan hingga puluhan tahun. Namanya kerap akrab dan identik terutama di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Para kaum perantauan, macam para buruh migran, yang melanglang buana mengadu nasib ke negeri orang. Juga kalangan diaspora Indonesia macam yang ada di Belanda dan Suriname.
Namanya kembali melejit, terutama di kalangan generasi milenial, sejak beberapa tahun terakhir. Terutama pasca-kemunculannya di ajang musik kekinian, Synchronize Festival 2019 di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta.
Kemunculannya di acara puncak hari terakhir terbilang ”pecah” disambut antusiasme penonton yang tinggi. Kehadiran namanya di kalangan generasi milenial boleh jadi semakin menguat kala Didi muncul di acara off air vlogger Gofar Hilman, #ngobam Didi Kempot.
Tercatat hingga tulisan ini dibuat, tayangan video di akun Youtube Gofar Hilman itu telah menangguk views hingga lima jutaan. Lewat perbincangan di acara itu, para penggemar muda memang semakin mengenal sosok Didi, perjalanan, serta perjuangan kerasnya semenjak muda.
Seperti pernah ditulis Kompas, Figur: ”Lord Didi” Kembali Muda (Minggu, 29 September 2019), Didi memulai perjalanan kariernya dari bawah sekali. Dia sempat lama mengamen di kawasan Keprabon, Solo, Jawa Tengah, yang juga dikenal sebagai pusat jajanan di ”Kota Seni” itu.
Dengan berbekal gitar hasil menjual sepeda pemberian bapaknya, pelawak Ranto Eddy Gudel, Didi produktif mencipta dan membawakan lagu-lagunya sendiri. Nama Kempot sendiri berasal dari singkatan Kelompok Pengamen Trotoar tempatnya dulu bergabung.
Sekitar satu dekade dia mengadu nasib dan hidup di jalanan di kawasan Keprabon sebelum kemudian memutuskan melanglangbuana ke Jakarta jelang akhir 1985. Tepatnya di kawasan Bundaran Slipi ketika itu.
Banyak karya populernya lahir saat Didi di jalanan. Salah satunya ”Cidro”, yang menggambarkan pengalaman patah hati sang Godfather dalam bercinta. Patah hati bukan lantaran ditolak atau diputus sang pujaan hati, melainkan lebih lantaran penolakan pihak keluarga sang kekasih, yang enggan memiliki menantu seorang pengamen berpenghasilan tak tetap.
Kebanyakan lagu Didi memang bertema seputar problematika patah hati atau luka dalam percintaan.
Walau begitu, tak semua lagu Didi bertemakan rasa galau akibat percintaan. Beberapa waktu menjelang kepergiannya Didi juga menciptakan sejumlah lagu bertema relevan dengan perkembangan situasi belakangan ini.
Krisis akibat pandemi Covid 19, yang memaksa orang untuk mengubah total kebiasaannya demi menghindari dan memutus mata rantai penularan, juga dia tangkap untuk kemudian dituangkan dalam sejumlah lagu.
Beberapa seperti ”Ojo Mudik”, jangan mudik, dan ”Tombo Teko Loro Lungo”, obat datang penyakit pergi. Keduanya terkait ajakan agar tak perlu mudik demi mencegah penyebaran virus korona serta harapan agar pandemi segera berakhir dan obat bisa segera ditemukan.
”Lagu ini berisi harapan kita bersama agar semua penyakit, termasuk virus korona, pergi begitu obatnya datang atau ditemukan. Tentunya juga harapan itu harus kita iringi dengan doa-doa. Tombo teko loro lungo, obat datang penyakit pergi. Mudah-mudahan,” ujar Didi ketika itu.
Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Didi dipastikan tak dapat menyaksikan saat lagu terakhirnya itu satu waktu nanti terwujud dan kehidupan kembali berjalan seperti sediakala. Selamat jalan Didi Kempot, selamat mengarungi keabadian dan kembali ke sisi-Nya.