Waspadai Dampak Pergeseran Musim di Pertengahan 2022
Sebagian wilayah Indonesia mengalami anomali cuaca dengan turunnya hujan deras di periode musim kering. Apa yang menyebabkan fenomena itu terjadi?
Oleh
Yoesep budianto
·6 menit baca
Wilayah Indonesia akan mengalami periode basah lebih lama pada 2022 karena penguatan La Nina di Samudera Pasifik. Periode basah menunjukkan peningkatan curah hujan sehingga musim kemarau akan mundur di beberapa wilayah. Dampak lain yang perlu menjadi perhatian adalah meningkatnya risiko penyakit dan bencana hidrometeorologi.
Secara umum, wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau di pertengahan tahun 2022. Penurunan curah hujan hingga makin panasnya cuaca akan dialami mulai akhir April hingga Mei, dan mencapai puncak kering pada periode Juni, Juli, dan Agustus. Sinar matahari diperkirakan terik sekali pada periode kemarau tahun ini.
Namun hal berbeda terjadi tahun ini. Hasil pantauan BMKG menyebutkan ada penguatan fenomena La Nina di Samudera Pasifik sejak Maret 2022. Sepanjang Januari-Februari, indeks El Nino Southern Oscillation (ENSO) mencapai minus 0,9 hingga minus 0,8 yang mengindikasikan La Nina melemah. Namun pada Maret-Mei indeks El Nino terlihat menguat berkisar minus 1,1 atau berada di intensitas sedang.
Indeks El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan dan atmosfer yang ditandai anomali suhu permukaan laut. Pengaruhnya ke Indonesia adalah penurunan dan peningkatan curah hujan. Indeks ENSO yang bernilai makin negatif menandakan fenomena La Nina yang berimbas pada makin panjangnya periode basah di Indonesia.
Kondisi tersebut merupakan anomali karena berbeda dengan sirkulasi monsun tahunan Asia-Australia. Sirkulasi angin regional di kawasan Asia dan Australia yang melewati Indonesia menjadi penanda perubahan musim. Pantauan awal BMKG menunjukkan bahwa angin monsun yang berasal dari Australia diprediksi mulai masuk Indonesia pada April 2022, saat itu harusnya curah hujan mulai berkurang.
Angin monsun dari Australia membawa sedikit uap air, sehingga potensi pembentukan awan hujan lebih minim. Periode tersebut ditandai dengan mulainya musim kemarau hingga beberapa bulan ke depan. Sementara tahun ini akan berbeda karena ada anomali La Nina.
Berdasarkan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2022 di Indonesia yang dirilis BMKG pada Maret 2022, awal musim kemarau didominasi pada April 2022 di 102 zona musim, baru kemudian bulan Mei di 78 zona musim. Bulan Juni sejumlah wilayah juga baru memasuki musim kemarau, yaitu 81 zona musim.
Sementara puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus. Saat itu, sedikitnya 52,9 persen zona musim dalam kondisi kering. Apabila ditarik sepanjang setahun, maka periode kering diprediksi pada Juli, Agustus, dan September 2022. Laporan tersebut bisa saja berubah karena munculnya anomali cuaca atau timbulnya siklon tropis.
Musim bergeser
Fenomena La Nina yang menyebabkan periode basah lebih panjang memiliki potensi memengaruhi pergeseran pergeseran musim. Terlepas dari munculnya periode basah tersebut, sebenarnya musim di Indonesia telah bergeser. Berdasarkan pantauan data dari 1991 hingga 2020, musim kemarau terlihat mundur di hampir 50 persen zona musim.
Artinya, musim kemarau bisa saja jauh lebih bergeser mundur dengan adanya La Nina yang tengah menguat. Fenomena ini dapat terlihat dari keberadaan curah hujan harian yang terpantau lebat beberapa minggu terakhir di berbagai wilayah. Bahkan sejumlah daerah mengalami banjir dan cuaca ekstrem.
Dalam jangka panjang, efek pergeseran musim memiliki dampak skala besar khususnya di sektor ketahanan pangan karena kerusakan lahan pertanian. Produksi tanaman pangan akan terganggu karena genangan air yang berlebih dapat merusak tanaman. Terlebih, banyak tanaman pangan, seperti padi dan jagung, yang ditanam atau dipanen saat mulai masuk periode musim kering.
Pergeseran musim juga membuat para petani mengalami kebingungan untuk memulai masa tanam. Sistem penanggalan aktivitas pertanian yang dikenal dengan nama pranata mangsa mungkin sudah tidak terlalu relevan lagi sekarang. Sebagai perbandingan, dalam sistem penanggalan tersebut, bulan mei ditandai dengan istilah tirta sah saking sasana, yaitu air meninggalkan rumahnya (periode 12 Mei-21 Juni).
Periode tersebut ditandai dengan udara yang dingin dan kering termasuk berkurangnya air dan dimulainya penanaman palawija serta jagung di tegalan. Periode sebelumnya, yaitu 19 April-11 Mei, dikenal dengan istilah sesotya sinarawedi (intan yang bersinar mulia), saat di mana pohon kapuk merekah dan musim panen raya tanaman. Keberadaan pohon kapuk yang merekah menunjukkan kondisi kering.
Dari sistem pranata mangsaini terlihat bulan April hingga Juni merupakan periode kering. Namun kondisi di pertengahan tahun ini masih menunjukkan periode basah yang ditandai terjadinya hujan dengan intensitas sedang hingga lebat. Prakiraan cuaca harian dari BMKG tiga hari ke depan masih menunjukkan adanya hujan lebat dan angin kencang.
Pergeseran musim yang terjadi menuntut daya adaptasi tinggi dari setiap individu. Bukan hanya sektor pertanian, melainkan kesehatan publik terancam mengalami perburukan. Cuaca yang tidak menentu mampu menurunkan sistem imun manusia sehingga rentan terkena penyakit.
Waspada penyakit
Anomali cuaca yang sedang terjadi turut berpengaruh terhadap kesehatan individu. Sejumlah penyakit akan meningkat pada periode basah saat ini karena faktor penyebabnya, yaitu virus dan bakteri, berkembang dengan baik. Keberadaan virus dan bakteri turut ditentukan kondisi inangnya atau lingkungan.
Demam berdarah menjadi salah satu penyakit meningkat saat periode basah sebab banyak genangan yang menjadi sarana berkembang biaknya nyamuk. Selain demam berdarah, penyakit lain karena nyamuk adalah malaria.
Penyakit lain yang perlu diwaspadai adalah leptospirosis yaitu infeksi bakteri yang berasal dari urin tikus. Apabila seseorang menyentuh benda atau air yang terkontaminasi urin tikus maka dapat terinfeksi bakteri tersebut.
Selain menghindari faktor penyebab penyakit, setiap individu perlu memastikan sistem imunitasnya terjaga. Cuaca yang tidak menentu dapat menyebabkan melemahnya imunitas tubuh karena badan manusia belum sepenuhnya siap dengan adanya perubahan cuaca.
Fenomena yang sering kali terjadi adalah panas terik saat pagi tetapi kemudian tiba-tiba muncul hujan deras pada siang atau sore. Perubahan mendadak cuaca harian tentu membuat tubuh kaget dan cenderung melemah karena mempertahankan kondisi seimbang (homeostasis).
Dari sisi hidrometeorologis, curah hujan yang cenderung tinggi tentu memperpanjang risiko terjadinya banjir atau tanah longsor. Banjir karena luapan sungai atau banjir rob dapat terus terjadi dan bisa lebih parah karena intensitasnya yang tinggi.
Bencana lain yang juga harus diwaspadai adalah tanah longsor karena bertambahnya deposit air di dalam tanah. Bertambahnya volume air di dalam tanah menambah beban tanah yang membuat rentan longsor. Kadar air yang harusnya berkurang karena penguapan akan masih tersimpan dan kian bertambah karena masih terjadi hujan.
Fenomena La Nina yang menguat saat ini patut diwaspadai semua orang. Pergeseran musim menuntut banyak aksi adaptasi yang tepat, mulai dari menjaga sistem imunitas tubuh, risiko bencana hidrometeorolgi, hingga ketahanan pangan.
Anomali cuaca seperti La Nina tentu memiliki periodenya tersendiri dan akan berhenti secara alami. Namun kepastian kapan berhentinya menjadi bagian dari siklus alam yang tidak dapat diprediksi seutuhnya. BMKG telah mengamati bahwa fenomena ini terjadi berulang sejak akhir September 2020 lalu. Karenanya, kesiapan individu dan aksi mitigasi dari lembaga terkait sangat penting agar dampaknya tidak meluas. (LITBANG KOMPAS)