Lily Wahid dan Mandat Rakyat
Sebagai politisi dan anggota DPR, Lily Wahid lebih mengedepankan mandat rakyat yang memilihnya. Pilihan ini membuatnya tersingkir dari panggung legislatif nasional.
Keanggotannya di Dewan Perwakilan Rakyat relatif singkat. Terpilih di Pemilu 2009, Lily Chodidjah Wahid hanya resmi aktif menjabat sebagai wakil rakyat selama 17 bulan sebelum diberhentikan oleh partainya karena berbeda sikap.
Diskursus soal relasi antara mandat rakyat dan mandat partai mengemuka dengan kasus pemecatan yang pernah dialami adik kandung KH Abdurrahman Wahid ini.
”Jika ada anggota DPR yang kinerjanya tak seperti yang diharapkan, gugat saja di pengadilan,” ujar Lily Wahid seperti yang dikutip Kompas, Rabu (20/4/2011). Pernyataan ini ditegaskan Lily karena anggota DPR memegang amanah dari mandat rakyat yang diberikan di pemilihan umum.
Jika ada anggota DPR yang kinerjanya tak seperti yang diharapkan, gugat saja di pengadilan.
Pernyataan ini ditegaskannya saat mengajukan gugatan atas keputusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memecatnya gara-gara berbeda sikap dengan langkah politik partai.
Upaya pengajuan gugatan ini juga menjadi gambaran bagaimana seorang Lily Wahid meletakkan proses hukum sebagai cara yang efektif untuk mengontrol perilaku wakil rakyat. Baginya, upaya ini memiliki dasar hukum, yaitu UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Hal ini juga dibuktikan dengan langkahnya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan ketentuan recall atau penggantian antarwaktu anggota DPR dan pemberhentian anggota parpol di dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, khususnya Pasal 213 Ayat (2) huruf e dan h.
Meskipun uji materinya ditolak MK, Lily menegaskan komitmennya terhadap proses hukum sebagai langkah elegan dalam melakukan ”perlawanan”.
Pemecatan Lily Wahid dari keanggotaan partai yang sekaligus mengharuskannya diberhentikan dari anggota DPR bermula dari sikap politiknya yang berseberangan dengan garis politik PKB. Setidaknya ada dua isu utama politik nasional di periode DPR 2009-2014 yang menyedot perhatian publik saat itu, yakni kasus Bank Century dan Mafia Pajak.
Di kasus Bank Century, DPR saat itu dihadapkan pada dua pilihan sikap dalam menentukan soal kebijakan bailout Bank Century. Dua pilihan itu adalah opsi A yang menilai kebijakan bailout dan aliran dana kepada Bank Century tidak bermasalah. Kemudian opsi C yang menilai kebijakan bailout diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan pada proses hukum.
Dari 26 anggota Fraksi PKB yang hadir dalam Rapat Paripurna DPR, 3 Maret 2010, untuk voting atas sikap DPR soal Bank Century ini, satu orang, yakni Lily Wahid, memilih opsi C alias berbeda dengan mayoritas sikap anggota fraksi PKB lainnya yang memilih opsi A.
Kasus kedua adalah soal mafia pajak. DPR saat itu juga tengah dihadapkan pada dua pilihan terkait perlunya membentuk Panitia Khusus Hak Angket Mafia Pajak tahun 2011. Dua dari 28 anggota Fraksi PKB yang hadir di Rapat Paripurna DPR, 22 Februari 2011, berbeda sikap dengan pilihan politik anggota Fraksi PKB lainnya yang menolak pembentukan pansus tersebut.
Sementara kedua orang itu, yakni Lily Wahid dan Effendy Choirie, menyatakan menerima pembentukan pansus. Sikap dan pilihan politik Lily Wahid dan Effendy Choirie ini tergolong berani, bahkan Kompas dalam laporannya pada 25 Februari 2011 memberi judul ”Lily Wahid dan Effendy Choirie Lebih Memilih Rakyat”.
Baca Juga: Lily Wahid, Politisi Teguh Berpendirian Itu Berpulang
Pemecatan
Akibat berbeda pandangan dengan sikap partai inilah, Lily Wahid dan Effendy Choirie harus berhadapan dengan partainya.
PKB pun kemudian mengambil langkah pemecatan terhadap keduanya karena kerap berseberangan dengan sikap partai. Lily Wahid dalam dua kasus berturut-turut, yakni kasus Bank Century dan Mafia Pajak, lebih menunjukkan sikap yang selalu berlawanan dengan PKB.
Seperti yang dikutip Kompas, Lily tidak khawatir akan di-recall pimpinan partainya. Prinsipnya dalam berpolitik jelas, ia berada di parlemen karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga harus mempertanggungjawabkan sikap dan pilihannya kepada rakyat. Lily akan tunduk kepada partai sepanjang keputusan yang diambil sesuai dengan aspirasi rakyat.
Keputusan PKB yang memecatnya pun ia lawan sebagai upaya mempertanggungjawabkannya kepada pemilih yang memberikan mandat kepadanya. Bersama Effendy Choirie, ia menggugat keputusan partainya di pengadilan.
Namun, ujung akhirnya memang putusan hukum tidak berpihak kepada keduanya. Keduanya resmi kehilangan kursi di DPR setelah pada Maret 2013 PKB menunjuk dua orang sebagai pengganti antarwaktu.
Baca Juga: Lily Chodijah Wahid, Perempuan Politisi dan Adik Presiden Gus Dur Berpulang
Mandat rakyat
Dengan raihan suara mencapai 40.027, Lily Wahid terpilih sebagai anggota DPR di Daerah Pemilihan Jawa Timur II meliputi Kota dan Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo. Di Pemilu 2009 inilah untuk pertama kali pemilu diselenggarakan dengan sistem proporsional terbuka.
Sistem proporsional terbuka ini mulai diberlakukan sehingga calon legislatif yang terpilih dan berhak menduduki kursi yang diraih partai politik adalah mereka yang meraih suara terbanyak. Artinya, calon legislatif terpilih tidak lagi menggunakan mekanisme nomor urut.
Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak ini makin menegaskan bahwa anggota DPR memegang amanah sebagai mandat rakyat. Apalagi, salah satu pertimbangan diberlakukannya sistem proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak ini adalah untuk mendekatkan wakil rakyat dengan pemilihnya.
Sayangnya, mandat ini masih dibayangi oleh institusi partai politik sebab proses pencalonan semua anggota legislatif adalah melalui partai politik, bahkan suara yang diraih calon legislatif masuk bagian yang tidak terpisahkan dari suara yang diraih partai politik. Hal ini berbeda dengan mekanisme pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang cenderung melalui mekanisme perseorangan.
Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak ini makin menegaskan bahwa anggota DPR memegang amanah sebagai mandat rakyat.
Ke depan, menarik dipikirkan bagaimana mekanisme sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak ini mampu menjamin mandat rakyat di tangan anggota legislatif yang dipilihnya. Indonesianis Jeffrey Winters pernah melontarkan gagasannya agar rakyat bisa mencabut mandatnya terhadap anggota Dewan.
Sepertinya yang diberitakan Kompas, menurut Jeffrey, mekanisme recall oleh rakyat bisa menjadi alternatif untuk memperbaiki kinerja dan kualitas DPR yang dinilai tak memperjuangkan kepentingan konstituennya.
Pemberian hak recall kepada rakyat akan membuat wakil rakyat berpikir ulang jika mereka tak memperjuangkan kepentingan konstituennya (Kompas, 20/4/2011).
Kekhawatiran Jeffrey ini sebenarnya juga terjadi sampai hari ini. Ada kecenderungankecenderungan rakyat memiliki partisipasi dalam memilih. Namun, setelah pemilu, kekuatan rakyat tidak lagi menentukan sehingga wakil yang mereka pilih bisa berbuat seenaknya tanpa khawatir dihukum oleh pemilihnya.
Apa yang dialami oleh Lily Wahid dan mungkin tidak sedikit juga dialami oleh anggota legislatif lainnya memberi pelajaran bahwa pemilik mandat tetaplah rakyat.
Kedudukan partai politik dalam undang-undang sebagai peserta pemilu di satu sisi, sedangkan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka di sisi yang lain, yang menempatkan calon legislatif menerima ”mandat langsung” dari pemilih, perlu dicari jalan tengahnya agar mandat pemilih tetap terjaga.
Pengalaman Lily Wahid yang mempertahankan mandat rakyat di akhir pengabdiannya menjadi pelajaran penting bagi relasi wakil rakyat dengan konstituennya.
”Saya pamit kepada masyarakat Indonesia. Saya tidak lagi dapat menyuarakan aspirasi melalui lembaga legislatif. Namun, saya pasti akan tetap bersuara,” kata Lily di Kompleks Parlemen, Jakarta, (Kompas, 21/3/2013) setelah resmi diganti.
Senin, 9 Mei 2022, Lily Wahid wafat meninggalkan semangat besinya sebagai politisi petarung yang tangguh, seperti yang diakui oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam akun Instagramnya. ”Saya yakin Bulik itu husnul khotimah, perempuan besi yang tangguh.” (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Menguatkan Kembali Mandat Rakyat