Menimbang Ulang Rencana Pembelian Minyak Rusia
Rencana Indonesia impor minyak dari Rusia sebaiknya dilakukan dengan hati-hati. Politik luar negeri yang bebas aktif perlu dijaga Indonesia dalam memandang konflik antara Rusia dan Ukraina.
Rencana PT Pertamina membeli minyak dari Rusia patut menjadi bahan pertimbangan penting bagi Pemerintah Indonesia. Sanksi ekonomi yang dikenakan Amerika Serikat beserta sejumlah negara Uni Eropa kepada Rusia menyebabkan ”Negara Beruang Merah” ini berupaya mencari pangsa pasar baru untuk komoditas minyak dan gas bumi andalan negaranya.
Berlimpahnya produksi migas dari Rusia yang sebagian besar idle karena sedang terdampak embargo membuat negara ini berpeluang menjual dengan harga lebih murah dari harga pasaran dunia.
Demi mencari pembeli, sangat mungkin bagi Rusia melakukan aksi ”banting harga” pada komoditas tersebut. Rusia memberikan diskon sebesar 20-25 dollar AS per barel dari harga patokan minyak Brent.
Hanya saja, murahnya harga migas Rusia itu harus dicermati dengan saksama karena berpeluang menimbulkan sentimen dari negara-negara maju yang sepakat memberikan sanksi atas invasi Rusia ke Ukraina.
Alih-alih mendapatkan benefit berupa harga minyak yang murah, bisa jadi pembelian migas ke Rusia justru akan berimbas ke sektor lainnya di Indonesia. Misalnya saja, menghambat laju perdagangan internasional Indonesia ke negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa.
Surplus perdagangan yang selama ini diperoleh dalam bertransaksi dengan negara-negara kawasan tersebut berpotensi besar dapat tereduksi apabila Indonesia dianggap sebagai pihak yang mendukung invasi itu.
Bisa jadi, Indonesia akan dianggap tidak berempati terhadap kondisi global di mana sedang terjadi kenaikan harga minyak dunia secara drastis akibat invasi militer Rusia ke Ukraina. Dengan status Indonesia sebagai negara nonblok sekalipun sepertinya tidak serta-merta membuat negara-negara adikuasa akan mudah memaklumi kebijakan itu.
Bisa jadi, Indonesia akan dikategorikan sebagai pihak yang mengambil atau mendapatkan keuntungan dari sanksi embargo dari negara-negara sekutu NATO tersebut.
Apabila hal itu disikapi secara geopolitik global yang bertujuan memberikan pamor kekuatan bagi suatu blok organisasi dunia maka sangat mungkin bagi negara-negara NATO memainkan ”penetrasi” secara halus.
Soft power ini biasanya berupa kebijakan internal suatu negara yang tujuannya menghambat atau merugikan negara lainnya tidak secara langsung. Namun, dampaknya akan sangat terasa di negara-negara yang dituju dari kebijakan itu.
Misalnya, mengenakan kebijakan tarif ataupun nontarif untuk semua komoditas dari Indonesia yang dikirimkan ke negara-negara NATO dan sekutunya.
Dapat dibayangkan apabila kebijakan ini dilakukan, potensi ekonomi yang hilang akibat kebijakan geopolitik tersebut sangatlah besar. Bahkan, nilai kerugiannya bisa jadi jauh lebih besar dari nilai keekonomisan migas yang diimpor dari Rusia dengan harga murah tersebut.
Baca juga: Invasi Militer Rusia Membahayakan PLTN Ukraina
Impor minyak Indonesia
Pada kurun 2010-2020, konsumsi minyak di Indonesia setiap hari rata-rata mencapai 1,5 juta barel. Sayangnya, produksi minyak di Indonesia setiap hari hanya sekitar 800.000 barel sehingga ada kekurangan sekitar 700.000 barel atau sekitar 45 persen dari konsumsi harian.
Kekurangan ini selanjutnya dipenuhi dari impor yang berasal dari sejumlah negara. Setiap tahun, Indonesia mengimpor minyak dari luar negeri rata-rata sekitar 40 juta ton. Sekitar 62 persen minyak impor itu didatangkan sudah dalam bentuk minyak olahan atau sudah jadi.
Sisanya, sekitar 38 persen diimpor masih dalam bentuk minyak mentah dan diproses lebih lanjut di kilang-kilang minyak milik PT Pertamina.
Baca juga: Rencana Pertamina Impor Minyak Rusia Dapat Lampu Hijau
Ada sejumlah negara yang menjadi langganan impor minyak Indonesia. Berdasarkan data resourcetrade.earth, negara tersebut antara lain Singapura, Arab Saudi, Malaysia, Nigeria, Australia, Malaysia, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab.
Sejumlah negara ini hampir setiap tahun rutin mengekspor minyaknya ke Indonesia rata-rata lebih dari satu juta ton. Bahkan, seperti Singapura, Arab Saudi, Malaysia, dan Nigeria rata-rata selalu lebih dari 3 juta ton per tahun.
Terbesar adalah Singapura dan Arab Saudi dengan besaran ekspor selalu lebih dari 5 juta ton ke Indonesia. Bisa dikatakan kedua negara ini adalah tulang punggung penting bagi suplai komoditas minyak impor Indonesia.
Selain negara-negara tersebut, Indonesia juga mengimpor minyak dari negara-negara lainnya, antara lain Algeria, Qatar, Amerika Serikat, Turki, Brunei, Rusia, Kuwait, Angola, dan India. Meskipun jumlah impornya relatif tidak banyak, yakni rata-rata di bawah 1 juta ton setahun, langkah ini merupakan cara Pemerintah Indonesia mendapatkan pasokan dari banyak negara.
Selain untuk mempererat hubungan diplomasi perdagangan, juga untuk memperkuat ketahanan energi nasional dari sisi ketersediaan. Dengan memiliki jaringan suplai impor yang relatif banyak, gangguan distribusi minyak dapat diminimalkan.
Misalnya, sedang terjadi peperangan di sekitar jalur distribusi minyak negara eksportir, maka Indonesia dapat mengoptimalkan distribusi suplai minyak dari negara eksportir lainnya yang lebih aman. Dengan demikian, pasokan minyak di Indonesia dapat terjaga secara aman sehingga dapat mengontrol kondisi makroekonomi nasional seperti yang diharapkan.
Minyak memiliki hubungan yang sangat erat dengan kondisi makroekonomi suatu negara karena minyak merupakan salah satu sumber energi yang vital bagi kemajuan sebuah negeri. Hampir semua aktivitas ekonomi membutuhkan energi yang salah satu wujudnya berupa produk-produk minyak.
Berdasarkan data dari IEA, pada kurun 1990-2019, konsumsi energi secara total di seluruh dunia sebagian besar masih berasal dari migas, yakni rata-rata mencapai kisaran 57 persen setahun.
Dari kedua jenis energi fosil ini, produk energi dari minyak bumi merupakan yang terbesar konsumsinya karena rata-rata mencapai 42 persen, sedangkan yang berasal dari gas alam sekitar 15 persen.
Jadi, wajar apabila seluruh bangsa di dunia berusaha mengamankan pasokan minyak berikut harga jualnya di pasaran domestik masing-masing negara.
Baca juga: Invasi Militer Rusia Membahayakan PLTN Ukraina
Melirik minyak Rusia
Untuk menjaga stabilitas harga minyak di suatu negara sangat dibutuhkan stabilitas kondisi ekonomi di tingkatan global. Hal ini dikarenakan tidak semua negara memiliki sumber daya energi yang sama. Ada yang berlimpah, tetapi ada juga yang minim.
Apabila terjadi gejolak kelangkaan pasokan di tingkatan global, negara-negara yang minim energi akan mengalami tekanan yang berat. Akan terjadi kenaikan harga energi yang harus ditanggung pemerintah dan juga masyarakatnya.
Hal ini akan berdampak pada kenaikan harga-harga secara umum dan mendorong kenaikan tingkat suku bunga. Apabila tak terkendali dapat menyebabkan menurunnya investasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi sehingga berakibat pada pengangguran.
Oleh sebab itu, harga energi menjadi salah satu acuan penting dalam menyusun skenario makroekonomi dalam postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) di Indonesia. Upaya PT Pertamina melirik minyak dari Rusia itu dapat menjadi salah satu upaya untuk menyesuaikan dengan skenario makroekonomi Indonesia.
Invasi militer Rusia ke Ukarina sejak 24 Februari 2022 telah mendorong harga minyak dunia meroket tajam. Untuk jenis WTI, misalnya, mengalami kenaikan rata-rata harian mencapai 107 dollar AS per barel sejak invasi itu. Padahal, sebelum invasi, harga minyak WTI sejak awal tahun 2022 berkisar di angka 86 dollar AS/barel.
Harga minyak dunia yang tinggi ini menjadi peringatan penting bagi Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan manuver kebijakan. Pasalnya, harga minyak yang menjadi acuan skenario makro APBN tahun 2022 yang merujuk pada Indonesian crude price (ICP) hanya 63 dollar AS per barel.
Salah satu kebijakan yang sudah dilaksanakan adalah dengan menaikkan harga BBM jenis pertamax dari kisaran Rp 9.000 per liter menjadi kisaran Rp 12.500-Rp 13.000 per liter pada 1 April lalu. Hal ini untuk menyesuaikan dengan harga keekonomian pasar global sehingga beban subsidi yang di tanggung pemerintah tidak terlalu berat.
Selain melakukan penyesuaian harga, PT Pertamina juga berencana melakukan impor minyak dari Rusia yang saat ini sedang turun harganya karena sanksi embargo ekonomi dari sejumlah negara. Langkah ini secara praktis memang akan mengurangi beban anggaran pemerintah dalam mengimpor minyak dari luar negeri.
Dengan harga yang lebih murah tentu saja valas yang dibutuhkan juga lebih sedikit sehingga dapat menjaga stabilitas kurs rupiah secara lebih baik. Selain itu, beban subsidi sektor energi yang ditanggung pemerintah juga tidak seberat ketika membeli minyak impor dengan mahal lebih dari 100 dollar AS per barel.
Namun, rencana tersebut patut untuk dikaji lebih dalam dan berhati-hati. Jangan sampai dengan membeli minyak dari Rusia itu justru menimbulkan sentimen negatif dari sejumlah negara.
Terutama negara-negara yang menjadi mitra dagang penting Indonesia yang kebetulan untuk saat ini sangat membenci aksi invasi Rusia ke Ukraina. Dapat dibayangkan apabila sentimen negatif tersebut ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan yang merugikan Indonesia.
Negara mitra dagang penting seperti Uni Eropa yang sebagian besar adalah anggota NATO memiliki nilai serapan ekspor Indonesia setiap tahun sekitar 15,7 miliar dolar AS. Indonesiapun membutuhkan sejumlah produk yang nilai impor setiap tahunnya dari Uni Eropa sekitar 11,7 miliar dollar AS.
Neraca perdagangan yang memberikan benefit berupa surplus perdagangan hampir senilai 4 miliar dollar AS/tahun ini akan rawan tergerus dan bahkan defisit bagi Indonesia apabila tidak bersikap hati-hati dengan geopolitik global terkait serbuan Rusia ke Ukraina.
Oleh sebab itu, rencana pembelian minyak ke Rusia sebaiknya ditimbang-timbang ulang untuk saat ini. Jangan sampai memicu sikap anti-Indonesia dari sejumlah negara atas kebijakan pragmatis itu.
Rencana pembelian minyak ke Rusia sebaiknya ditimbang-timbang ulang untuk saat ini.
Alangkah lebih baik Indonesia turut serta mengupayakan perdamaian antara Rusia dan Ukraina sekaligus memperbaiki hubungan antara Rusia dan NATO beserta sekutunya.
Dengan membaiknya hubungan diplomatik sejumlah negara-negara tersebut, maka peperangan segera usai. Embargo ekonomi Rusia dicabut dan distribusi minyak dan gas ke Uni Eropa kembali lancar sehingga lambat laun harga minyak dunia bergerak turun.
Rusia sebagai salah satu produsen migas terbesar di dunia kembali menyuplai konsumen terbesarnya di Uni Eropa. Kesetimbangan antara supply dan demand migas dunia pun kembali ke titik normal. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Energi, Kekuatan Politik Internasional Rusia