Gerakan Mahasiswa Tetap di Hati Rakyat
Gerakan mahasiswa lahir dan hadir sesuai tuntutan zaman. Ia tak akan mati karena selalu dibutuhkan untuk menjadi penyambung suara rakyat. Rekam jejak 24 tahun era reformasi menjadi bukti gerakan mahasiswa selalu dinanti.
Sepanjang perjalanan 24 tahun gerakan reformasi, gerakan mahasiswa masih diyakini sebagai kekuatan moral yang digerakkan atas dasar kepentingan rakyat. Setiap zaman yang bergerak dan berubah juga diyakini akan melahirkan regenerasi gerakan mahasiswa.
Hari ini, 21 Mei 2022, tepat 24 tahun Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah gerakan reformasi menjadi motor yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya bertahan lebih dari tiga dekade. Sulit dibantah, kekuatan reformasi tidak bisa dilepaskan dari peran mahasiswa sebagai garda depan pemimpin gerakan.
Gerakan mahasiswa yang kerap diwujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi, unjuk rasa, dan pawai di jalan-jalan menghiasi situasi politik yang tengah dilanda krisis 24 tahun silam tersebut. Namun, peristiwa itulah yang menjadi penanda sebuah perubahan politik hadir membawa harapan baru dengan semangat reformasi.
Setiap zaman yang bergerak dan berubah juga diyakini akan melahirkan regenerasi gerakan mahasiswa.
Wajar jika kemudian ingatan kolektif publik soal gerakan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dengan aksi jalanan tersebut. Hal ini tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas pertengahan April 2022.
Demonstrasi menjadi kata yang paling banyak disebutkan responden ketika ditanya apa yang terlintas dalam benak mereka soal gerakan mahasiswa. Hal ini makin memperkuat bahwa citra gerakan mahasiswa memang tidak bisa jauh-jauh dari urusan unjuk rasa.
Kemudian, hal lain yang terlintas soal gerakan mahasiswa di mata responden adalah kuatnya sosok aktivis di mata publik. Bagaimanapun, harus diakui dari kampuslah lahir aktivis-aktivis pergerakan yang kemudian sebagian besar juga menjadi sumber pengaderan bagi sejumlah kelompok kepentingan di masyarakat, terutama partai politik. Tidak bisa dimungkiri, kader-kader partai politik sebagian besar berasal dari aktivis gerakan mahasiswa.
Dari dua jawaban, yakni demonstrasi dan aktivis, ini gerakan mahasiswa di mata responden memang cenderung dimaknai sebagai satu entitas yang tidak bisa dilepaskan dengan proses perubahan politik di negeri ini. Hal ini diperkuat dengan sejumlah jawaban terkait top of mind mereka soal gerakan mahasiswa ini.
Jawabannya terekam dalam diksi-diksi, di antaranya suara rakyat, mendukung, perbuatan terpuji, termasuk Reformasi 1998. Meskipun demikian, ada juga yang cenderung melihat dari sisi sebaliknya, seperti diksi kekerasan, tidak setuju, dan ditunggangi.
Baca juga: Bongbong Rasa Cendana, Catatan 24 Tahun Reformasi
Suara rakyat
Anggapan soal gerakan mahasiswa yang bisa ditunggangi atau membawa kepentingan kelompok tertentu rasanya juga relatif terbantahkan dengan sikap sebagian besar responden dalam jajak pendapat ini.
Separuh lebih responden (64,8 persen) setuju bahwa gerakan mahasiswa murni membawa aspirasi suara rakyat. Gerakan mahasiswa tidak dipengaruhi maupun ditunggangi oleh kepentingan apa pun dan dari siapa pun.
Gerakan mahasiswa umumnya memang muncul dari kegelisahan publik secara masif. Pengalaman gerakan Reformasi 1998 dipicu oleh krisis ekonomi berkepanjangan.
Melonjaknya harga kebutuhan pokok, termasuk bahan bakar, dan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat situasi ekonomi ambruk dan memicu kegelisahan sekaligus kemarahan rakyat.
Kondisi ini kemudian melahirkan aksi-aksi demonstrasi di jalanan. Tidak hanya diikuti mahasiswa, tetapi juga oleh masyarakat umum. Ada faktor kondisi ekonomi yang membuat publik terlibat secara masif dalam gerakan unjuk rasa hingga kemudian isunya mengkristal pada upaya penggantian kepemimpinan nasional.
Momentum 1998 itulah yang menguatkan kedudukan gerakan mahasiswa tidak bisa lepas dari kepentingan rakyat, bukan yang lainnya.
Sebagian besar responden (70,9 persen) menyepakati gerakan mahasiswa itu murni berjuang untuk kepentingan masyarakat.
Hal ini juga tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas di mana sebagian besar responden (70,9 persen) menyepakati gerakan mahasiswa itu murni berjuang untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan kepentingan kelompok politik tertentu. Ia lahir seiring dengan kegelisahan rakyat, terutama terhadap kondisi sosial ekonomi.
Jadi, anggapan gerakan mahasiswa itu digerakkan oleh kepentingan kelompok terbantah dengan sendirinya jika kita merujuk rekam jejak selama ini di mana gerakan mahasiswa selalu hadir dan muncul dari setiap zaman perubahan. Sebut saja perubahan yang terjadi di era Orde Lama Soekarno yang kemudian melahirkan gerakan mahasiswa angkatan 1966.
Gerakan mahasiswa 1966 ini juga dipicu oleh kondisi sosial ekonomi dan politik saat itu. Gerakan mahasiswa 1966 melahirkan tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang mampu memaksa pemerintah saat itu untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hal yang sama juga dibuktikan dengan lahirnya gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menggulingkan Orde Baru bersama kekuasaan pemerintahan Soeharto. Gerakan reformasi yang salah satunya menolak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme ini sukses mencatatkan sejarah perubahan politik di negeri ini, sama seperti yang terjadi di era 1966.
Meskipun demikian, gerakan mahasiswa di mata publik tidak semata-mata urusan pergantiaan kekuasaan. Sebanyak 63,5 persen responden dalam jajak pendapat ini tidak setuju jika gerakan mahasiswa ”dikerdilkan” dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan.
Sejumlah kasus unjuk rasa di era pemerintahan Jokowi membuktikan bahwa gerakan mahasiswa juga selalu hadir dengan isu-isu yang tidak terkait pergantian kekuasaan secara langsung.
Sebut saja isu revisi Undang-Undang KPK, Undang-Undang Cipta Kerja, bahkan terakhir adalah isu perpanjangan masa jabatan presiden dengan penundaan pemilihan umum, semua memicu aksi gerakan mahasiswa di jalanan.
Artinya, gerakan mahasiswa bersandar pada isu-isu publik dan kepentingan umum. Kebijakan pemerintah menjadi obyek yang selalu memicu mahasiswa harus turun ke jalan menyuarakan aspirasi publik.
Hampir bisa dipastikan, gerakan mahasiswa memang tidak bisa lepas dari adagium populer dari Lord Acton, ”power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.
Menurut Acton, kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Untuk itulah, kekuasaan harus selalu dikontrol dan gerakan mahasiswa lahir dan hadir untuk mengontrol kekuasaan.
Baca juga: Gerakan Mahasiswa Tak Pernah Mati
Kritik
Kritik mahasiswa kepada kekuasaan bagaikan keping mata uang yang tak bisa dipisahkan. Hampir dari semua generasi gerakan mahasiswa di setiap zamannya masing-masing selalu tidak bisa lepas dari kritik kepada kekuasaan.
Meskipun demikian, di setiap era tentu berbeda cara. Di era 1998 sebagian besar kritik lebih banyak dilakukan di jalanan dan ruang-ruang diskusi untuk memperkuat diskursus perlawanan mahasiswa bersama rakyat.
Sementara di era kini, kritik lebih banyak model, terutama dengan menguatnya pengaruh sosial media. Sebut saja contoh apa yang dilakukan BEM UI yang memublikasikan konten berupa foto dengan judul ”Jokowi: The King of Lip Service” di mana dalam fotonya Jokowi mengenakan sebuah mahkota, viral dan menjadi perbincangan publik.
Di era digital ini, aksi-aksi gerakan mahasiswa semakin kreatif dan tentu produktif selain gerakan mahasiswa di jalanan dan ruang-ruang diskusi.
Aktivis mahasiswa 1998 Dimas Oky Nugroho memiliki pendapat menarik soal model gerakan mahasiswa saat ini. Menurut dia, gerakan mahasiswa tidak semata diwujudkan sebagai aksi demonstrasi.
Hari ini ada yang disebut sebagai new social movement, yakni gerakan sosial yang dijalankan dengan metode intelektual tertentu, menggunakan framing isu untuk mengadvokasi isu-isu publik secara cerdas, menggunakan media, termasuk khususnya media sosial sebagaimana perkembangan hari ini.
”Gerakan ini memanfaatkan situasi politik yang tengah berkembang, atau political opportunity structure, untuk mendorong perubahan kebijakan. Kuncinya di sini adalah kemampuan literasi, pengetahuan dan informasi, membangun jejaring, serta strategi dalam mendominasi atau mengimbangi ruang publik,” ungkap Dimas yang kini aktif sebagai Ketua Perkumpulan Kader Bangsa, sebuah elemen masyarakat sipil yang bergerak mengoordinasi talenta-talenta kepemimpinan muda se-Indonesia.
Orientasi sebuah gerakan sosial adalah melakukan perubahan attitude penguasa.
Bagi Dimas, dengan kehadiran new social movement sesungguhnya perubahan bisa diwujudkan tidak dengan cara-cara penggulingan pemerintah yang berkuasa secara serta-merta.
Orientasi sebuah gerakan sosial adalah melakukan perubahan attitude penguasa atau masyarakat dalam isu tertentu atau perubahan kebijakan publik secara lebih spesifik, sehingga lebih positif terhadap kebajikan atau kemaslahatan bersama.
Meskipun demikian, sebagai kekuatan kritik, gerakan mahasiswa juga tidak pernah lepas dari kritik. Pertemuan elemen mahasiswa dengan Presiden Jokowi di Istana, misalnya, melahirkan hujan kritik publik, terutama di media sosial. Hal ini menjadi potret, gerakan mahasiswa itu memang harus jauh-jauh dengan kekuasaan.
Jajak pendapat Kompas merekam bahwa gerakan mahasiswa yang melakukan kritik di jalanan maupun di sosial media sudah dinilai efektif memengaruhi kebijakan pemerintah. Jadi tidak perlu harus ”berdekatan” dengan kekuasaan.
Di sinilah khitah gerakan mahasiswa, ia lahir dan hadir di jalanan sebagai alarm kepada penguasa. Di mata gerakan mahasiswa, penguasa tidak bisa bertindak sewenang-wenang atas nasib rakyat. Kehadiran gerakan mahasiswa juga sesuai dengan tuntutan zaman. Ia akan lahir dan hadir terus sesuai zamannya.
Hal ini diakui oleh publik dalam jajak pendapat. Sebanyak 77,5 persen responden meyakini di setiap generasi akan tetap lahir sebuah gerakan mahasiswa. Hal ini juga tidak lepas bahwa kehadiran gerakan mahasiswa juga dirindukan karena mereka selalu berada di hati rakyat yang dibelanya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Melawan Lupa Reformasi