Di tengah pertumbuhan yang masih rapuh di era normal baru ini, menjaga tingkat inflasi menjadi hal yang krusial. Inflasi yang terlampau tinggi bisa kembali menekan konsumsi masyarakat yang baru saja mulai bergairah.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Perbaikan ekonomi yang ditandai dengan membaiknya konsumsi tentu patut disyukuri. Meskipun begitu, inflasi sebagai efek turunan perbaikan ini perlu diwaspadai. Dengan faktor ekstra seperti kelangkaan minyak goreng dan efek perang Rusia-Ukraina, datangnya bulan Ramadhan dan berlakunya PPN 11 persen, harga kebutuhan bisa jadi mencekik bila tidak dimitigasi dengan baik.
Secara umum, saat ini tingkat inflasi di Indonesia masih relatif terjaga. Per Februari 2022, tingkat inflasi di Indonesia berada di angka 2,06 persen. Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, angka tersebut masih dalam koridor yang ditargetkan oleh BI, yakni di kisaran 2-4 persen.
Perbaikan ekonomi yang ditandai dengan membaiknya konsumsi tentu patut disyukuri.
Di satu sisi, tingkat inflasi ini lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Jika dibandingkan dengan setahun sebelumnya (year on year), terdapat peningkatan sebesar 0,68 persen pada bulan tersebut.
Artinya, setelah berjibaku menghadapi tekanan pandemi, situasi perekonomian di Indonesia sudah mulai berada di jalur yang diharapkan. Tak hanya itu, dibandingkan dengan Januari, tingkat inflasi di Indonesia justru mengalami penurunan sebesar 0,12 persen.
Namun, di sisi lain, meningkatnya inflasi ini harus terus diwaspadai. Sebab, selain alami akibat peningkatan konsumsi, inflasi kali ini juga turut didorong oleh beberapa faktor. Faktor pertama, yang juga menjadi persoalan selama beberapa bulan terakhir, ialah masih langka dan mahalnya minyak goreng.
Sampai 28 Maret 2022, terpantau harga minyak goreng di pasaran berkisar di angka Rp 17.700 hingga nyaris menyentuh Rp 25.000 per liter. Harga tersebut terpaut jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang sempat ditetapkan oleh pemerintah di angka Rp 14.000 per liter.
Faktor kedua yang perlu diwaspadai dari terdongkraknya inflasi ialah imbas akibat konflik Rusia dan Ukraina. IMF telah mengingatkan bahwa konflik kedua negara tersebut dapat melejitkan harga minyak mentah dunia sebesar 12 persen, gas alam di kisaran 58 persen, dan pangan sekitar 4,5 persen.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan faktor berlakunya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) per 1 April 2022, tarif PPN yang berlaku di Indonesia naik 1 persen dari 10 persen menjadi 11 persen. Meski ”hanya” naik 1 poin, kenaikan ini berpotensi untuk mengerek inflasi di April hingga menembus angka 1 persen.
Faktor pendorong lain yang bisa ikut melambungkan inflasi dalam waktu dekat ialah datangnya momen bulan Ramadhan. Selama sepuluh tahun terakhir, momen Ramadhan menjadi salah satu pemicu inflasi seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat.
Pada puncaknya, inflasi pada masa Ramdhan pernah mencapai angka 6,75 persen dengan perubahan sebesar 3,29 persen secara month to month (m-t-m).
Pada masa pandemi, inflasi jelang Ramadhan bukanlah persoalan. Sebab, nyaris tak terjadi kenaikan inflasi pada bulan Puasa tahun 2020 dan 2021. Saat itu, kenaikan inflasi pada momentum Ramadhan berada di bawah 0,1 persen pada 2020 dan sedikit di atas 0,1 persen setahun berselang. Artinya, masyarakat memang masih relatif menahan diri dalam membelanjakan uangnya akibat tekanan pandemi.
Namun, kondisi saat ini berbeda. Jika dibandingkan, tingkat inflasi di 2021 (1,42 persen) mengalami peningkatan sekitar 57 persen, sedangkan tahun 2020 mencapai 0,9 persen.
Pada 2022, diperkirakan tingkat inflasi Indonesia berada di kisaran 2,12 persen atau lebih besar sekitar 50 persen dari tingkat inflasi di 2021. Artinya, bisa jadi kenaikan inflasi akibat momentum Ramadhan yang dua tahun terakhir minim mulai kembali terasa.
Tak sampai seminggu menjelang Ramadhan, harga-harga kebutuhan di pasar DKI Jakarta mulai merangkak naik. Beberapa bahan pokok yang terpantau naik di antaranya beras, minyak goreng, bawang merah, telur ayam, daging sapi, gula pasir, dan tepung terigu.
Kenaikan harga bahan pangan tersebut memang masih tipis. Dari beberapa kebutuhan tersebut, kenaikan paling tinggi terjadi pada daging sapi. Kenaikan harga daging sapi sebesar Rp 340 per kg, disusul dengan bawang merah senilai Rp 340 per kg. Sementara komoditas seperti beras dan gula pasir hanya mengalami kenaikan harga sebesar Rp 43 per kg dan Rp 10 per kg.
Kenaikan harga pangan ini perlu disikapi dengan hati-hati. Jangan sampai, pemerintah lengah karena pada Februari lalu makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi sebesar minus 0,84 persen.
Sebab, deflasi yang terjadi kemungkinan sebagian didorong oleh kebijakan HET minyak goreng yang hanya seumur jagung. Terlebih lagi, ancaman terganggunya rantai pasok pangan dunia akibat konflik Ukraina-Rusia dan tekanan pandemi Covid-19 nyata di depan mata.
Selain bahan pakan, kenaikan yang perlu diwaspadai ialah harga bahan bakar rumah tangga dan juga pakaian. Laporan Indeks Harga Konsumen (IHK) BI pada Februari 2022 menyebutkan bahwa bahan bakar rumah tangga, seperti elpiji, menjadi salah satu yang mengalami inflasi di tengah tren deflasi selama periode Januari-Februari lalu. Hal ini utamanya didorong oleh dampak lanjutan penyesuaian harga elpiji nonsubsidi.
Menanggapi situasi ini, pemerintah telah menyiapkan langkah antisipasi. Salah satunya ialah percepatan penyaluran dana bantuan kepada lebih dari 18 juta penerima.
Selain itu, pemerintah juga akan terus menyubsidi komoditas yang harganya terdongkrak, misalnya minyak goreng, dan menjaga harga komoditas yang sedang tinggi, seperti kedelai dengan skema pembelian stok importir melalui Bulog.
Langkah antisipatif tersebut perlu diambil untuk dapat terus menjaga daya beli masyarakat. Terlebih lagi, penerapan PPN 11 persen, pemotongan PPNBM dan kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan menambah pundi-pundi keuangan negara. Meskipun begitu, implementasi kebijakan-kebijakan ini harus terus dikawal agar tetap terukur dan tepat sasaran.
Di tengah pertumbuhan yang masih rapuh di era normal baru ini, menjaga tingkat inflasi menjadi hal yang krusial. Bila tidak dimitigasi, inflasi yang terlampau tinggi bisa kembali menekan konsumsi masyarakat yang baru saja mulai bergairah. Jika hal ini terjadi, Indonesia bisa kehilangan momentum pertumbuhan yang telah diidamkan selama dua tahun terakhir. (LITBANG KOMPAS)