Chato, Bukan Nasi Hangus
“Maaf, jadwal sudah penuh,” demikian kata panitia Ubud Food Festival (UFF) 2018, April lalu, saat dimintai slot wawancara dengan Chato, sapaan akrab Charles Toto, pendiri komunitas Papua Jungle Chef. Sejak hadir di UFF tahun 2017 dan memukau pengunjung dengan menu sagu sef, Chato menjadi sosok paling dicari di UFF 2018.
Tak sengaja kami melihat dia tengah mengobrol santai bersama teman-temannya selepas acara pembukaan UFF. Rupanya dia masih punya waktu cukup luang dan bersedia berbagi cerita. Kesempatan itu jelas tidak boleh dilewatkan mengingat kalau sudah masuk hutan, bisa-bisa tiga bulan kemudian dia baru bisa dikontak.
Bercelana pendek, kaus, dirangkap kemeja, Chato tampak menikmati cuaca Ubud yang cerah dan panas. Rambut gimbalnya digulung seperti konde. Kacamata bertengger di dahi. Anting besar dari kayu menghiasi telinga kirinya. Noken tidak lepas tersandang di bahunya.
Dengan ramah, mulailah Chato berkisah. ”Ide mendirikan Papua Jungle Chef sebenarnya berasal dari kegiatan yang saya lakukan sehari-hari sejak tahun 1997. Kami masuk hutan bersama rombongan wisatawan, peneliti, atau media, lalu memasak untuk mereka dari bahan pangan yang ada di hutan,” tuturnya.
Komunitas itu akhirnya berdiri tahun 2008 dengan semangat menghidupkan kembali pangan lokal Papua yang mulai dilupakan. Anggotanya kini sekitar 200 orang, tersebar di berbagai wilayah di Papua. Bersama Chato, mereka belajar menyajikan olahan bahan makanan lokal kepada para tamu. Prosesnya benar-benar dari nol sampai menjadi mahir.
Bekal terbesar yang dimiliki para koki itu adalah pengalaman kuliner tradisional. ”Itulah yang kami coba kembangkan. Mereka tidak perlu jauh-jauh ke kota untuk belajar, tidak perlu keluar uang untuk biaya sekolah. Dengan tetap berada di kampung, mereka mendapat sesuatu yang luar biasa dari apa yang ada di sekitarnya,” papar Chato.
Pengetahuan tentang pangan lokal, berikut kebanggaan memilikinya, terus dia tanamkan kepada anggota komunitas dan masyarakat di kampung tempat mereka tinggal. Chato keluar masuk kampung hingga ke pedalaman untuk menggali resep-resep makanan tradisional. Dia dengarkan cerita-cerita orang kampung, lalu dicatat. Dia juga mendata dan mengumpulkan bahan-bahan pangan lokal yang mulai diabaikan.
”Orang paling sering tahu makanan Papua, ya, papeda dan ikan kuah kuning,” ujarnya. Namun, papeda pun dimiliki orang Manado, Toraja, Ambon, hingga Sangihe dan Talaud sehingga Chato tidak pernah mengatakan papeda adalah makanan khas Papua dalam setiap presentasinya.
”Akan tetapi, kalau saya bilang kha ebehele atau ikan kuah hitam, itu spesial Papua. Kha itu ikan, dari ikan gabus danau. Asalnya dari suku Sentani. Ebehele itu belanga. Lalu ada swamening, itu masakan orang Genyem, terbuat dari terubuk atau telur tebu. Suku Marind di Merauke punya sagu sef, semacam piza yang dimakan di meja panjang sampai 8 meter,” tuturnya.
Sekolah cewek
Sebenarnya tidak pernah terbayang di benak Chato untuk menjadi chef. Cita-citanya menjadi pengacara. Saat mendaftar ke SMA di Jayapura, dia ditolak. Alasannya, dia ikut rombongan anak-anak SMP yang saling berantem. Padahal, dia tidak terlibat, hanya kebetulan berada tak jauh dari kejadian.
Daripada setahun menganggur, Chato lalu memilih masuk ke Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) yang sekarang menjadi SMK Negeri 1 Jayapura. Tahun 1993, sebagian besar murid sekolah itu perempuan.
”Di setiap kelas hanya ada 3-4 cowok, cewek 40 orang. Selama sekolah di situlah kami mendapat stigma buruk di mata sekolah lain. Mereka menganggap yang sekolah di situ nantinya jadi banci. Kalau enggak banci, ada lagi istilah yang dikeluarkan di Papua: ’nasi hangus’. Ada lagi ditulis SMKK itu singkatan ’sekolah masuk keluar kawin’ karena banyak cewek yang lulus langsung kawin, bahkan belum tamat sekolah juga sudah kawin,” kenang Chato.
Istilah ”nasi hangus” adalah olok-olokan di kalangan anak muda dari sekolah lain untuk menggambarkan bahwa lulusan sekolah SMKK tersebut pada akhirnya tidak akan bisa jadi apa-apa lagi, nobody.
Chato memilih jurusan tata boga. Menurut dia, lulusan tata boga akan lebih banyak bekerja di belakang layar sehingga jika ada apa-apa dengan masakannya, tidak kelihatan. Namun, sebenarnya dia terinspirasi kebiasaan sang ibunda. Dia, mengatakan mamanya dulu sekolah di sekolah zaman Belanda, sekolah gadis namanya. Sekolah itu mengajarkan segala hal untuk menjadi ibu rumah tangga.
Di SMKK, Chato belajar dari hal paling dasar, mulai membuat nasi goreng, table manner atau tata krama di meja makan, tata hidang, sampai masakan gaya Barat atau China. Tidak ada pelajaran mengenai masakan lokal, hanya kegiatan sampingan ketika ada acara masak-memasak makanan daerah asal.
Lulus sekolah dia bekerja di hotel sebagai pencuci piring. Saat itulah Chato melihat banyak rombongan turis, peneliti, ataupun media yang datang ke Papua, lalu masuk hutan atau trekking ke daerah wisata. Dia mencari informasi ke agen perjalanan dan pemandu wisata, orang-orang itu makan apa.
Rombongan itu biasanya membawa makanan kalengan dari kota beserta segala alat masaknya. Chato melihat celah. Saat itulah sebuah agen ekspedisi mencari orang yang paham tata boga dan bergabunglah dia.
”Awalnya saya bingung ketika diberi tur panjang selama hampir sebulan. Mulai dari Jayapura ke Wamena, trekking di hutan 10 hari, keluar lagi ke Wamena, lanjut ke Biak, menyeberang ke Manokwari. Mereka memasak makanan kalengan dan bahan mentah yang dibawa. Lama-lama saya belajar melihat situasi dan kondisi di lapangan. Saya mulai mengurangi makanan kalengan, meminggirkan oven, dan mengombinasikan bahan-bahan yang ada di sekitar,” ungkap Chato.
”Chef” dunia terpukau
Dia hanya berpikir, kalau rombongan itu memakan bahan makanan yang dibawa dari kota, rasanya sama saja. Dengan makanan lokal, tentu ada pengalaman berbeda. Rupanya mereka tertarik dan menyukainya. Akhirnya Chato menerapkan cara memasak makanan tradisional Papua. Bikin roti, adonan dibungkus, dimasukkan ke perapian. Ubi juga tinggal dimasukkan tungku. Dedaunan direbus atau dimakan segar.
Dengan cara itu, Chato berhasil membuat sekitar 10 chef dari restoran berbintang di Amerika Serikat terpukau. ”Saya bikin perapian, adonan roti dibentuk, lalu saya main lempar saja ke perapian. Sudah mengembang, angkat, bersihkan. Tinggal kasih selai, makan. ’O, bisa, ya, begitu’, kata mereka. Akhirnya mereka ikut belajar,” tuturnya.
Chato pun semakin percaya diri dan mantap memilih jalannya. Bersama Papua Jungle Chef, dia ingin menjadikan pangan lokal sebagai kekuatan Papua agar tidak lagi terjadi kelaparan atau kekurangan gizi.
Dia mengumpulkan petanipetani yang masih setia merawat tanaman lokal. Dia berkeliling mencari bibit dan membagikan kepada mereka. Tanaman-tanaman itu juga didokumentasikan.
Chato memilih setia di jalan pengolahan makanan murni secara tradisional. Untuk mengemas masakan lokal menjadi
lebih elegan untuk konsumsi di restoran, dia menyerahkan kepada rekan-rekannya sesama chef di Jakarta, Bali, dan kota-kota lain.
Kiprahnya membuat dia semakin dikenal. ”Mereka yang dulu menyebut kami ’nasi hangus’ jadi menyesal sendiri. Kok sekarang bisa seperti ini? Yang penting kita setia di jalan kita, kan?” ujar Chato mengakhiri perbincangan.
Charles Toto
Lahir: Jayapura, 24 Maret 1977
Pendidikan: SMKK Jayapura
Pengalaman:- Hotel Sentani Indah (1996)
- Benneti Ekspedisi Tour and Travel (1997-sekarang)
-Papua Jungle Chef (2008-sekarang)