Wajah Perang Rusia-Ukraina di Hari Ke-35
Lima minggu berperang, Rusia dan Ukraina kini makin intens menuju dialog damai. Perang tidak membawa kemenangan di satu pihak, keduanya malah jadi arang.
Setelah bertempur sebulan lebih dengan kerugian yang masif di kedua pihak, akhirnya Rusia dan Ukraina mengirimkan delegasi untuk bertemu di meja perundingan. Meski sudah mau berunding, langkah itu tampaknya belum akan menyurutkan strategi perang masing-masing pihak.
Hal itu terbukti dari pemberitaan media internasional pada Kamis (31/3/2022). Di tengah janji Rusia untuk menurunkan intensitas gempuran ke Ukraina, serangan bertubi-tubi justru berlangsung sepanjang malam di Kiev, Chernihiv, dan Mariupol. Khusus Mariupol yang terletak di Provinsi Donetsk, Rusia menerbitkan ultimatum agar kota itu menyerah atau dihancurkan total.
Tak dimungkiri, keganasan pertempuran antara pasukan Rusia yang menginvasi tetangganya, Ukraina, atas dalih ”operasi khusus” dinilai para pengamat internasional adalah yang terbesar di daratan Eropa semenjak Perang Dunia II. Dalam perang yang ”baru berlangsung” sebulan lebih ini, jumlah korban manusia ataupun harta benda dan alutsista sudah mencapai jumlah yang fantastis.
Pasukan Rusia yang menyerbu pada 24 Februari 2022 dengan jumlah awal sebanyak lebih dari 150.000 tentara dan persenjataan lengkap diperkirakan NATO telah menderita kerugian antara 7.000 dan 15.000 prajurit tewas. Itu berarti 10 persen dari prajurit yang dikerahkan di awal invasi.
Bandingkan jumlah tersebut dengan kematian sekitar 15.000 prajurit yang terjadi selama satu dekade invasi dan pendudukan Uni Soviet di Afghanistan pada 1979-1989 atau 2.355 prajurit Amerika Serikat selama dua dekade (2001-2021) pendudukan koalisi di Afghanistan (Britannica.com).
Demikian juga jumlah perwira tinggi Rusia yang terbunuh menurut klaim Ukraina mencapai 15 orang termasuk 7 jenderal. Jumlah itu dinilai pengamat militer internasional sangat tidak wajar dan tidak pernah terlihat dalam peperangan sejak era Perang Dunia II. Para jenderal Rusia itu dihabisi baik dengan tembakan sniper, perang jarak dekat, maupun pengeboman.
Dalam hal kematian para jenderal Rusia, Ukraina tampaknya menggunakan taktik menyerang para komandan tinggi itu untuk memperlambat gerak laju pasukan invasi Rusia yang secara jumlah dan kualitas jauh berlipat dari milik Ukraina (Washington Post, 26/3). Penembakan para jenderal dalam peperangan sejauh ini dianggap cara yang sah dan rupanya hal itu dimanfaatkan ”sebaik-baiknya” oleh pasukan Ukraina.
Tentu saja angka-angka tersebut sangat berbeda saat merujuk kepada klaim masing-masing pihak. Seperti pengakuan Rusia yang secara resmi ”hanya” menyatakan kerugian sebanyak 1.351 prajuritnya yang tewas dan tidak mengonfirmasi satu pun jenderal yang terbunuh dalam perang tersebut. Dari pihak Ukraina, sejauh ini tidak diperoleh pernyataan resmi yang teperinci terkait jumlah prajurit yang tewas.
Besarnya jumlah korban tewas, terutama di pihak Rusia, tampaknya membuat sejumlah strategi pertempuran berubah. Di matra darat, Rusia tidak lagi terlalu menerapkan serangan kavaleri secara masif seperti terekam pada 11 Maret 2022 saat iring-iringan tank, kendaraan lapis baja, dan artileri mencapai panjang 64 kilometer menuju ke ibu kota Ukraina, Kiev.
Iring-iringan pasukan lapis baja itu terbukti rentan serangan kombinasi drone dan tembakan artileri presisi ataupun serangan langsung dari peluru kendali antitank. Pun ketika perang kota dan antigerilya, terbukti prajurit Rusia kerap jadi pihak yang lebih berisiko karena keberadaan warga sipil bersenjata yang bekerja sama dengan prajurit reguler Ukraina.
Bagaimana dengan kerugian di pihak Ukraina? Secara resmi, prajurit Ukraina yang tewas, diklaim Kepala Staf Operasional Rusia Sergey Rudskoy mencapai angka 14.000 orang dan 16.000 luka-luka. Adapun warga sipil yang turut menjadi korban berdasarkan catatan Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia per 29 Maret 2022 diperkirakan paling tidak 1.179 orang meninggal, termasuk 103 anak-anak, dan 1.860 luka-luka.
Angka korban sipil versi PBB ini jauh lebih sedikit ketimbang klaim Ukraina. Di kota Mariupol saja, korban sipil meninggal diklaim wali kota setempat mencapai 5.000 orang lebih. Sementara peperangan hebat melanda sejumlah kota berpenduduk padat lainnya, seperti Kharkiv, Chernihiv, Sumy, Zaporizhzhia, Zhytomyr, Cherkasy, Zhitomyr, Kherson, Odesa, wilayah Donbas (Luhansk, Donetsk), hingga Kiev. Data sementara menunjukkan ratusan warga sipil telah meninggal akibat serangan Rusia di masing-masing kota itu.
Perubahan strategi
Demi menghindari kerugian besar prajurit di matra darat, pasukan Rusia meningkatkan penggunaan alutsista yang memiliki kemampuan bidik dan daya tembak jarak jauh, termasuk menembakkan rudal jarak jauh presisi dari kapal perang. Selain itu, metode penggunaan dronepengintai yang dipadukan dengan tembakan artileri berakurasi tinggi juga ganti dipakai Rusia untuk menghancurkan sasaran militer di Ukraina.
Perubahan strategi Rusia paling mencolok adalah digunakannya untuk pertama kali rudal hipersonik Kinzhal yang disebut-sebut sangat mahal biaya pembuatannya. Dengan penggunaan sarana penggentar yang bisa melesat 10 kali kecepatan suara itu, tampak alutsista jet tempur atau helikopter tempur dianggap tak lagi terlalu efektif menggentarkan daya juang prajurit dan warga Ukraina.
Baca juga: Faktor-faktor Pengubah Narasi dalam Perang Rusia-Ukraina
Maklum, jet tempur dan helikopter Rusia juga menanggung kerugian yang tergolong tinggi akibat masifnya penggunaan rudal sistem pertahanan udara oleh prajurit Ukraina, seperti Stinger dan Javelin. Ribuan rudal portabel pintar ini bertebaran di seluruh wilayah strategis Ukraina sehingga membuat para pilot Rusia tak bisa leluasa terbang lebih rendah di bawah 9.000 kaki untuk ”berburu mangsa”.
Tercatat, sejak awal invasi, sudah 124 pesawat jet tempur Rusia ditembak jatuh menurut The Kyiv Independent, belum termasuk helikopter dan drone. Bahkan, pesawat tempur canggih kelas Sukhoi 34 pun turut menjadi korban keganasan sistem pertahanan udara Ukraina yang juga mengandalkan rudal darat ke udara peninggalan era Uni Soviet, semacam sistem rudal BUK, TOR, Neva/Pechora, dan sistem S-300.
Perubahan taktik perang yang lebih mengandalkan rudal dan artileri jarak jauh Rusia ini terbukti ampuh membawa kerusakan masif di sejumlah kota Ukraina. Salah satu yang terparah adalah kota Mariupol yang terletak berdekatan dengan Semenanjung Crimea dan termasuk dalam wilayah Donetsk yang sebagian penduduknya pro-Rusia.
Nyaris seluruh wajah infrastruktur dan kawasan permukiman di Mariupol hancur akibat tembakan artileri dan hantaman rudal dari kapal-kapal perang Rusia. Hal ini karena Mariupol adalah markas Batalyon Azov, yang merupakan salah satu pejuang ultranasional fanatik yang menjadi bagian Garda Nasional Ukraina.
Betapa pun, taktik Rusia membumihanguskan secara total Mariupol untuk memberi efek gentar bagi warga Ukraina dan kota-kota lainnya tampaknya tak mencapai tujuan. Saat ini masih terdapat warga sipil dan pejuang bersenjata yang bersembunyi di reruntuhan Mariupol (awalnya berpenduduk 500.000 jiwa) tak beranjak dan memilih bertahan.
Strategi dialog
Saat ini, dialog mengusahakan gencatan senjata antara delegasi Rusia dan Ukraina sedang berlangsung di Istanbul, Turki. Dialog dilakukan tertutup dari media. Delegasi Ukraina meminta tuntutan agar ada imbal balik jaminan keamanan bagi Ukraina setelah negara itu menerima tuntutan Rusia menjadi negara netral.
Jaminan itu harus diberikan dari negara penjamin yang akan menjamin keamanan Ukraina di masa mendatang. Selain itu, Ukraina bersedia membatalkan keinginannya untuk menjadi anggota NATO (Bbc.com/news, 30/3/2022).
Sebagaimana ditulis koresponden BBC, Tom Bateman, negosiator Ukraina Oleksandr Chaly mengatakan bahwa tawaran netralitas—yang berarti tidak akan bersekutu secara militer dengan pihak lain—adalah kesempatan untuk ”memulihkan integritas teritorial dan keamanan Ukraina melalui cara diplomatik dan politik”.
Adapun kepala perunding Rusia, Vladimir Medinsky, mengatakan, pembicaraan telah ”bermakna” dan proposal Ukraina soal netralitas akan diajukan kepada Presiden Vladimir Putin. Namun, sebelum pertemuan puncak presiden terjadi, perjanjian harus disetujui para perunding dan ditandatangani para menteri luar negeri.
Strategi dalam peperangan Rusia dan Ukraina telah bergeser selama hampir lima minggu ini, dari perang darat, serangan udara, mengirim rudal, dan kini menuju dialog damai. Terbukti daya juang prajurit dan rakyat Ukraina yang beradu otot dengan gempuran mesin perang raksasa Rusia menghasilkan kondisi yang sama-sama parah: kerugian besar di pihak militer Rusia dan luluh lantaknya kota-kota Ukraina, selain korban jiwa. Tidak ada yang menang, semua jadi arang.
Perlu kepala dingin di pihak Rusia dan Ukraina untuk mencapai kata sepakat yang mendorong gencatan senjata secara cepat dan penyelesaian menyeluruh perdamaian di wilayah Ukraina. Selain itu, kedua pihak harus menggunakan masa perundingan untuk menurunkan eskalasi pertempuran dan bukan malah menata ulang komposisi pasukan tempur untuk peperangan selanjutnya. (LITBANG KOMPAS)