Mengapa PAN Penting bagi Pemerintah?
Dinamika perubahan posisi politik PAN terhadap koalisi pemerintahan akan berpengaruh pada potensi elektoral partai. Pemilu 2024 akan menjadi pertaruhan bagi partai berlambang matahari ini.
Partai Amanat Nasional pada akhirnya kembali masuk dalam barisan pendukung pemerintah. Di tengah masa periode pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid pertama lalu, partai berlambang matahari ini juga bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah setelah sebelumnya berseberangan dan menjadi oposisi dalam konstelasi pemilihan presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lalu, di tengah pola dinamika posisi politik itu, apa yang membuat PAN terus memiliki nilai tawar untuk dapat diterima sebagai bagian dari pendukung pemerintah?
Baca juga : Zulkifli Hasan Minta Kader PAN Dukung Pemerintah dan Hindari Buat Gaduh
Bergabungnya PAN dalam koalisi pemerintah sebetulnya bukanlah hal baru yang mengejutkan. Kabar mengenai masuknya partai ini dalam koalisi pemerintah sudah santer disebutkan sejak tahun lalu.
Rencana koalisi itu menguat setelah Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara pada Agustus 2021.
Ketika itu PAN belum secara tegas mengakui bahwa perjamuan di Istana itu membahas soal koalisi dan masuk dalam kabinet. Berdasarkan pengakuan Zulkifli, pertemuan tersebut membahas sejumlah isu strategis, mulai dari penanganan Covid-19, perekonomian, pembangunan IKN baru, sampai terkait rencana amendemen UUD 1945.
Seperti yang diketahui, PAN sebetulnya sudah menjadi bagian dari pendukung pemerintah sejak masa jabatan Presiden Jokowi periode pertama. Menariknya, PAN bukanlah partai yang bisa dikatakan bagian dari koalisi tulen pemerintahan.
Jika dilihat, ada kesamaan pola yang ditunjukkan PAN terkait sikap politik yang pada akhirnya berbalik dari oposisi menjadi bagian pendukung pemerintah. Baik pada Pemilu 2014 maupun 2019, PAN merupakan bagian dari koalisi partai yang selalu berseberangan dengan pengusungan Jokowi sebagai calon presiden.
Bergabungnya PAN dalam koalisi pemerintah sebetulnya bukanlah hal baru yang mengejutkan.
Pada gelanggang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, PAN tergabung dalam koalisi Merah Putih bersama enam partai lainnya, yaitu Gerindra, PPP, PKS, PBB, Hanura, dan Golkar. Koalisi ini mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya pada pesta demokrasi 2019, PAN kembali melabuhkan posisi politiknya untuk menjadi bagian dari koalisi partai yang mengusung pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Koalisi yang dinamai Indonesia Adil Makmur beranggotakan Partai Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, dan Berkarya.
Berbaliknya sikap PAN dalam memosisikan dukungan politik selalu terjadi di tengah perjalanan. PAN menyatakan dukungannya kepada pemerintah terpilih pada 2016 dan bahkan mendapatkan pos jabatan di kabinet dengan didapuk memimpin Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB).
Namun belakangan, tahun 2018, di masa transisi kepemimpinan menuju pemilu, PAN memutuskan untuk mundur dari koalisi dan jabatan Menpan dan RB yang saat itu dijabat kader PAN Asman Abnur pun dilepas.
Baca juga: Buka Pendaftaran Caleg Dini, PAN Membuka Diri untuk Semua Golongan
Posisi tawar PAN
Perubahan sikap PAN, baik dalam menjadi oposisi maupun berbalik mendukung pemerintahan tentu menjadi hak internal partai dan bagian dari kedinamisan siklus politik.
Jika melihat rekam jejak loyalitas dan komitmen PAN pada koalisi penguasa saat ini, sebetulnya maksud untuk kembali bergabung kedua kalinya menjadi koalisi bisa saja jauh panggang dari api karena adanya penolakan dan kekecewaan masa lampau.
Namun demikian, kalkulasi dan strategi politik yang berjalan pastilah tidak sederhana. Setidaknya terdapat sejumlah hal yang dapat menjadi pertimbangan penting bagi kepemimpinan Jokowi sehingga membuat PAN selalu memiliki posisi tawar sebagai pendukung pemerintah.
Pertama, kehadiran PAN dalam koalisi akan kian meneguhkan kekuatan politik pendukung pemerintah di DPR. Total penguasaan kursi legislatif oleh gabungan enam partai pro pemerintah mencapai tiga perempat bagian.
Kehadiran PAN dalam koalisi akan kian meneguhkan kekuatan politik pendukung pemerintah di DPR.
Dominasi itu akan semakin kuat dengan tambahan 44 kursi dari PAN yang membuat total kursi koalisi pemerintahan menjadi 471 atau menguasai 82 persen dari total kursi DPR RI.
Penguatan dukungan di parlemen itu pun kembali menggulirkan agenda amendemen konstitusi yang dalam beberapa waktu terakhir masih mengambang berpeluang kembali dibahas. Terlebih, isu ini menjadi salah satu fokus yang sempat dibahas dalam pertemuan PAN dan Presiden dalam penjajakan awal koalisi tahun lalu.
Menanggapi itu, secara garis besar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan bahwa partainya juga senapas dengan maksud pemerintah yang melihat amendemen sebagai upaya dari penguatan dan pembenahan beberapa aspek mendasar bernegara.
Kedua, tambahan dukungan dari PAN kepada pemerintah juga menjadi penting untuk memuluskan berbagai program strategis.
Masuknya PAN dalam koalisi maupun kabinet akan menjadi representasi keterwakilan kelompok Islam,
Sejumlah urusan pemerintah yang hari-hari ini masih menjadi fokus untuk diselesaikan, misalnya penanganan pandemi, pemulihan perekonomian, sampai dengan pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur, tentulah membutuhkan komitmen dan dukungan politik yang kuat untuk menuntaskannya.
Ketiga, secara tidak langsung, masuknya PAN dalam koalisi maupun kabinet akan menjadi representasi keterwakilan kelompok Islam, khususnya dari kalangan pemilih Muhammadiyah yang sejauh ini kerap dilekatkan dalam diri PAN.
Hal ini juga diharapkan mampu mengakselerasi stabilitas ataupun penerimaan dan dukungan berbagai kelompok sosial terhadap pemerintah. Termasuk pula tujuan untuk meredakan polarisasi akut di tengah masyarakat.
Terakhir, yang keempat, tak bisa dimungkiri pula bahwa pemerintah dan koalisi pendukungnya saat ini tengah bersiap untuk menghadapi gelanggang Pemilu 2024.
Dalam konteks ini, menambah dukungan sebanyak-banyaknya adalah langkah praktis sebagai bentuk peneguhan kekuatan untuk menghadapi segala kemungkinan persaingan yang terjadi di waktu mendatang.
Baca juga: Sinyal PAN Menuju Pilpres 2024, dari Ridwan Kamil, Anies Baswedan, hingga Erick Thohir
Keuntungan politik
Baik pada periode pemerintahan Jokowi pertama maupun kedua ini, posisi yang ditunjukkan PAN bisa dikatakan memang setengah hati saat menjadi oposisi. Hal itu tecermin dari unjuk kekritisan partai yang masih lemah dalam menilai kebijakan pemerintah jika dibandingkan sejawat oposisi lain, seperti PKS maupun Demokrat.
Terlepas dari itu, bagi PAN, keputusan untuk kembali bergabung ke pemerintah bisa dilihat pula sebagai bentuk manuver politik jelang pemilu.
Jika dilihat, berulangnya pola yang sama, dengan bergabung di tengah periode berjalannya pemerintahan, menjadikan sulit untuk tidak mengaitkan anggapan bahwa sikap yang ditunjukkan tak ubahnya sebuah strategi untuk mendulang simpati elektoral, terutama dari massa pendukung pemerintah.
Sekalipun begitu praktis, tawaran untuk PAN saat berbalik mendukung pemerintah pun tak main-main, mulai dari pos jabatan menteri hingga wakil menteri. Namun, PAN perlu menyadari bahwa mempersiapkan kemenangan partai tak bisa hanya dengan memanfaatkan jabatan menteri kabinet, tetapi tetap bertumpu pada optimalisasi berjalannya mesin partai secara terorganisasi.
Berbaliknya pilihan PAN untuk kembali mendukung pemerintah dapat dijadikan momentum pula bagi perbaikan mesin partai memaksimalkan pundi suaranya.
Jika dilihat, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, tren elaktabilitas partai ini pun masih terus bergeming pada kisaran tiga persen. Capaian yang terbaca survei itu, di mana masih berada dalam kisaran dekat ambang batas parlemen (4 persen) memang begitu mengkhawatirkan.
Kini, berbaliknya pilihan PAN untuk kembali mendukung pemerintah dapat dijadikan momentum pula bagi perbaikan mesin partai memaksimalkan pundi suaranya. Bagaimanapun, dengan keputusan koalisi yang dibuat, baik PAN maupun pemerintah semestinya dapat saling mendulang keuntungan politik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Akhiri Polemik Penundaan Pemilu