Di Balik Kegagalan ”Gli Azzurri” Lolos ke Piala Dunia
Dua kali secara berturut tim nasional Italia gagal lolos ke Piala Dunia. Apakah ini sekadar ketidakberuntungan atau timnas Italia memang sedang menghadapi masalah serius?
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·6 menit baca
Keberuntungan itu buta (fortuna caeca est), demikian keyakinan masyarakat Italia dalam budaya mereka. Dewi fortuna memang digambarkan sebagai sosok dewi yang matanya tertutup dan menentukan keberuntungan dan ketidakberuntungan suatu nasib. Kini, sepak bola Italia yang sedang ditinggalkan dewi keberuntungan di panggung Piala Dunia.
”Gli Azzurri” sudah dua kali absen di Piala Dunia sejak 2018 lalu. Kekalahan 0-1 di pertandingan melawan Makedonia Utara pada 25 Maret 2022 menjadi vonis akhir nasib Italia yang gagal menginjakkan kakinya di Qatar pada November 2022 mendatang. Satu gol Makedonia Utara di menit akhir yang memanfaatkan miskoordinasi pemain Italia menjadi justifikasi banyak pihak bahwa itu hanya soal ketidakberuntungan.
The Guardian menyebut para penyerang depan Italia sedang tidak beruntung malam itu. Sebab, di bawah pelatih Roberto Mancini, Italia tidak pernah kalah secara beruntun di 37 pertandingan sebelumnya. Begitu juga dengan media sepak bola ternama, Four Four Two, yang menyebut berbagai strategi serangan Italia malam itu, mulai dari false nine, umpan silang, hingga tembakan jarak jauh, tidak dapat menemui keberuntungan satu gol pun.
Sistem kualifikasi tim Piala Dunia kali ini pun menjadi salah satu kambing hitam kegagalan Italia. Bagi pendukung Gli Azzurri, sistem ini tidak adil karena Italia hanya sekali kali kalah dan langsung terdepak dari negara peserta Piala Dunia. Pemain belakang Italia, Bonucci, menyatakan bahwa sistem tersebut absurd karena ada banyak tim yang kalah dalam empat atau lima pertandingan, tetapi tetap lolos.
Bagaimanapun juga, menyalahkan pihak FIFA selaku penyelenggara tidak akan mengubah nasib Italia di Piala Dunia. Sebaliknya, Italia harus memberikan evaluasi besar bagi sepak bola timnas mereka. Dekadensi permainan timnas Italia (La Nazionale) terlihat setelah kemenangan di Piala Eropa 2020 pada Juli.
Dalam tiap pertandingan internasional, baik kualifikasi Piala Dunia maupun pertandingan persahabatan, para pemain kerap kehilangan peluang, gagal mengeksekusi penalti, dan hanya mengandalkan tendangan jarak jauh. Pamor Italia sebagai salah satu raksasa sepak bola dunia sudah terkikis.
Di saat Brasil mengembangkan permainan kreatif, Spanyol dengan permainan umpan-umpan pendek, Jerman bermain makin taktis, Perancis dan Argentina yang mengembangkan pemain muda, Italia justru tetap menampilkan permainan yang membosankan. Bermain dengan mengandalkan duel fisik pemain, umpan lambung jauh, tendangan tidak terarah, adu mulut atau perang psikologis di pertandingan, dan tentu saja aksi berpura-pura dilanggar (diving).
Liga Serie A
Dalam wawancara dengan Adnkronos, media Italia, Luciano Moggi menyatakan krisis sepak bola Italia bermula dari skandal calciopoli. Mantan direktur sepak bola klub Juventus sekaligus salah satu yang terlibat dalam calciopoli itu mengakui bahwa skandal tersebut telah menghancurkan sistem kompetisi dan kultur sepak bola Italia. Skandal calciopoli dikenal dengan tindakan pengaturan skor dan suap kepada wasit di Liga Italia Serie A pada 2006.
Ironisnya, di tahun yang sama Italia justru menjadi juara Piala Dunia setelah mengalahkan Perancis lewat adu penalti. Kebenaran dari pernyataan Luciano Moggi tampak nyata sebab, di Piala Dunia 2010, Italia tidak lolos kualifikasi grup. Malapetaka itu kembali terulang di Brasil setelah Italia hanya sanggup berada di peringkat ketiga Grup D Piala Dunia 2014.
Dalam sepak bola dikenal idiom bahwa kualitas liga domestik mencerminkan kualitas tim nasional. Bagi pengamat sepak bola, ada benang merah antara timnas Italia yang lolos di Piala Dunia 2022 dengan tidak adanya perwakilan tim asal Italia di babak delapan besar Liga Champions Eropa 2021/2022. Artinya, tim Italia yang berlaga di kancah internasional pun tidak dapat bersaing dari tim liga lainnya.
Setidaknya ada empat masalah utama di sepak bola Italia secara keseluruhan. Pertama, investor besar menghindari berbisnis di klub Italia. Permasalahan ini terkait dengan isu mafia sepak bola yang masih kental dengan korupsi, suap, judi, dan pengaturan skor.
Keengganan para investor untuk menanamkan modalnya di klub Serie A tersebut memengaruhi faktor yang kedua, yakni terhambatnya perkembangan sebuah klub sepak bola. Finansial klub berimbas pada kualitas pemain yang berlaga di Serie A, pembinaan pemain muda, hingga daya tarik kompetisi tersebut di mata penggemar sepak bola.
Dalam laporan Deloitte 2022, klub asal Italia terlihat tidak dapat bersaing secara finansial dengan klub-klub di liga Eropa lainnya. Di daftar 20 klub teratas yang dihimpun Deloitte, hanya Inter Milan (posisi ke-14) dan AC Milan (posisi ke-19) saja yang ada di deretan tersebut.
Sebagai perbandingan, sepanjang musim 2020/2021 Inter Milan hanya mampu mengumpulkan pendapatan sebesar 330,9 juta euro. AC Milan lebih sedikit lagi, hanya 216,3 juta euro. Sementara di peringkat pertama, Manchester City mampu mengumpulkan 644,9 juta euro pada musim yang sama.
Kurangnya finansial ini tentu akhirnya berimbas pada faktor ketiga, yakni kurangnya daya tarik Serie A di mata penggemar sepak bola dunia. Klub dengan finansial yang melimpah dapat mendatangkan pemain besar dan meningkatkan jumlah penonton pertandingan. Berdasarkan data siaran liga domestik dunia, Serie A masih kalah pamor dengan Premier League (Liga Inggris), Bundesliga (Liga Jerman), dan La Liga (Liga Spanyol) dari segi nilai per musimnya.
Dalam dialog di kanal Youtube Registaco, Justinus Laksana menyorot tajam kekurangan timnas Italia dari segi regenerasi pemain muda, terutama di sektor penyerang. Pundit sepak bola tersebut menyebutkan bahwa tim-tim besar Italia lebih banyak mengandalkan pemain penyerang dari negara lain. Imbasnya, pemain muda Italia kalah bersaing dan timnas Italia tidak memiliki penyerang yang tajam di lini depan.
Persoalan di lini depan ini terlihat jelas dalam pertandingan terakhir melawan Makedonia Utara. Para pemain Italia melepaskan 32 tendangan langsung, tetapi hanya lima yang mengarah ke gawang. Dengan kata lain, persoalan finishing, kesabaran, dan kematangan lini depan dalam memanfaatkan peluang menjadi pekerjaan rumah Italia.
Regenerasi
Generasi pemain muda timnas Italia saat ini memiliki potensi untuk mengandalkan serangan yang mengalir dan tidak lagi melulu bermain bertahan (catenaccio). Italia masih pantas disebut salah satu raksasa sepak bola dunia jika mampu mengubah persoalan sistemik di taraf liga domestik. Empat kali juara Piala Dunia dan dua kali juara Piala Eropa menjadi prestasi yang patut dipandang.
Francesco Graziani, mantan pemain timnas Italia di era 1980-an, menyatakan bahwa kunci berbenah dimulai dengan memfokuskan pada pembinaan pemain muda. Dalam proses tersebut, pemain muda perlu diberi tempat di timnas dan di tingkat klub, pembatasan pemain asing perlu menjadi pertimbangan.
Pendapat Graziani cukup tepat sebab di delapan klub teratas Serie-A hanya 18 pemain Italia saja yang benar-benar turun bermain secara rutin. Belum lagi, tujuh dari ke-18 pemain Italia tersebut nyatanya telah berusia 30-an. Maka, upaya regenerasi pemain juga memerlukan partisipasi langsung dari tiap klub yang berlaga di Serie A.
Pembinaan pemain muda juga perlu diimbangi keberanian Italia dengan mengubah kultur sepak bola Italia yang sarat dengan isu mafia. Hingga akhirnya, dewi fortuna berpihak lagi kepada Italia sesuai dengan pepatah fortis fortuna adiuvat atau keberuntungan selalu berpihak pada yang berani. (LITBANG KOMPAS)