Lika Liku Luka Ardhito
Hari ini, Ardhito Rifqi Pramono (24) adalah salah satu musisi dan penyanyi jazz muda paling moncer di Tanah Air. Namun, perjalanan untuk menggapai mimpinya itu sungguh penuh onak dan duri.
Hari ini, Ardhito Rifqi Pramono (24) adalah salah satu musisi dan penyanyi jazz muda paling moncer di Tanah Air. Namun, perjalanan untuk menggapai mimpinya itu sungguh penuh onak dan duri. Ardhito bahkan harus melewati satu babak tergelap dalam hidupnya: menjadi korban kekerasan seksual. Ibarat pisau belati, yang lancip dan kuat karena dipukul berkali-kali, Ardhito membuktikan bahwa dia seorang petarung.
Sore baru saja jatuh di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2020). Ardhito sedang sibuk-sibuknya. Jadwalnya hari itu penuh beragam agenda. Jumat (28/2/2020) adalah tanggal rilis album mini (extended player) terbarunya berjudul Craziest Thing Happened in My Backyard.
”Di sini musikku lebih mature. Sekarang lebih ke bosas. Antonio Carlos Jobim, Gilberto gitu-gitu. Lebih dewasa. Agak takut juga sama responsnya. Lagi deg-degan banget, nih, nunggu besok,” tuturnya.
Antonio Carlos Jobim yang disebut Ardhito adalah legenda asal Brasil yang dikenal sebagai father of bossa nova. Sementara Gilberto merupakan album bossa nova karya saksofonis Amerika Serikat, Stan Getz, dan penyanyi Brasil, Joao Gilberto, yang dirilis tahun 1964. Salah satu lagu populer di album yang juga menampilkan Jobim itu adalah ”Girl From Ipanema”.
Menyimak lima lagu dalam Craziest ThingHappened in my Backyard, terasa ada penjelajahan dengan level kesulitan baru yang disuguhkan Ardhito. Namun, penggemar lagu-lagu Ardhito tak akan kesulitan untuk lagi-lagi menyukai, bahkan jatuh cinta pada karya dia yang bercita rasa lawas itu. Craziest Thing Happened in My Backyard menyuguhkan variasi musik yang beragam, dengan tema yang merentang antara romantisme hingga fenomena urban yang mengusik Ardhito.
”Trash Talking”, misalnya, lahir karena kekesalan Ardhito pada orang-orang yang senang membicarakan hal-hal ”sampah”. Laki-laki beristri bicara soal perempuan cantik yang ditemui. Atau orang-orang yang senang pamer kekayaan. ”Datang-datang pamer jam. Gue sebel banget sama orang yang kayak gitu,” katanya. Selain itu, lagu lainnya adalah ”925”, ”Here We Go Again/Fanboi”, ”Plaza Avenue”, dan ”Happy”.
Craziest Thing Happened in My Backyard dia pilih sebagai judul bukan tanpa makna. Ardhito punya penjelasan. Bila dirinya adalah sebuah rumah, maka halaman belakang adalah tempat untuk meletakkan seluruh luka dan semua kenangan, apa pun itu, baik dan buruk, bahkan yang paling gila pun.
Masa kelam
Karier Ardhito di dunia musik bisa dibilang masih seumur jagung, baru lima tahun. Namun, perjuangannya tak sesingkat itu, juga tak semulus yang mungkin dipikirkan orang. ”Sebenarnya dari dulu sudah berjuang jadi musisi, tanpa disadari. Dari SMP, pernah bikin band,” kenang Ardhito.
Saat masuk jenjang SMA, Ardhito sempat masuk sekolah internasional. Namun, karena merasa bakat dan minatnya kurang didukung sekolah, Ardhito keluar dan memilih homeschooling seperti saran sang ibu. Saat itulah Ardhito punya kesempatan belajar lebih banyak soal produksi musik dengan bermodal laptop. Ardhito kemudian bisa membuat lagu dan rekaman sendiri walau tak pernah belajar piano secara serius. Saat itu usianya 16 tahun.
Saat melanjutkan sekolah di Australia, Ardhito memilih jurusan film karena dia tak bisa membaca dan menulis not balok. Namun, cintanya pada musik tak pernah mati. Dia belajar lagi memainkan piano, hingga akhirnya bisa membuat lagu. Pemicunya, Cosmo’s Midnight, duo DJ yang meski memainkan EDM, banyak memainkan kunci-kunci jazz.
Pulang ke Jakarta, jalan ke dunia musik terbuka. Awalnya Ardhito sempat menjajal genre disko, tetapi tak berhasil. ”Kayak aku tuh sekaku itu, jadi agak enggak bisa,” kata Ardhito.
Dari disko, Ardhito melompat ke pop rock ala Dewa 19. Gagal juga. ”Akhirnya ya udah, memutusasakan mimpi untuk jadi musisi, masuk ke salah satu digital agency,” ujar Ardhito. Di sana, Ardhito berakhir menjadi music director. Praktis, musik tak pernah benar-benar berhenti dari hidupnya.
Seorang sahabat lalu meyakinkan Ardhito bahwa akarnya yang sesungguhnya adalah jazz. Dari situ Ardhito membuat lagu jazz yang lalu menjadi soundtrack sebuah web series dan meledak. Itu mendorong Ardhito memutuskan menjadi musisi secara penuh. Dia bergabung dengan sebuah manajemen.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Sebuah kejadian pahit membuktikan fakta kelam dunia hiburan yang sempat menjadi ketakutan Ardhito dan orangtuanya. ”Dalam artian Weinstein case-lah, kayak si Harvey Weinstein that happens to me,” katanya dengan suara sedikit tercekat.
Ardhito jelas shock. Kala itu usianya baru 18 tahun. ”Saat itu enggak tahu kalau itu, misalnya, sexual assault yang I was having. I was been assaulted. Saat itu posisinya karena ya enggak tahu aja. Anak muda, I wanna be famous, I wanna be a musician. I have to trust everybody, and that happened. Akhirnya memutuskan untuk cabut dari manajemen itu. Kita berbondong-bondong cabut karena ’kesakitan’ itu,” kata Ardhito.
Sejak itu, Ardhito terus mendapat teror dari si pelaku. ”Terornya pakai WA, gue ke rumah elo deh, gue pengin buktiin kalau enggak ada yang salah dengan perlakuan gue ke elo, karena gue cuma bikin elo sempurna aja. Bikin elo enggak ada minusnya, gue pengin bikin elo terlihat bagus luar dalam,” ungkap Ardhito.
Bahkan, ada satu malam yang membuat Ardhito tak bisa memejamkan mata sama sekali karena teror yang begitu menakutkan. Lagi-lagi ia diancam akan didatangi.
”That’s the only time when I felt like I’m a little girl. Takut banget,” kata Ardhito. Ia tertawa, tetapi bukan dengan nada gembira.
Beruntung, Ardhito bisa melewati masa kelam itu. Dukungan sang ibu yang seorang hipnoterapis, juga dukungan sang kekasih, membantunya berdiri kuat.
Dengan meditasi dan zikir, Ardhito berupaya mengembalikan dirinya. ”Sekarang enggak ada rasa takut lagi. Dia juga udah enggak ganggu. Tapi itu memang masa yang kelam banget,” ujar Ardhito.
Tak padam
Meski begitu, luka itu tak bisa disangkal berjejak pada Ardhito. ”Trauma sih banyak, tapi enggak membuat gue jadi homophobia juga. Cuma memang jadi trauma kalau percaya sama orang, terlalu deket sama orang,” katanya.
Toh mimpinya tak bisa dipadamkan. Dibantu sang kekasih, Ardhito membuat show case yang menarik perhatian banyak pihak, termasuk EO dan label-label besar. Ardhito lantas bergabung dengan Sony Music Entertainment.
Akan tetapi, perjuangan belum berhenti. Sebagai musisi dan penyanyi yang mengusung jazz, Ardhito masih harus memperjuangkan musiknya. Sempat dikritik saat melepas ”Bila”, langkah Ardhito baru terasa ringan setelah melepas ”Fake Optics”.
Toh cobaan tak juga berhenti. Musisi yang secara terbuka mengakui bahwa dirinya pernah mengalami depresi ini mengatakan ada begitu banyak babak dalam hidup yang membuatnya depresi.
”Akhirnya beberapa babak itu benar-benar menempa gue jadi kayak pisau belati, lancip dan strong setelah dipukul berkali-kali. Itu buat sekarang lebih settled rasanya. Mungkin gue memang dilatih dari awal untuk bisa begini. Jadi bisa enak ke depannya,” kata Ardhito.
Saat memutuskan bergabung ke Sony, Ardhito hanya membutuhkan ”tempat berlindung”. ”Jadi dari awal enggak ada ekspektasi lebih. Enggak ada ekspektasi untuk lebih ’ngartis’. Cuma pengin rasa aman dan nyaman di dunia musik aja,” katanya.
Lagu-lagunya banyak lahir dari aktivitas meditasi yang membantunya menemukan kedamaian. Sering kali saat bermeditasi, dia menemukan bunyi yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Lalu itu menjelma menjadi lagu.
”Kadang-kadang kondisi lagi unconscious, atau lagi unconscious saat kecapekan, keluar inspirasi. Justru saat enggak ada pikiran apa pun,” katanya. Dia berharap lagu-lagu itu juga bisa menjadi jalan penyembuhan bagi orang-orang lain.
Bagi Ardhito, hal terpenting sebagai seorang musisi adalah ketika dia bisa mengidentifikasi dirinya secara sejati, bisa mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Ia sadar, jalannya masih panjang. Dia terus berharap, kelak jazz makin mendapat tempat di hati anak muda.
Setelah segala yang terjadi dalam hidupnya, Ardhito mensyukurinya. Ia tak ingin mengubah apa pun yang telah terjadi jika itu memungkinkan baginya.
”I live well, really well,” kata Ardhito.
Ardhito Rifqi Pramono
Lahir: Jakarta, 22 Mei 1995
Pendidikan:
- SD: Al-Azhar Rawamangun, Jakarta
- SMP: SMPN 115 Jakarta
- SMA: Ganesha Homeschooling
- Diploma of Television and Arts JMC Academy Sydney
Diskografi:
- Ardhito Pramono (2017)
- Playlist, Vol 2 (2017)
- Bila - OMPS Susah Sinyal (singel)
- A Letter to My 17 Year Old (2019)
- A Letter to My 17 Year Old (Live Studio Session) (2019)
- Fine Today (Original Motion Picture Soundtrack Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini) (singel)
- Craziest Thing Happened in My Backyard (2020)
Film: Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020)