Serangan terhadap Jurnalis Jadi Momentum Perlawanan Palestina
Terbunuhnya jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, menambah daftar panjang pekerja pers yang menjadi korban konflik Palestina-Israel. Jaminan perlindungan jurnalis masih menjadi pekerjaan rumah.
Kematian jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, menjadi momentum perlawanan Palestina atas penjajahan Israel. Kini, dunia tak bisa lagi menutup mata atas kesewenang-wenangan Israel yang sudah mencoreng norma internasional seperti kebebasan pers.
Duka warga Palestina tak terbendung ketika melihat salah satu jurnalis kawakannya, Shireen Abu Akleh, meregang nyawa setelah melakukan tugas berbahaya di Jenin, Tepi Barat.
Rompi serta helm pelindung bertuliskan ”Press” yang digunakan Abu Akleh beserta rekannya Ali al-Samoudi nyatanya tidak mampu menahan anggota militer Israel untuk melepaskan tembakan ke arah mereka.
Pihak otoritas Israel tampak gelagapan dengan peristiwa naas ini. Tak berhenti dengan penembakan, aksi represif terus mereka lakukan, bahkan ketika Abu Akleh telah dinyatakan meninggal. Mereka tak segan merangsek masuk ke kediaman Akleh yang sedang dirundung duka dan memaksa menurunkan bendera Palestina yang tengah dikibarkan.
Meskipun begitu, aksi represif Israel tak menyurutkan warga Palestina untuk ikut mengantarkan Abu Akleh ke tempat peristirahatan terakhirnya. Walau harus menghadapi pukulan baton, ribuan warga turut membopong peti Abu Akleh menuju ke mobil jenazah. Tak ayal, pemakaman Akleh pun menjadi ajang pasukan Israel untuk melukai puluhan warga sipil Palestina.
Baca juga: Kembali Wartawan Menjadi Korban
Kekerasan terhadap jurnalis
Kekerasan terhadap jurnalis yang bertugas di wilayah konflik Palestina telah menjadi isu laten. Catatan dari Al Jazeera dan Menteri Informasi Palestina menunjukkan, setidaknya terdapat 45 jurnalis yang telah menjadi korban meninggal dunia akibat peluru dari tembakan pasukan Israel.
Selama 10 tahun terakhir, tren kekerasan terhadap jurnalis di wilayah ini meningkat. Buktinya, lebih dari separuh jurnalis tersebut tewas dalam waktu 10 tahun terakhir. Secara spesifik, 17 di antara mereka meninggal saat konflik Israel-Palestina memanas pada 2014 akibat Operasi Militer Protective Edge yang diluncurkan Israel.
Nyatanya, ancaman kekerasan ini tidak hanya dialami oleh jurnalis asal Palestina saja. Selain Akleh yang berdarah separuh AS, tercatat beberapa jurnalis organisasi media internasional yang tewas akibat agresi Israel seperti wartawan Associated Press (AP) Simone Camilli yang meninggal pada 13 Agustus 2014 dan wartawan Reuters Fadel Shana yang meninggal pada 16 April 2008.
Serangan terhadap anggota pers di Palestina oleh otoritas Israel ini tak hanya terjadi di titik konflik saja. Buktinya, jurnalis Radio Voice of Al-Aqsa Yusef Abu Husein meninggal ketika kediamannya dijatuhi rudal oleh pasukan udara Israel pada 2018.
Jurnalis memang menjadi target operasi militer yang bisa saja dihabisi sewaktu-waktu oleh otoritas Israel.
Hal ini menjadi indikasi bahwa para jurnalis memang menjadi target operasi militer yang bisa saja dihabisi sewaktu-waktu oleh otoritas Israel.
Isu dugaan serangan terhadap jurnalis di Palestina sebetulnya baru saja diangkat ke gelanggang internasional. Ironisnya, beberapa hari sebelum Abu Akleh dibunuh, International Federation of Journalists, Palestinian Journalist Syndicate (PJS), dan International Centre of Justice for Palestinian (ICJP) mengajukan komplain formal Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag atas dugaan penargetan sistematis atas jurnalis Palestina oleh pasukan Israel.
Tak ayal, hal ini menguatkan pernyataan dari rekan yang menjadi saksi mata kejadian pembunuhan Akleh. Berdasarkan keterangan al-Samoudi, ia dan Akleh ingin mengambil gambar pasukan Israel yang sedang melakukan operasi.
Sebelumnya, mereka pun telah memastikan bahwa tidak ada pasukan Palestina di sekitar mereka untuk meminimalkan risiko munculnya konfrontasi ketika melakukan liputan. Tanpa ada peringatan apa pun, pasukan militer Israel melepaskan dua tembakan yang mengenai al-Samoudi dan Akleh.
Selaras, kesaksian serupa juga disampaikan oleh Shatha Hanaysha, seorang jurnalis lokal yang bersama Akleh ketika peristiwa naas itu terjadi. Kepada Al Jazeera, Hanaysha memberikan keterangan bahwa mereka sedang tidak berada di tengah konfrontasi dan secara terang-terangan menjadi target tembakan personel militer Israel.
Baca juga: Ketika Dimakamkan Pun, Jenazah Jurnalis Al Jazeera Masih Diganggu Israel
Disinformasi Israel
Peristiwa meninggalnya Akleh memantik reaksi keras dunia. Bukan hanya martir dari perjuangan kemerdekaan Palestina, Akleh juga merupakan simbol pers.
Pemerintah Israel pun sadar betul bahwa mereka tengah mendapat sorotan dunia. Alih-alih mencari pihak yang bertanggung jawab, mereka justru menyebarkan disinformasi melalui kanal media sosial. Tujuannya ialah agar ”bola panas” bergulir ke pasukan Palestina.
Aksi ini pun mendapat sanggahan dari berbagai media. Video yang sengaja disebarkan oleh Pemerintah Israel dipatahkan oleh investigasi dari Al Jazeera serta majalah Times yang menunjukkan ketidaksinambungan antara video disinformasi dan kronologi serta lokasi peristiwa penembakan Abu Akleh.
Selain itu, kini khalayak dunia tidak lagi mudah untuk dikelabui oleh Pemerintah Israel. Pasalnya, Pemerintah Israel memang memiliki kebiasaan untuk berdalih dan mengambinghitamkan pasukan Palestina ketika pasukannya kedapatan menghabisi warga sipil ataupun jurnalis.
Sebelumnya, strategi ini pernah digunakan saat wartawan lepas asal Inggris James Miller ditembak pada 2003. Padahal, investigasi independen membuktikan bahwa Miller tewas akibat peluru pasukan Israel setelah secara gamblang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang wartawan.
Pemerintah Israel memang memiliki kebiasaan untuk berdalih dan mengambinghitamkan pasukan Palestina ketika pasukannya kedapatan menghabisi warga sipil ataupun jurnalis.
Meskipun sudah berulang terjadi, bahkan telah menjadi isu yang laten, pihak otoritas Israel tak pernah mendapatkan sanksi atas kesewenang-wenangannya. Bahkan, ketika warga negara sekutunya, seperti AS dan Inggris, turut menjadi korban.
Sebagai contoh, seorang polisi menghajar seorang remaja berkebangsaan AS pada 2014 hanya diganjar dengan hukuman kerja sosial selama satu setengah bulan. Menanggapi hal tersebut, tak ada yang dilakukan oleh AS selain menyampaikan kekecewaannya.
Baca juga: Jurnalis Veteran Al Jazeera Tewas dalam Serbuan Tentara Israel
Reaksi keras negara aliansi
Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, aksi represif otoritas Israel kali ini mendapat reaksi yang cukup keras dari komunitas internasional.
Reputasi Abu Akleh sebagai jurnalis begitu besar hingga diakui sebagai “legenda” oleh Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki. Tak ayal, negara-negara yang secara tradisional dekat dengan Israel turut mengutuk aksi pembunuhan Abu Akleh.
Kritik atas aksi Israel ini tak terkecuali muncul dari AS yang biasanya bersikap cukup halus. Beberapa politisi AS seperti Rashida Tlaib, Betty McCollum, dan Mark Pocan secara terbuka mengutuk aksi Israel yang dengan sengaja membunuh jurnalis yang sedang bertugas. Juru bicara DPR AS Nancy Pelosi juga menyatakan, pembunuhan Abu Akleh merupakan tragedi yang mengerikan.
Tak berhenti di AS, kritik juga dilontarkan oleh UE yang menyayangkan sikap polisi Israel yang begitu represif selama proses pemakaman Abu Akleh. Bagi mereka, kekerasan yang dilakukan oleh pihak otoritas tidak perlu dan sangat tidak menghargai Abu Akleh dan keluarga.
Maka, apa yang dilakukan oleh Israel justru berisiko terhadap posisi politik mereka. Upaya normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab yang selama dua tahun terakhir intensif dilakukan bisa jadi kembali ke titik nol.
Kekerasan yang dilakukan Israel dalam pemakaman sangat tidak menghargai Abu Akleh dan keluarga.
Salah satunya ialah Qatar, negara di mana kantor pusat Al Jazeera berada, yang sebelumnya telah menjajaki hubungan bilateral dengan Israel.
Tak hanya itu, dukungan dari dunia Barat bisa menipis jika Israel terus melanggar prinsip dasar yang dijunjung tinggi dalam komunitas internasional seperti kebebasan pers dan penghargaan terhadap HAM. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Wartawati Al Jazeera Tewas Ditembak Tentara Israel saat Liputan Konflik di Tepi Barat