Membaca Politik Perancis, Meneropong Masa Depan Eropa
Kemenangan Emmanuel Macron di pemilu presiden Perancis tercatat paling rendah dalam sejarah. Namun, kemenangan Macron sedikit banyak menjamin stabilitas geopolitik di Eropa.

Presiden Perancis Emmanuel Macron
Pemilu Perancis telah tuntas dan dimenangkan oleh sang petahana. Kemenangan ini tak hanya berarti bagi masyarakat negaranya, melainkan juga dunia. Dengan bertahannya Macron di kursi nomor satu Perancis, konstelasi geopolitik di Eropa akan sedikit lebih stabil di tengah kecamuk perang Rusia-Ukraina.
Tidak berlebihan jika pemilu Perancis yang berlangsung April ini merupakan peristiwa yang menentukan sejarah. Dalam peta politik regional dan global, Perancis memiliki peranan yang penting. Setidaknya terdapat beberapa poin penting yang dapat diambil dari kemenangan Macron dalam pemilu 2022 ini.
Pemilu Perancis yang berlangsung April ini merupakan peristiwa yang menentukan sejarah.
Artikel dalam harian Le Monde pada 22 April bertajuk “We need France to defend our common European values” bisa menjadi gambaran seberapa strategis posisi negara ini.
Artikel opini yang ditulis oleh Perdana Menteri Portugal Antonio Costa, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz di harian paling berpengaruh di Perancis ini menunjukkan seberapa nasib Benua Biru bergantung pada kemenangan Macron.

Dalam artikel tersebut, ketiga pemimpin negara Eropa ini menuturkan kekhawatirannya apabila pemilu dimenangkan oleh Le Pen. Bagi mereka, posisi politik Le Pen akan mendestabilisasi situasi geopolitik Eropa yang kini masih karut marut akibat krisis di Ukraina.
Kecemasan ketiga tokoh politik ini bukanlah tanpa alasan. Berada di kanan ekstrem, Le Pen secara gamblang menyatakan langkah politik luar negeri yang akan ia ambil ketika terpilih akan lebih tertutup dibandingkan rivalnya.
Posisi politik Le Pen akan mendestabilisasi situasi geopolitik Eropa yang kini masih karut marut akibat krisis di Ukraina.
Beberapa contoh kebijakan yang ia promosikan dalam kampanye meliputi menarik diri dari NATO, menarik diri dari politik Uni Eropa, memperketat imigrasi hingga memberikan hak lebih kepada warga negara Perancis dibandingkan warga negara lainnya.
Tak ayal, terpilihnya Le Pen akan menimbulkan kekosongan besar dalam konstelasi geopolitik Eropa. Pasalnya, Macron lah yang selama ini telah relatif mampu menggantikan posisi mantan Kanselir Jerman Angela Merkel. Sebelumnya, Merkel merupakan sosok yang dapat mempersatukan para pemimpin hingga menentukan arah politik Uni Eropa.

Calon Presiden Perancis Marine Le Pen
Posisi sentral dari Macron dalam dinamika politik Eropa kian jelas terlihat selama krisis Ukraina. Serupa dengan peran Merkel pada krisis Crimea tahun 2014, Macron menjadi salah satu figur yang terus mengupayakan perdamaian.
Di tengah kesibukannya mengurus negara dan melakukan kegiatan kampanye, ia masih menyempatkan diri untuk berjibaku melakukan diplomasi satelit. Meskipun relatif gagal, upayanya terus menghidupkan harapan di tengah alotnya proses negosiasi.
Dalam konteks yang lebih luas, Perancis merupakan negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB. Tak hanya itu, Perancis juga tercatat menjadi bagian dari negara nuclear power, salah satu negara dengan kapabilitas militer terbaik dan juga termasuk produsen senjata terbesar di dunia.

Poster bergambar petahana Presiden Perancis Emmanuel Macron dan penantangnya Marine Le Pen dicoret-coret saat kelompok lingkungan Extinction Rebellion berunjuk rasa di Paris, Prancis, Senin, 18 April 2022.
Jika kekuatan ini jatuh ke tangan yang salah, konsekuensi yang ditimbulkan tidak akan main-main. Terlebih lagi, Le Pen diketahui memiliki kedekatan khusus dengan Kremlin. Selain beberapa kali berkunjung dan bertemu dengan Putin, Le Pen juga disebutkan pernah menerima dukungan dana dari Rusia ketika ia berkampanye pada pemilu 2017.
Baca juga : Zelenskyy Ucapkan Selamat Atas Kemenangan Emmanuele Macron
Populisme dan gerakan sayap kanan
Selain persoalan keamanan, hasil pemilu Perancis lalu juga sedikit banyak bisa memberikan gambaran dari arah politik domestik di Eropa. Sebelumnya, Perancis menjadi salah satu negara yang cukup kuat menahan “tsunami” gerakan politik sayap kanan yang menyapu Eropa selama satu dekade terakhir.
Di tengah momentum kemenangan partai dan pemimpin berhaluan kanan seperti Lega Nord di Italia, Viktor Orban di Hungaria dan Jaroslaw Kaczynski di Polandia, Macron yang berhaluan tengah mampu memenangkan pemilu dengan relatif mudah.

Namun, keadaan ini sedikit berubah pada pemilu tahun ini. Di atas kertas, kemenangan Macron nampak meyakinkan. Pada putaran kedua pemilihan, ia berhasil memenangkan 58,5 persen, berselisih lebih dari lima juta suara dibandingkan pesaingnya Marine Le Pen. Sebuah angka yang sebetulnya tidak bisa dibilang buruk.
Namun, justru banyak yang khawatir dengan capaian Macron kali ini. Pasalnya, selisih kemenangan Macron pada pemilu kedua ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan capaiannya pada pemilu 2017. Saat itu, dengan gemilang Macron dapat mengantongi lebih dari 66 persen.
Macron menjadi presiden dengan dukungan terendah semenjak terpilihnya Georges Pompidou di 1969.
Menurunnya capaian Macron ini dibarengi dengan rendahnya partisipasi dalam pemilu 2022. Dari seluruh daftar pemilih, sekitar 28 persennya memilih untuk golput. Artinya, jumlah suara yang diperoleh oleh Macron tak sampai separuh dari total populasi Perancis yang telah memiliki hak untuk memilih. Jika dibandingkan, Macron menjadi presiden dengan dukungan terendah semenjak terpilihnya Georges Pompidou di 1969.
Sedangkan di sisi lain, posisi Le Pen semakin menguat. Tak hanya mendapat semakin banyak suara, retorika Le Pen berhasil menarik pemilih-pemilih baru. Hal ini ia lakukan selagi mempertahankan basis suara yang sebelumnya ia menangkan di pemilu 2017.

Kandidat presiden Marine Le Pen (tengah) bertemu dengan masyarakat saat kampanye di Saint-Pierre-en-Auge, Senin (18/4/2022)
Makin kuat dan meluasnya dukungan terhadap Le Pen ini terlihat dari sebaran wilayah kemenangan kedua kandidat. Meski secara tradisional kuat, Le Pen belum mampu mengamankan seluruh wilayah industrial di kawasan Utara dan Timur Laut serta wilayah yang relatif konservatif di provinsi-provinsi selatan dan tenggara Perancis pada Pemilu 2017.
Pada pemilu kali ini, Le Pen berhasil mengamankan suara di kantong-kantong tersebut. Namun, narasi Le Pen masih terbukti kurang diminati oleh masyarakat urban yang tinggal di kota-kota besar seperti Paris, Lyon, dan Tolouse.
Baca juga : Menjelang Pemilu Perancis Putaran Kedua
Masa depan Perancis
Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, dalam rentang waktu yang panjang, gerakan politik sayap kanan semakin mendapatkan tempat di Perancis, menggeser dominasi partai sosialis dan komunis yang sebelumnya menguasai dinamika politik negara tersebut selama lebih dari 20 tahun.
Sebelumnya, ayah dari Marine Le Pen, Jean-Marie Le Pen yang menanam benih Partai Barisan Nasional saja belum pernah meraup suara sebanyak putrinya.

Pendukung petahana Presiden Perancis Emmanuel Macron berteriak saat pemimpin sayap kanan Perancis Marine Le Pen tiba di Saint-Pierre-en-Auge, Normandia, untuk berkampanye, Senin (18/4/2022).
Di tengah tren apatisme politik dan naiknya politik sayap kanan, nasib demokrasi Perancis bisa jadi tinggal seumur jagung.
Jika partai haluan kiri dan tengah tidak dapat menyatukan suara, kemungkinan besar Le Pen dan partainya lah yang akan menguasai pemerintahan Perancis. Apabila hal ini yang terjadi, akan sulit untuk mengembalikan momentum persatuan regional yang telah separuh abad diperjuangkan.
Di tengah tren apatisme politik dan naiknya politik sayap kanan, nasib demokrasi Perancis bisa jadi tinggal seumur jagung.
Kedua, dalam rentang waktu yang lebih sempit, posisi Macron belum tentu aman meskipun telah memenangkan pemilu. Sebelumnya pada pemerintahan periode pertama, Partai LREM yang mengusung Macron merupakan partai mayoritas dengan perolehan kursi sebanyak 267 atau setara dengan 46 persen dari total kursi.
Berkoalisi dengan Partai MoDem dan Agir Ensemble, total kursi yang mendukung pemerintah sebanyak 346 kursi atau 60 persen.

Presiden Perancis Emmanuel Macron saat menghadiri pertemuan dengan pemimpin partai sayap kanan, Perhimpunan Nasional (Rassemblement National) Perancis, Marine Le Pen di Istana Elysee di Paris, Perancis, 6 Februari 2019.
Besarnya dukungan dari partai koalisi pemerintahan ini membuat langkah Macron relatif enteng selama lima tahun menjabat. Tidak terlalu banyak tentangan dari legislatif, meskipun tak sedikit dari kebijakan Macron yang kontroversial hingga memancing munculnya beberapa unjuk rasa besar.
Hal tersebut belum tentu terjadi di periode kedua ini. Dukungan masyarakat yang melemah pada pemilu presiden ini kemungkinan akan terkonversi menjadi berkurangnya dukungan terhadap partai koalisi pada pemilu legislatif yang akan digelar di minggu kedua Juni nanti.
Apabila nantinya partai koalisi pemerintah kehilangan status mayoritasnya, ruang gerak Macron baik dalam kebijakan domestik maupun luar negeri tentunya akan semakin sempit. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Rivalitas dalam Pertarungan Ideologis dan Demografis di Pemilu Perancis