Dari hasil survei Reuters Institute terhadap 246 perusahaan media di 52 negara tergambar strategi utama media massa dalam menghadapi perkembangan digital. Tahun ini, tujuh dari sepuluh perusahaan media di dunia mengaku lebih mengedepankan upaya untuk memperkenalkan produk yang sudah ada daripada membuat produk baru. Artinya, fokus strategi yang diambil institusi media di dunia saat ini lebih banyak untuk mendistribusikan konten yang tepat untuk audiens yang tepat.
Dari fokus strategi ini, terdapat dua misi yang diemban oleh perusahaan media, yaitu mengenali kebutuhan audiens dan mengajak mereka untuk mau mengakses konten yang ditawarkan. Sebenarnya, isu seputar penjajakan dan penggaetan audiens sudah lama menjadi wacana bagi perusahaan media. Namun, ragam inovasi produk dan penataan struktur organisasi media dalam menghadapi perkembangan zaman membuat perusahaan media malah melupakan pelanggannya.

Melanie Sill, editor di surat kabar The News & Observer, AS, menyebutkan bahwa ruang redaksi seharusnya lebih mengenal audiens daripada pihak pemasaran. Ungkapan yang disampaikan Sill ini merujuk pada upaya media massa untuk selalu dekat dan relevan dengan kelompok publik yang dilayani.
Artikel yang ditulis Sill pada 2001 menyebutkan bahwa ruang redaksi sudah memiliki data tentang audiens mereka. Data ini berupa jumlah pembaca portal berita, angka penjualan koran, dan lokasi keberadaan audiens. Namun, itu semua akan sia-sia apabila tanpa tindak lanjut jalinan relasi antara pembuat konten dan audiens.
Dua puluh tahun berselang persoalan yang dihadapi perusahaan media massa semakin kompleks. Di era internet dan media sosial, setiap orang bisa meracik dan memublikasikan konten secara mandiri. Perkembangan teknologi digital kemudian memunculkan fenomena hiperkoneksi.
Secara sederhana, hiperkoneksi merupakan interaksi antara manusia dan manusia yang dijembatani oleh teknologi informasi dan komunikasi, termasuk interaksi antara manusia dan mesin, bahkan mesin dengan mesin lainnya. Pola interaksi yang sedemikian cepat dan rumit akan terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi.

Jurnalis pemengaruh
Perkembangan teknologi bagi perusahaan media menjadi tantangan tersendiri, terutama pada perusahaan yang sedang bertransformasi dari medium cetak menjadi digital. Iklim peredaran konten di era internet dapat dikatakan tanpa batas. Pembuat konten sepanjang waktu tanpa henti berupaya memperebutkan perhatian warganet.
Perebutan perhatian publik di era hiperkoneksi melahirkan individu-individu yang disebut sebagai pemengaruh. Dapat dikatakan bahwa para pemengaruh ini adalah pemenang dari pertarungan berebut perhatian di tengah riuhnya konten digital.
Dalam kerangka hiperkoneksi, perusahaan media dapat meniru pola kerja yang dilakukan pemengaruh. Seperti dikemukakan Sill dalam artikelnya, institusi media perlu menjalin interaksi dengan audiens. Dengan keberadaan medium digital, komunikasi dapat dilakukan tidak hanya antara perusahaan dan individu, bahkan bisa juga antara awak media dan audiens secara langsung.
Survei terbaru dari Reuters Institute ini juga mengungkapkan bahwa perusahaan media banyak memanfaatkan kanal media sosial untuk menjangkau audiens mereka. Tahun ini Instagram, Tiktok, dan Youtube masih menjadi kanal andalan untuk menggaet audiens, terutama dari generasi muda.
Gagasan untuk mengadopsi strategi pemengaruh diungkapkan oleh Nic Newman, jurnalis senior yang menjadi bagian dari Reuters Institute. Newman menyampaikan bahwa model ”ekonomi konten” atau hidup dari konten yang selama ini dijalankan oleh selebritas dan pemengaruh masih akan terus mendominasi. Oleh sebab itu, sudah saatnya perusahaan media mencoba mengikuti model bisnis serupa.

Merawat komunitas
Daya tarik konten salah satunya dipengaruhi oleh tokoh yang mewakili suatu kelompok tertentu. Lebih baik lagi apabila sosok yang ditampilkan merupakan opinion leader yang sudah memiliki massa.
Dalam bidang model bisnis ekonomi konten, terbuka kesempatan bagi individu jurnalis untuk merangkul komunitas yang relevan dengan bidang liputan atau produk jurnalistik yang dibuat. Upaya menggaet audiens tidak hanya menjadi tugas institusi, bisa juga dikerjakan di lingkup pribadi tiap awak media.
Artinya, setiap jurnalis dapat berperan penting untuk menjaga institusi media tempat ia bekerja tetap relevan bagi audiens. Di sinilah salah satu upaya mendistribusikan konten dengan metode personalisasi mulai dapat dirasakan manfaatnya.
Newman melihat bahwa strategi ini bisa menjawab persoalan tidak stabilnya minat audiens untuk mengakses produk jurnalistik. Fluktuasi minat audiens tampak dari data pengunjung portal berita di Amerika Serikat dan Inggris yang digerakkan oleh peristiwa sosial dan politik.

Pada awal November 2020, jumlah pengunjung harian portal berita digital di AS mencapai 1,4 juta. Angka ini didapat dari jumlah audiens 12 portal berita nasional. Momen yang berlangsung saat itu adalah pertarungan Joe Biden dengan Donald Trump dalam Pilpres AS.
Kemudian, pada Januari 2021, terjadi peristiwa massa yang merangsek ke Gedung Capitol. Kejadian ini mendongkrak jumlah audiens portal berita mencapai 1,4 juta pengunjung harian. Seiring peristiwa berlalu, minat audiens untuk mengakses konten jurnalistik kian menyusut. Hingga pada akhirnya mencapai titik normal harian, yakni 1 juta audiens.
Keberadaan Trump menjadi pemengaruh gratis bagi media. Audiens dengan sukarela menjadi pelanggan untuk mengikuti berita seputar Trump. Namun, tidak selamanya media bisa mengharapkan sosok seperti Trump untuk menggugah audiens.
Gagasan mengajak para jurnalis untuk menjadi pemengaruh diharapkan dapat menyumbang arus audiens yang lebih konsisten serta loyal. Salah satunya bersumber dari komunitas dengan minat khusus, misalnya dari kalangan akademisi, sejarawan, pehobi, dan komunitas berbasis fans atau fanbase.
Namun, upaya dalam skala individu belumlah cukup. Untuk mengalirkan produk jurnalistik pada platform digital secara masif diperlukan bantuan teknologi. Salah satu teknologi yang diandalkan ialah mesin dengan kecerdasan buatan (AI). Penggunaan teknologi AI mengadopsi dari yang sudah diterapkan oleh berbagai platform media sosial.

Kecerdasan buatan
Reuters Institute dalam surveinya menemukan ada beberapa tujuan perusahaan media ketika mengadopsi teknologi kecerdasan buatan. Sembilan dari sepuluh responden menyatakan bahwa AI akan sangat berguna untuk membantu menyodorkan saran konten kepada audiens secara otomatis.
Selanjutnya, sekitar 80 persen responden mengakui bahwa AI dimanfaatkan untuk melakukan otomasi pelabelan atau tagging suatu produk konten. Hal ini dilakukan supaya konten lebih mudah dicari oleh audiens sekaligus terintegrasi dengan otomasi personalisasi saran konten.
Pada urutan ketiga terdapat fungsi alat bantu jurnalis untuk memudahkan menyusun konten sesuai dengan kebutuhan audiens. Secara khusus AI dimanfaatkan untuk membantu mengumpulkan materi yang nantinya diramu menjadi konten baru. Materi yang terkumpul berupa gambar, data, serta artikel yang didapat dari media sosial dan internet.
Pemanfaatan yang keempat ialah untuk terus melacak minat calon audiens. Diasumsikan bahwa pada tahap sebelumnya perusahaan media sudah mengenali minat audiens loyal, pada bagian ini dilakukan untuk terus mengembangkan konten demi menarik lebih banyak khalayak.

Secara garis besar, kecerdasan buatan membantu upaya yang dilakukan jurnalis dalam mempromosikan kontennya, tetapi dalam skala lebih besar. Hal ini sudah lama dimanfaatkan dalam algoritma platform media sosial. Ketika audiens menyukai atau menghabiskan waktu dengan durasi tertentu saat mengakses konten, maka pada kesempatan berikutnya secara otomatis akan disodorkan konten serupa.
Harapannya akan menumbuhkan minat, kemudian kebutuhan, hingga terbentuk sikap loyal terhadap pihak penyedia konten. Sampai pada titik ini perusahaan media sudah harus siap berkecimpung dalam medan laga persaingan konten di media sosial. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Memahami Sembilan Kluster Perilaku Audiens Berita Digital