Masyarakat Biner Indonesia
Media sosial memengaruhi pola pikir kita menjadi biner, hanya mengenal dua hal, hitam atau putih. Cara berpikir biner ini kemudian membuat kita terbelah karena hanya melihat seseorang sebagai lawan atau kawan. Pemilihan Presiden 2014 menegaskan hal tersebut. Kini, menjelang Pemilihan Presiden 2019, sepertinya hal itu kembali menguat.
Di sisi lain, banalitas dalam budaya pop semakin subur di era media sosial. Siapa saja bisa menjadi populer dengan segala konstruksi banal. Rupanya ini membuat banyak orang malas berpikir serius. Melupakan kedalaman.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung Yasraf Amir Piliang mengungkapkan kegelisahannya tentang pengaruh media sosial terhadap cara berpikir itu. Berikut kutipan wawancaranya.
Bagaimana Anda menjelaskan keriuhan orang-orang berebut popularitas di media sosial?
Intinya sama saja dengan fenomena budaya populer. Dulu orang memuja Michael Jackson sama dengan orang memuja di media sosial sekarang. Dulu terbatas, paling saat menonton konser Michael Jackson. Sekarang, penyebaran tokoh populer dipermudah teknologi. Efeknya berlipat ganda.
Tidak hanya berlipat ganda, tetapi juga waktunya jauh lebih cepat. Dulu tokoh menjadi populer mengumpulkan orang butuh waktu setahun sampai dua tahun, sekarang bisa lebih cepat, tetapi prinsipnya sama saja.
Itu terjadi karena logika media sosial itu sendiri. Media sosial sebenarnya, kan, perkembangan media massa. Media massa terkait dengan budaya massa. Di budaya massa sudah ada fenomena pemujaan tadi. Budaya massa itu begini, mengapa seseorang bisa begitu cepat menjadi pujaan orang, itu menggunakan logika provokasi. Orang yang cepat populer itu karena berhasil memprovokasi massa. Artinya, dia membuat orang kaget, terpesona. Ambil contoh Tukul, dari bibirnya. Bibir menjadi alat provokasi. Bisa dari tubuh, kata-kata, pakaiannya. Michael Jackson dari operasi plastiknya.
Di medsos (media sosial) berlaku sama. Siapa yang berhasil menghasilkan provokasi, dia ramai dipuja. Bedanya, di medsos bisa menggunakan teknologi. Image seseorang bisa dimanipulasi. Image orang bisa dikonstruksi secara digital. Konstruksi digital menjadi alat provokasi, lebih cantik, suara lebih bagus. Pemolesan lebih canggih.
Jika ditilik dari sisi etik, adakah yang mengkhawatirkan? Atau semua baik-baik saja?
Kita tidak bisa melihat hal ini dengan budaya sebelumnya. Perkembangan industri menjadikan budaya itu bagian dari industri. Muncullah media massa, budaya massa, budaya populer, dan seterusnya. Intinya, tipe budaya yang menjadikan penampilan yang dangkal sebagai satu cara untuk mengumpulkan publik. Kalau budaya ditampilkan dengan serius, sulit, dan abstrak, siapa yang mau dengar. Cara yang diambil budaya massa, ambil yang populer dan tampilan yang banyak disenangi orang. Tampilan yang dangkal dan banal.
Sekarang ini juga orang serba sepintas, sulit mengharapkan ada kedalaman. Kalau menampilkan tipe budaya yang mendasari kedalaman, pasti orang-orang tipe sepintas ini tidak tertarik. Akhirnya, kedalaman itu tidak punya massa.
Ini berlaku umum, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Ketika saya tanya mahasiswa, siapa pemikir yang dia kenal, mereka menunjuk orang-orang populer yang sering tampil di televisi atau media sosial. Mereka dianggap sebagai pemikir, tokoh. Begitu juga soal agama. Ketika ditanya sosok yang pemahaman agamanya mendalam, jawabannya orang-orang populer.
Padahal, banyak orang yang pemahaman agamanya mendalam, tetapi tidak pernah muncul di medsos. Yang muncul belum tentu dalam. Mereka itu orang-orang yang tampil dengan cara menarik. Kemenarikan itu sesuatu yang mutlak di medsos.
Bisa Anda jelaskan lebih detail kaitan logika media sosial dengan cara berpikir kita yang sepintas dan banal tadi?
Medsos berbasis teknologi. Sifatnya cepat. Kita membaca WA (WhatsApp) hanya sekilas, enggak pernah mendalam, hanya scanning. Karena scanning, saringannya pasti hanya yang menarik yang kita baca. Yang menarik, ya, yang provokatif tadi. Ini cara kerja teknologi mengonstruksi budaya.
Nah, lebih jauh, media sosial mengonstruksi cara berpikir kita dengan prinsip biner. Cara menilai kita ini menggunakan oposisi biner. Friend-unfriend, like-dislike, leave-join, on-off, dan follow-unfollow. Padahal, dunia kultur itu pilihannya banyak, kita bisa setengah suka, misalnya.
Simplifikasi
Itukah simplifikasi cara berpikir?
Betul! Dunia medsos yang dasarnya digital membentuk simplifikasi cara berpikir, cara menilai, cara menghayati. Budaya ikut tersimplifikasi. Susah mencari orang yang bisa menilai budaya secara nyata.
Lantas apakah masih mungkin mengembalikan pada kedalaman? Bagaimana caranya?
Ini pekerjaan yang tidak mudah karena kita sudah masuk terlalu jauh ke dalam oposisi biner. Anak-anak kecil sekarang dari lahir sudah dibentuk dengan pola oposisi biner tadi. Bagaimana mengembalikan cara berpikir yang biner ini ke dalam cara berpikir analog, yang terdapat spektrum nilai. Ada rentang. Itu tugas berat.
Mestinya bisa dilakukan di dunia pendidikan. Cara berpikir analog yang perlu ditanamkan dari awal. Sayangnya, sekarang banyak guru malah ikut cara berpikir biner lantaran paparan media sosial.
Coba simak dalam Pilpres 2014 dan pilpres tahun depan. Bukti nyata kita dipecah menjadi dua kubu besar. Saya berasumsi karena cara berpikir biner. Perpecahan itu tidak selesai sampai sekarang. Ini contoh nyata dari cara berpikir biner tersebut. Kalau tidak kawan, ya, lawan.
Waktu Pilpres 2014, puluhan teman (di medsos) saya unfriend karena teman-teman saya itu menampakkan gejala memusuhi saya. Mereka memusuhi saya karena mereka menduga bahwa saya tidak sekubu. Lalu, saya telepon mereka untuk memulihkan pertemanan (di dunia nyata). Padahal, para pendiri bangsa ini tidak begitu. Hanya di ruang debat berseberangan, tetapi makan bareng, merokok bareng. Ada ruang antara. Di saat tertentu unfriend, di saat lain friend. Inilah manusia.
Kita menjadi friend atau unfriend karena pilihannya cuma itu. Kalau tidak berpihak pada A, pasti berpihak pada B atau dituduh berpihak pada B. Atau kalau berpihak pada A berarti memusuhi B.
Media juga ikut menjadi biner karena kepentingan. Selain medsos, taruhlah televisi. Televisi dikuasai pemilik partai politik. Kalau sudah ada kepentingan, pasti biner. Suka tidak suka, lawan atau kawan.
Apakah ada kaitan signifikan antara cara berpikir biner ini dan sikap standar ganda bahwa kelompok saya selalu benar dan kelompok lawan selalu salah?
Ini urusannya dengan rasional atau irasional. Jadi, budaya populer, yang sekarang berlanjut ke media sosial, menggiring kita berpikir irasional. Artinya, kita termakan dengan provokasi dan tidak ada waktu atau keinginan untuk mencari kebenaran. Informasi hoaks merajalela, kita tidak punya waktu untuk mengecek kebenarannya.
Kalau kita melihat sesuatu tanpa peduli kebenaran tentang sesuatu itu, ini sikap irasional. Pada Pilpres 2014, kita jadi masyarakat irasional. Kita dipecah dua dan tidak ada yang mempertanyakan. Kita hanyut dalam perpecahan. Prabowo atau Jokowi, itu saja yang dibicarakan.
Ungkapan-ungkapan partai Tuhan dan partai setan, sebagai oposisi biner, akan laku karena mayoritas masyarakat kita irasional. Kalau sudah irasional, yang dijadikan alat untuk mengukur dan menilai itu perasaan. Sebab, kalau rasional, kan, bicara data.
Selain itu, saya yakin sebagian besar orang memilih produk, gaya, bahkan presiden, dasarnya data mesin pencari Google. Padahal, itu bukan data karena di sana banyak manipulasi. Semakin banyak orang mengklik, makin sering nongol. Orang irasional menganggap itu kebenaran.
Semakin banyak orang yang like, semakin dianggap bagus sesuatu. Kita dikonstruksi dan digiring untuk suka atau tidak. Artinya, menjadi follower itu bukan sesuatu yang rasional.
Lembaga survei atau voting juga demikian, ikut membentuk pola pikir biner. Semakin tinggi keterpilihan seorang calon, semakin cenderung dia dipilih. Sebab yang dilihat orang elektabilitas itu, bukan orangnya. Semakin banyak orang like, orang lain cenderung memberilike. Ada ”latahisme”. Makanya, istilah follower itu sangat tepat. Enggak ada argumentasi apa-apa, ikut saja.
Latahisme terjadi karena kita takut menjadi orang asing. Misalnya, jika hampir semua dosen ITB menyatakan like, masa saya dosen ITB tidak melakukan hal yang sama. Sama saja, sehari enggak muncul di grup WA, kita khawatir ditanya-tanya. Ada ketakutan. Ada tekanan sosial untuk kita berpartisipasi. Maka, kita muncul meskipun sekadar kasih jempol. Kalau tidak kasih jempol, kita dianggap hilang.
Apakah definisi eksistensi lantas berubah?
Ini determinasi teknologi. Teknologi mencetak agar manusia turut dengan konstruksinya. Sekali tidak ikut dianggap tidak eksis. Misalnya, saya menggunakan HP lama yang tidak bisa terkoneksi dengan WA. Bagaimana pandangan orang? Pasti saya tidak akan tahan. Maka, saya ganti HP. Begitu juga dengan media sosial. Kalau tidak ngapa-ngapain, kita hilang. Tidak eksis. Lalu merasa ada yang kurang. Itu yang membuat kita terpaksa.
Saya ada 15 grup. Saya ada FB (Facebook), saya pasif. Jarang unggah sesuatu, kecuali penting banget. Saya memberi jarak dengan sistem. Sebab, sekali saya masuk sistem itu, berkomentar misalnya, saya kehilangan waktu membaca buku, menulis, dan seterusnya.
Sebanyak 15 grup WA, tetapi saya pasif. Satu grup WA sehari bisa ada 400 chat. Saya buka, tetapi satu pun tidak saya baca. Saya scanning. Saya hanya prioritas yang berkaitan dengan ketertarikan saya, hobi keilmuan, dan keluarga. Grup-grup alumni saya tidak left, tetapi saya tidak aktif. Ini dilemanya. Kalau saya keluar, pasti dituduh macam-macam.
Apa kegelisahan Anda soal cara berpikir biner ini?
Kita hanyut dalam sistem yang tidak memungkinkan untuk sempat kritis terhadap sistem itu. Bayangkan, berapa jam yang kita habiskan untuk membalas WA. Kita kehilangan ciri sebagai manusia yang punya otak, rasa, emosi, dan sebagainya. Mesin hanya punya logika. Manusia punya spektrum. Kalau sudah digiring ke dalam dunia yang biner tadi, karakter manusia kita mati.
Politik kita menjadi biner. Jangan sampai etika, sebagai basis ilmu politik, juga biner. Etika ini menjadi ciri manusia. Baik-buruk itu tidak pernah biner, ada skalanya. Ada baik, baik banget, kurang baik, dan seterusnya.