Mengefektifkan Masa Kampanye Pemilu
Wacana memperpendek durasi kampanye Pemilu 2024 harus didukung dengan jaminan dari pemangku kepentingan, terutama terkait distribusi logistik dan penyelesaian sengketa proses pemilu.

Tarik-menarik panjang pendeknya masa kampanye pemilihan umum tidak lepas dari persoalan teknis dan politis. Bagi penyelenggara, kebutuhan teknis penyiapan logistik menjadi variabel penting. Bagi kontestan, durasi kampanye tidak lepas dengan kalkulasi seberapa efektif menarik simpati pemilih.
Tarik-menarik itu kemudian sedikit menemui titik terang ketika pekan lalu dalam konsiyering antara Komisi II DPR dan KPU membuka wacana masa kampanye diperpendek menjadi 75 hari. Sebelumnya, tarik-menarik terkait durasi masa kampanye terjadi seiring dengan pembahasan tahapan Pemilihan Umum 2024.
Bagi kontestan, durasi kampanye tidak lepas dengan kalkulasi seberapa efektif menarik simpati pemilih.
KPU sendiri sebelumnya mengusulkan masa kampanye tidak jauh berbeda dengan masa kampanye di Pemilu 2019, yakni selama 203 hari, yang kemudian diperpendek menjadi 120 hari. Hal ini mempertimbangkan aspek pemenuhan logistik kampanye yang membutuhkan waktu yang optimal.
Pemerintah sendiri cenderung mengusulkan masa kampanye cukup 90 hari, lebih singkat dibandingkan dengan usulan KPU. Sementara usulan dari fraksi di Komisi II DPR bervariasi, antara 60 dan 129 hari masa kampanye.

Meski demikian, usulan 75 hari masa kampanye membutuhkan syarat tertentu, yakni dukungan DPR, pemerintah, Mahkamah Agung, Bawaslu, dan peserta pemilu.
Dukungan itu berupa kebijakan terkait pengadaan dan distribusi logistik pemilu, penyelesaian sengketa proses pemilu, validasi surat suara, penanganan logistik pemilu di luar negeri, serta distribusi dan pengelolaan logistik. Jika ini tidak terpenuhi, usulan 75 hari durasi kampanye sulit diwujudkan.
Usulan 75 hari masa kampanye membutuhkan syarat tertentu, yakni dukungan DPR, pemerintah, Mahkamah Agung, Bawaslu, dan peserta pemilu.
Jika merujuk pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, memang tidak ada batasan baku soal durasi masa kampanye ini. Dalam undang-undang pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berwenang membuat tahapan pemilu dengan tetap berkoordinasi dengan pemangku kepentingan yang lain, termasuk di dalamnya menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan di masa kampanye tersebut.

Prosesi peresmian pemasangan alat peraga kampanye peserta Pemilu 2019 di kompleks KPU Provinsi Bali, Denpasar, Jumat (23/11/2018), ditandai dengan penaikan bendera KPU dan bendera partai politik peserta Pemilu 2019. KPU memfasilitasi alat peraga kampanye peserta Pemilu 2019.
Jika merujuk pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya memang tidak ada ukuran baku terkait durasi masa kampanye. Lihat saja pemilu sejak era Reformasi, jatah hari untuk kampanye selalu berbeda-beda. Di Pemilu 1999, masa kampanye relatif lebih singkat, yakni 16 hari dengan jumlah partai politik peserta pemilu saat itu yang mencapai 48.
Bisa dibayangkan bagaimana mengatur jadwal kampanye secara nasional dan daerah dengan jumlah peserta pemilu sebanyak itu. Saat itu, kampanye hanya diberlakukan untuk pemilihan umum anggota legislatif, sedangkan pemilihan presiden masih dipilih di MPR.
Jika merujuk pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya memang tidak ada ukuran baku terkait durasi masa kampanye.
Baru di Pemilu 2004 masa kampanye dibagi dua kegiatan, yakni kampanye pemilu legislatif dan kampanye pemilihan presiden. Di pemilu ini, masa kampanye pemilihan presiden lebih panjang dibandingkan dengan kampanye legislatif. Untuk pemilu presiden, dialokasikan 30 hari dengan lima pasangan calon presiden dan wakil presiden di putaran pertama.
Dikarenakan saat itu belum ada yang mencapai suara 50 persen lebih, pemilihan presiden harus dilakukan dua putaran. Menjelang putaran kedua ini juga dialokasikan masa kampanye selama 3 hari.
Jadi, total masa kampanye untuk pemilihan presiden 33 hari. Sementara itu, untuk pemilihan legislatif, total hanya 22 hari masa kampanye dengan 24 partai politik peserta pemilu.
Baca Juga: Durasi Kampanye Pendek, Kampanye di Luar Jadwal Bisa Marak
Durasi terlama
Durasi masa kampanye terlama sejak era Reformasi ini terjadi di Pemilu 2009. Dengan diikuti 38 partai politik peserta pemilu, masa kampanye pemilu legislatif mencapai 268 hari atau total 9 bulan.
Di pemilu ini mulai diterapkan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Dengan demikian, kursi yang diraih partai akan diduduki oleh calon legislatif dengan suara terbanyak.
Maka, bisa dibayangkan masa kampanye yang panjang tidak lepas dari upaya para calon legislatif untuk mempromosikan dirinya secara pribadi selain partainya. Artinya, selain ada persaingan antarpartai politik, juga ada persaingan antarcalon legislatif di dalam partai politik yang sama.
Berbeda dengan Pemilu 2004 saat masa kampanye pemilihan presiden lebih panjang dibandingkan legislatif, di Pemilu 2009 masa kampanye legislatif justru lebih panjang dibandingkan dengan masa kampanye pemilihan presiden. Masa kampanye presiden hanya 22 hari.
Hal ini tidak lepas dari panjangnya masa kampanye pemilihan legislatif yang kemudian hasil pemilu tersebut menjadi dasar penentuan tiket pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pola di Pemilu 2009 ini berlanjut di Pemilu 2014 meskipun cenderung lebih singkat masa kampanyenya. Durasi kampanye pemilihan legislatif di Pemilu 2014 selama 85 hari, sedangkan pemilihan presiden total 31 hari atau sebulan penuh.
Seperti yang terjadi di 2009, pada 2014 ini pemilihan juga tidak dilakukan serentak. Pemilihan legislatif berlangsung terlebih dahulu dan hasilnya menjadi dasar bagi pemilihan presiden.
Terakhir di Pemilu 2019, masa kampanye kembali dengan durasi panjang seperti yang pernah dilakukan di Pemilu 2009. Seperti diketahui, pada Pemilu 2019 KPU menetapkan masa kampanye selama lima bulan, terhitung sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019.
Salah satu pertimbangan masa kampanye panjang adalah karena pemilihan dilakukan secara serentak, yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Namun, kecenderungan yang terjadi memang pemilih lebih fokus pada kontestasi pemilihan presiden dibandingkan dengan pemilihan legislatif.
Hal ini juga dikuatkan dengan lebih banyaknya surat suara tidak sah ditemukan di pemilihan legislatif dibandingkan pemilihan presiden. Pada Pemilu 2019, ada sedikitnya 17.503.953 suara tidak sah di Pemilu DPR. Angka ini setara dengan 11,12 persen surat suara yang digunakan dalam pemilu.

Deklarasi Kampanye Berintegritas Pemilu 2014 yang diikuti pimpinan partai politik peserta Pemilu 2014 di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Sabtu (15/3). Kampanye pemilu legislatif berlangsung dari 16 Maret-5 April 2014.
Sementara di pemilihan presiden sendiri, angka surat suara tidak sah tidak sebesar yang terjadi di Pemilu legislatif. Jumlah surat suara tidak sah mencapai 3.754.905 suara atau setara 2,37 persen dari surat suara yang digunakan di pemilu.
Artinya literasi pemilih lebih mudah memahami proses memilih di pemilihan presiden dibandingkan pemilihan legislatif. Panjangnya masa kampanye relatif belum berdampak pada penguatan literasi bagi pemilih.
Baca Juga: Mencari Titik Temu Soal Durasi Kampanye
Titik temu
Kini, yang dibutuhkan adalah penguatan titik temu, antara kebutuhan memperpendek masa kampanye menjadi 75 hari dan syarat kebutuhan dukungan yang disebutkan KPU dalam konsinyering di atas.
Dosen Fakulas Ilmu Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menjelaskan, idealnya masa kampanye pada Pemilu 2024 adalah 90 hari, tidak secepat 75 hari.
”KPU tentu memiliki pertimbangan yang sudah matang berdasarkan pengalaman sebelumnya terkait durasi distribusi logistik dan juga menyelesaian sengketa di Mahkamah Konsitusi,” ujar Aditya, Jumat (20/5/2022).
Menurut dia, titik temu yang bisa menjembatani soal pendeknya masa kampanye dengan kebutuhan alokasi waktu bagi KPU menyiapkan logistik pemilu, terutama terkait kampanye, menjadi kunci agar antara kebutuhan memperpendek durasi kampanye juga bisa menjamin KPU mampu memenuhi kebutuhan logistiknya dengan makin terbatasnya waktu yang dimiliki.

Menurut Aditya, jika pemerintah bisa membantu mempermudah distribusi logistik, dan Mahkamah Konstitusi bersepakat soal percepatan masa kampanye, tentu akan semakin bisa dicapai dengan waktu yang sudah disepakati bersama.
”Saya pikir, kalau memang sudah kesepakatan politik, seharusnya segera ditetapkan sebagai keputusan politik sehingga tidak ada polemik kembali soal durasi waktu kampanye yang dimaksud,” tutur Aditya.
Selain problem teknis, usulan memperpendek kampanye menjadi 75 hari juga melahirkan tantangan bagi peserta pemilu.
Selain problem teknis, usulan memperpendek kampanye menjadi 75 hari juga melahirkan tantangan bagi peserta pemilu, terutama partai politik, dalam upaya mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bagi sosok yang masih masuk kategori elektabilitas tergolong rendah, tentu pendeknya masa kampanye menjadi tantangan tersendiri.
Sebaliknya, bagi sosok yang sudah mengantongi elektabilitas tinggi, masa kampanye yang pendek lebih menguntungkan secara elektoral. Tentu, pada akhirnya semua bergantung bagaimana kerja-kerja politik digerakkan.
Mengefektifkan masa kampanye tentu akan berdampak pada keharusan mengefektifkan kerja-kerja politik jelang kontestasi 2024 nanti. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Membaca Peluang Koalisi Partai Politik