Pemudik, Cerminan Fenomena Migrasi Indonesia
Fenomena mudik Lebaran tak ubahnya potret bagaimana perpindahan penduduk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Faktor perbaikan ekonomi menjadi daya dorong migrasi tersebut.

Arus mudik di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon saat musim mudik Natal 2019.
Prediksi jumlah pemudik masa lebaran yang berkisar 85 juta orang pada tahun ini merupakan cerminan dari fenomena migrasi penduduk antarwilayah yang sudah terjadi sejak dahulu kala. Penduduk yang merantau ke daerah lain demi meningkatkan taraf hidupnya kini sebagian besar sudah berhasil memperbaiki kualitas kehidupan keluarganya. Migrasi menjadi salah satu cara “hijrah” menuju kehidupan lebih baik.
Tak jarang, mereka yang berhasil merantau sudah memiliki usaha atau pekerjaan, memiliki aset dan properti, sebagian besar anak keturunannya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, serta memiliki kesadaran untuk meningkatkan kualitas kesehatan.
Penduduk Indonesia yang termasuk kelompok migran jumlahnya ada sekitar 35 juta jiwa.
Berdasarkan laporan “Profil Migran Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2019” dari BPS menunjukkan, penduduk Indonesia yang termasuk kelompok migran jumlahnya ada sekitar 35 juta jiwa.
Kelompok migran ini terbagi menjadi dua. Pertama, migran seumur hidup yang artinya adalah seseorang yang provinsi tempat lahirnya berbeda dengan provinsi tempat tinggal pada saat pencacahan. Jumlah migran seumur hidup ini pada Maret 2019 mencapai kisaran 29,6 juta jiwa atau sekitar 11 persen dari total seluruh penduduk Indonesia.

Kelompok kedua, adalah migran risen yang berarti seseorang yang provinsi tempat tinggalnya pada masa 5 tahun sebelumnya berbeda dengan provinsi tempat tinggal pada saat pencacahan terbaru. Kelompok migran risen ini kini jumlahnya hampir mencapai 6 juta jiwa atau kisaran 2 persen.
Bila dikaitkan dengan jumlah pemudik Lebaran yang diperkirakan mencapai 85 juta orang atau lebih dari dua kali lipatnya jumlah penduduk migran itu, maka mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat migran tersebut sudah “beranak-pinak”. Artinya, sebagian besar para migran yang merantau di luar wilayah provinsinya itu melakukan tradisi mudik dengan membawa serta keluarga dan anak-anaknya.
Hampir dapat dipastikan bahwa anak-anak para penduduk migran tersebut lahir dan besar di wilayah perantauan orang tuanya. Dengan kata lain, sebagian besar para penduduk migran ini sudah menetap dan menjadi warga masyarakat di tanah rantauan.
Baca juga : Mudik
Pilihan menarik
Meskipun jauh dari kampung halaman, bermigrasi menjadi pilihan yang menarik untuk dijalani oleh sebagian masyarakat Indonesia. Apalagi, citra masyarakat yang bermigrasi di Indonesia relatif baik karena sebagian besar memiliki kualitas kehidupan yang semakin meningkat.
Ada sejumlah indikator yang menguatkan citra para masyarakat migran itu. Indikator ini diambil dari masyarakat migran risen yang rentang waktu perpindahan wilayah tempat tinggalnya relatif masih singkat, yakni kisaran lima tahun.
Apabila, dalam rentang lima tahun ini kualitas kehidupannya semakin membaik, maka ada kemungkinan bagi para migran risen ini untuk tinggal dan menetap di wilayah rantauan, sehingga masuk dalam kelompok migran seumur hidup.

Warga mengantre panggilan saat proses pendaftaran Mudik Bareng Polri 2022 di halaman gedung Balai Pertemuan Metro Jaya (BPMJ) di komleks Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (21/4/2022).
Laporan dari “Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2019” menujukkan, profil migran risen di Indonesia tergolong relatif cukup membanggakan. Kelompok migran risen tersebut sebagian besar berada pada masa usia produktif yakni pada rentang 20-39 tahun.
Kelompok usia ini menguasai sekitar 57 persen masyarakat migran risen Indonesia, sehingga sangat potensial untuk terlibat dalam proses produksi barang dan jasa di suatu wilayah.
Pendidikan yang ditamatkan oleh sebagian besar para perantau risen itu rata-rata adalah lulusan SMA sederat. Sekitar 33 persen migran risen sudah lulus dalam rentang pendidikan dasar 12 tahun ini. Untuk jenjang pendidikan tinggi jumlahnya relatif sedikit, yakni hanya sekitar 13 persen.
Terserap menjadi pekerja formal merupakan harapan terbesar bagi para masyarakat migran risen di Indonesia. Terutama di sektor industri ataupun jasa.
Meskipun tingkat pendidikan rata-ratanya relatif belum tinggi, tetapi nyatanya mayoritas migran risen terserap dalam lapangan pekerjaan. Sebagian besar sekitar 58 persen terlibat dalam pekerjaan formal sebagai buruh, karyawan, ataupun pegawai.
Sisanya, terserap dalam sejumlah pekerjaan informal seperti menjadi wiraswasta sekitar 28 persen, pekerja serabutan sekitar 6 persen, dan membantu usaha keluarga sekitar 7 persen.
Uraian ini menunjukkan bahwa terserap menjadi pekerja formal merupakan harapan terbesar bagi para masyarakat migran risen di Indonesia. Terutama di sektor industri ataupun jasa.

Dengan deskripsi pekerjaan yang beragam tersebut ternyata para perantau mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Satu indikasinya, terlihat dari kepemilikan aset tempat tinggal. Sebagian besar migran risen, yakni hampir 53 persen sudah memiliki bangunan tempat tinggal dengan status milik pribadi.
Hal ini tentu saja adalah kemajuan yang luar biasa karena hanya dalam rentang lima tahun para masyarakat perantau tersebut mampu memiliki aset tempat tinggal pribadi. Tentu saja dengan kualitas bangunan yang sebagian besar memenuhi standar kelayakan dan kesehatan.
Keinginan untuk bermigrasi masyarakat di Indonesia akan terus ada sepanjang masa.
Dengan luasan lahan yang cukup, berdinding tembok, berlantai keramik ataupun semen, dan memiliki sumber air minum dan MCK yang layak. Bahkan, sebagian perantau ini juga sudah memiliki sejumlah aset seperti perhiasaan, kendaraan, dan fasilitas pendukung kegiataan sehari-hari.
Dengan sejumlah “prestasi” ini maka keinginan untuk bermigrasi masyarakat di Indonesia akan terus ada sepanjang masa. Terutama ketika ketimpangan kemajuan antarwilayah di Indonesia masih terus terjadi seperti saat ini dimana perekonomian nasional sebagian besar masih terakumulasi di Pulau Jawa.
Baca juga : Aliran Dana Pemudik ke Daerah Diharapkan Dorong Perekonomian
Sentra tujuan migran
Dari 34 provinsi di seluruh Indonesia, ada 5 provinsi yang menjadi sentra tujuan utama kaum migran seumur hidup. Provinsi itu adalah Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Tingginya daya tarik kelima provinsi itu bagi kaum pendatang terlihat dari relatif banyaknya jumlah penduduk migran yang masuk dari luar daerah.
Masing-masing provinsi tersebut memiliki komposisi warga migran dengan total jumlah penduduknya rata-rata di atas 30 persen. Jadi, lebih dari sepertiga masyarakat di wilayah itu merupakan warga pendatang yang sudah cukup lama menetap di provinsi bersangkutan.
Ada sejumlah faktor yang menjadi daya tarik kelima provinsi itu, tetapi salah satu yang paling dominan adalah yang terkait dengan perekonomian. Kelima provinsi tersebut secara makro memiliki rata-rata penghasilan per kapita terbesar di Indonesia.

Potret salah satu keluarga yang kembali mengikuti tradisi mudik Lebaran dari Jakarta saat tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (27/4/2022). Program mudik gratis ini merupakan salah satu layanan pemerintah saat berlangsungnya arus mudik.
Rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita masing-masing provinsi di Indonesia pada tahun 2019 sekitar Rp 63 juta per tahun. Namun, untuk lima provinsi itu pendapatan per kapitanya rata-rata sudah di atas Rp 80 juta/tahun. Bahkan, untuk DKI Jakarta, nominalnya mencapai Rp 260 juta setahun.
Tingginya pendapatan per kapita itu mengindikasikan bahwa daerah tersebut memiliki peluang kesempatan ekonomi yang relatif lebih tinggi dari daerah lainnya. PDRB nominalnya relatif masih banyak untuk didistribusikan ke semua warga masyarakat yang berada di wilayah itu.
Bahkan, secara makro, jumlahnya masih banyak bila dibagi secara merata. Artinya, terbuka peluang yang lebar untuk berusaha dan bekerja di daerah bersangkutan.
Hal ini tentu saja mengundang datangnya investor untuk mengembangkan usaha yang membuka lapangan pekerjaan. Selain itu, juga mendorong tumbuhnya usaha-usaha pendukung yang turut menopang kemajuan perekonomian suatu wilayah. Tak heran, apabila banyak pendatang yang hadir untuk turut serta terlibat dalam proses produksi ataupun membuka usaha di wilayah maju itu.
Baca juga : Mudik Memperkuat Ikatan Sosial Bangsa
Neto positif-negatif
Kemajuan suatu wilayah tentu saja memberikan berkah bagi warga masyarakat. Salah satunya memberikan peluang pekerjaan dan usaha bagi warga setempat. Sayangnya, daya tarik ini tidak hanya menarik bagi masyarakat lokal, tetapi juga menarik bagi masyarakat dari luar daerah. Akibatnya terjadi semacam “persaingan” antara warga asli dan pendatang dalam meraih kesempatan dalam merintis usaha ataupun memperoleh pekerjaan.
Tidak sedikit warga setempat yang justru tersisih karena kalah dengan pendatang. Para kaum migran banyak yang terserap menjadi tenaga kerja dan sukses merintis usaha, sedangkan warga setempat masih banyak yang menganggur dan menjadi penonton.

Fenomena demikian mendorong terjadinya arus migrasi keluar suatu daerah. Bila berhasil, para migran ini biasanya juga menetap seumur hidup di tanah rantauan.
Ada 5 provinsi di Indonesia yang memiliki selisih antara jumlah migran masuk dan keluar dalam jumlah yang besar. Selisih ini disebut neto.
Jika surplus disebut neto positif dan defisit disebut neto negatif. Daerah yang memiliki jumlah migrasi neto seumur hidup positif yang besar adalah Jawa Barat, Banten, Riau, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau. Kelima provinsi ini rata-rata memiliki surplus jumlah masyarakat migran lebih dari satu juta orang. Kecuali, Kepulauan Riau yang hanya sebesar 870 ribu orang.
Selanjutnya, untuk 5 provinsi lain yang mengalami neto negatif terbesar pada migrasi seumur hidupnya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Kelima provinsi ini rata-rata mengalami defisit jumlah migrasi di wilayahnya rata-rata lebih dari 1 juta orang. Bahkan, Jateng mengalami defisit migrasi lebih dari 5 juta orang.

Kemacetan terjadi di Kilometer 70 Tol Jakarta-Cikampek, Jumat (29/4/2022) siang. Meskipun sejumlah rekayasa lalu lintas, seperti pembatasan nomor pelat kendaraan ganjil genap dan sistem satu arah atau one way, telah diterapkan pada arus mudik Lebaran 2022, kemacetan tetap terjadi.
Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada lebaran tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya jumlah pemudik yang menuju Jateng merupakan yang terbanyak secara nasional. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah penduduk Jateng yang bermigrasi dan sudah menetap di luar daerah.
Proses migrasi demikian secara alamiah akan terus berlangsung sepanjang waktu. Selama ada celah ketimpangan sosial ekonomi antarwilayah, niscaya migrasi tidak akan bisa dicegah.
Upaya untuk meningkatkan status sosial ekonomi keluarga adalah hak setiap insan manusia. Hanya saja, dengan adanya arus migrasi tentu saja akan menimbulkan persaingan dengan warga lokal yang berada di lokasi tujuan migrasi. Siapa yang kuat, dialah yang menang.
Selama ada celah ketimpangan sosial ekonomi antarwilayah, niscaya migrasi tidak akan bisa dicegah.
Hal ini perlu direduksi dan diantisipasi agar tidak menimbulkan konflik sosial di masa mendatang. Oleh sebab itu, perlu langkah-langkah untuk mengurangi migrasi dan urbanisasi di masa depan. Salah satu langkah yang paling efektif untuk mereduksi pengumpulan migrasi di suatu wilayah adalah dengan meratakan pertumbuhan ekonomi di semua wilayah Indonesia.
Kebijakan investasi lebih diarahkan ke daerah-daerah yang memiliki tingkat migrasi keluar sangat tinggi. Pengembangan pembangunan ekonomi seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan adalah salah satu cara efektif untuk meningkatkan pembangunan nasional sekaligus mengurangi tingginya laju migrasi dari daerah tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Urbanisasi dari Perspektif Desa